Bab // 32

6.4K 728 125
                                    

Makasi buat para pembacaku yg udah support ampe sejauh ini, voment kalian bnr2 sangat menyemangatiku btw aku mau nanya deh...

Kalian ini memang bener2 suka baca horor story ya?

Tau Narik Sukmo dari mana sih?

And so far, boleh tau nggak kesan kalian saat membaca tiap part dr narik sukmo?

Sekali lagi tengkiyu somac ya 😘
Hepi ridings

Sssssssssssssssshhhhhhhhhh
.
.
.
.
.
.
.


Seandainya waktu bisa di putarnya kembali. Kenar tidak akan berlibur ke desa kelawangin. Lebih baik bertemu Raka, pria berengsek yang sudah mematahkan hatinya. Jika ia bertemu dengan Raka di Jakarta ia cukup mengabaikannya. Mungkin memberinya satu atau dua kali tamparan di wajahnya tidak apa.

Kenar menghela napas. Sekarang ia tidak sedang di Jakarta. Ia benrada desa indah penuh misteri.

Desa Kelawangin.

Sebelum ia memutuskan untuk ikut bersama Ayu, ia sudah bermimpi buruk. Kenar kembali teringat, Aya pernah mengatakan bahwa dia pernah melihat Kenar menari malam - malam seorang diri, sedang Kenar tahu bahwa ia tidak pernah menari. Dan kalau itu benar, tarian apa yang di lakukannya?

Kenar tersentak menoleh pada Dierja yang sudah duduk di sampingnya. Sial. Kenapa jantungnya selalu saja berebar di samping pemuda tampan dengan kulit kecoklatan sepeeri

"Jadi bagaimana?" Dierja menunggu jawaban Kenar. Hari sudah senakin sore, mereka bisa kemalaman kalau terus menunda kepulangan ke desa kelawangin.

"Aku gak tahu. Aku gak berani kalau ... harus sendirian di rumah Ayu." Kenar memberi jeda pada ucapannya. "Aku cari penginapan di dekat sini saja." Katanya.

Menghela napas Dierja duduk di sebelah Kenar. "Kenapa kamu ndhak memberitahuku?"

Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut Dierja. Pertanyaan itu sarat dengan kekecewaan. Entah hubungan apa yang sebenarnya antara mereka. Kenar merasa sangat bersalah, seharusnya perasaan seperti ini tidak ada.

"Maaf." Hanya kata itu yang bisa Kenar ucapkan. Kedua tangannya meremas ujung bajunya.

"Kamu ndhak harus minta maaf. Aku juga bukan siapa - siapa toh." Perasaan tidak enak atau entah apa namanya merayapi hatinya.

Membuang napas kasar Dierja berkata lagi. "Aku akan menemanimu di rumah Paklek Prastomo, bagaimana?"

Kenar terdiam. "Ndhak baik kamu tinggal di penginapan seorang diri. Lagipula, Paklek pasti akan marah besar padaku."

Di temani Dierja di rumah Ayu? Harusnya Kenar senang. Tapi kecanggungan yang terjadi saat ini membuat Kenar ragu.

"Kita pergi sekarang." Dierja menarik Kenar tanpa menunggu persetujuan. Kenar menghela napas, berharap semua akan baik - baik saja.

Hari sudah gelap ketika Dierja dan Kenar tiba di desa kelawangin. Di gerbang desa, Dierja bertemu dengan seorang warga. Dierja nampak berbisik dengan Bapak itu. Kenar memperhatikan raut wajah Dierja yang berubah.

"Ada apa?" Dierja menggeleng pelan.

"Kita ke rumahku." Kenar melongo. Ia tidak bisa mengatakan apapun ketika mobil berbelok ke arah berlawanan dengan rumah Ayu. Jadi, ia akan benar - benar ke rumah Dierja?

Dierja membukakan Kenar pintu mobil. Meski hampir gelap, Kenar masih bisa melihat keindahan bangunan rumah Dierja. Bangunan rumah dengan gaya khas rumah seorang bangsawan. Rumah yang sangat khas jawa. Kenar merasa tengah berada di zaman beberapa tahun yang lalu.

"Ayah," panggil Dierja begitu bertemu dengan Ayahnya di ruang tamu.

"Kamu sudah pulang?" Kata Candra.

Dierja mengangguk. "Iya Ayah." Dierja menyalami Candra, begitu juga dengan Kenar. Candra mengernyit. Ia memperhatikan Kenar dari ujung kaki sampai kepala. Kenar berlindung di belakang punggung Dierja, ia merasa aneh dan takut dengan tatapan tajam dari Candra. Kenar bahkan meremas ujung baju Dierja.

"Ada apa Ayah?" Tanya Dierja melihat tatapan Ayahnya.

"Sopo kui?" Tanya Candra dengan suara berat dan dingin.

(Siapa dia?)

"Kenar, rencangipun Ayu, putrinipun Paklek Prastomo." Jelas Dierja.

(Kenar, sahabatnya Ayu, putri Paklek Prastomo)

Kedua tangan Candra mengepal. Raut wajahnya mengeras. "Seharuse wonge ora neng kene?"

(Seharusnya dia tidak di sini)

"Enten nopo Pak?" Dierja menggenggam tangan Kenar yang sudah dingin.

(Kenapa Pak?)

"Ono opo iki? Sopo kui?" Rasmini berdiri di samping Candra_suaminya. Iapun sama seperti suaminya. Memperhatikan Kenar yang tengah bersembunyi di balik punggung putranya.

(Ada apa ini? Siapa dia)

"Nek wonge koncone Ayu, ngopo ora mbok gowo neng omahe Prastomo?" Tanya Candra.

(Kalau dia temannya ayu, kenapa tidak kamu bawa ke rumah prastomo)

"Paklek Prastomo ten griyo sakit, Ayu kecelakaan. Wau, kulo ketemu Paklek Karsun. Tiyange sanjang Sari ical, nopo leres pak?"

(Paklek Prastomo di rumah sakit, Ayu kecelakaan. Tadi, saya bertemu Paklek Karsun. Dia bilang sari menghilang, apa benar Pak?)

Kenar hanya bisa mendengar, ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang di bicarakan. Namun, nama Sari yang di sebut - sebut membuatnya penasaran.

"Sari nopo Pak?" Tanya Rasmini.

(Sari kenapa Pak?)

"Sari ilang Bu." Kata Candra.

(Sari menghilang Bu)

Kenar menarik lengan Dierja. Melihat ekspresi terkejut Ibu Dierja tidak bisa membendung rasa penasarannya. "Ada apa dengan Sari?"

Dierja menoleh, "Sari menghilang." Kenar membekap mulutnya terkejut.

"Bagaimana bisa terjadi?" Tanya Kenar pelan.

"Aku ndhak tahu." Jawab Dierja.

"Sopo kui nak?" Tanya Rasmini.

(Siapa dia nak?)

"Kenar Bu, rencangipun Ayu." Kata Dierja. Dierja menarik tubuh Kenar pelan hingga Kenar berdiri tepat di sampingnya.

"Ayunya, mirip koyo..." Rasmini membekap mulutnya terkejut. Matanya melongo menatap ke arah Kenar.

"Ora mungkin," Gumam Rasmini.

***



NARIK SUKMO (TERSEDIA DI GRAMEDIA)Where stories live. Discover now