1

2.2K 272 51
                                    

Bunyi pancuran menggema di seantero ruang apartemen kecil yang sepi, di sana seorang gadis sedang membilas tubuhnya dengan air dari pancuran yang menghantam keramik lantai kamar mandi. Butuh sekitar sepuluh menit baginya untuk membilas tubuh yang telah berlumur keringat atau bakteri bakteri dari kasurnya.

Setelah itu ia sudah memakai bajunya dan bergerak ke ruang makan rangkap dapur yang ada di apartemen kecil tempatnya tinggal sejak ia berumur tiga belas tahun--sejak saat di mana ia mulai belajar melupakan kejadian mengerikan yang menimpanya.

Sarapan paginya cukup sederhana dan cepat disiapkan, gadis itu tinggal sedikit berjinjit meraih sekotak sereal dari kabinet yang terpasang enam puluh sentimeter di atas kompor. Tangan kurusnya menarik sereal itu hingga keluar dari kabinet lalu meletakkannya di meja konter, setelah itu mengambil sekotak susu dan mendidihkan susu putih tawar itu di dalam panci.

Sambil menunggu mendidih, ia berjalan ke arah sebuah sofa tanpa lengan, satu-satunya kursi yang ada di apartemen mereka dan dibeli setelah menabung selama setengah tahun kala itu. Tangan kanannya mengambil remot dan mulai duduk menikmati tayangan televisi, meski separuh dari dirinya merasa risi karena tangan kirinya tak kunjung berhenti untuk bergetar.

Sejak kejadian yang tak mau ia ingat, sebelah tangannya mengalami tremor dan tidak akan berhenti, dan beberapa jam lagi bukanlah tangannya saja, melainkan seluruh tubuhnya.

Lima menit berlalu, Nina beranjak dari sofa karena mendengar bunyi halus dari panci, sebelum susunya mendidih sempurna, ia segera memutar kenop kompor untuk mematikan apinya. Menggunakan bantuan gagang panci yang terbuat dari kayu, ia segera menuangkan cairan putih itu ke mangkok berisi keping-keping sereal.

"Oh, tunggu, aku lupa gula." Nina membiarkan sedikit dari air yang terlanjur membuat keping sereal menjadi empuk.

Gadis itu meletakkan panci dan menyalakan kompor kembali, suara halus yang menandakan bahwa susu segera mendidih kembali terdengar, ia mengambil stoples gula dan menuangkan setengah sendok butiran manis itu untuk menambah rasa pada semangkok sereal. Menggunakan sendok stainless steel miliknya, ia mengaduk susu yang diseduh itu agar bercampur dengan gula hingga rata.

Dirasa cukup, setelah membawa rambut panjangnya ke bahu kanan, ia membawa panci berisi susu hangat itu, menyiram keping cokelat sereal dan membiarkannya empuk selagi ia meletakkan panci itu yang sudah ia dinginkan dengan air dari keran tempat cuci.

Ini adalah bagian yang menurutnya paling menyebalkan sejak kejadian yang tak mau ia ingat itu, dengan hati-hati ia membawa mangkok serealnya ke sofa, untuk menikmati sarapannya di pagi yang hening dan menikmati acara kartun kesukaannya di televisi. Yang menyebalkan adalah karena salah satu tangannya yang tremor itu membuat gerakannya menjadi sangat pelan karena harus berhati-hati.

Seakan kurang pelan, ia harus membawa tubuhnya dengan hanya bantuan satu kaki normal, kaki kirinya pincang dari lahir, membuat paras Nina yang cantik menjadi sedikit rusak karena cacat yang ia derita. Jadi langkahnya terlihat seperti terseret, dengan tangan yang bergetar-getar.

Beruntung bahwa dapur rangkap ruang makan di apartemen yang ia tinggali bersama ibunya ini terletak bersebelahan dengan ruang tivi, hingga tak perlu waktu lama untuk mendudukkan bokongnya di sofa dan menikmati serealnya sebelum dingin.

---

Jam tepat menunjukkan pukul tujuh, masih setengah jam hingga bel sekolah berbunyi. Bagi Nina, di kota sekecil Dawson Pass yang ia tinggali ini, mustahil orang-orangnya mengenal istilah terlambat. Dawson pass terletak di dataran tinggi, tepat di Dawson Pass-nya terletak di dataran yang lumayan tidak naik turun, kecuali tempat ski yang mau tidak mau mengambil area satu kilometer lebih jauh dari pusat kota, mengasingkan dirinya dengan panorama puncak dan wahana skinya.

Omong-omong, pintu masuk Dawson Pass adalah sebuah jembatan sepanjang seratus meter, sebelum akhirnya, perlahan akan menukik naik sebentar dan sampailah para wisatawan di pusat kota Dawson Pass. Gadis itu mengakui bahwa kakek tua Dawson--ia menyebutnya demikian--hanya bisa bangun di musim salju, seperti Sinterklas Gendut yang hanya terlihat saat natal, tidak di musim panas dan musim-musim lainnya.

Namun, Sinterklas itu jahat menurut pandangannya.

Turun dari sembilan belas anak tangga, Nina meraih ponselnya yang sudah terpasang kabel pelantang telinga jenis earset yang kecil, benda serupa tanda koma tetapi lebih besar itu menancap tepat di lubang telinganya, mengantar bunyi petikan senar gitar langsung ke rumah keong di dalam sana.

Nina melanjutkan perjalanannya dengan santai, karena sesuai dengan apa yang sudah ia hapal, tidak ada kata terlambat di kota kecil ini, tempat semua hal yang menyebalkan terjadi padanya. Memasang musik bukanlah tanpa alasan, meski dengan tangannya yang terus bergetar tak karuan, meski kedua kakinya di mana salah satunya berjalan terseret, musik-musik akustik yang ia pilih dalam daftar putar cukup menenangkan dirinya.

Tiba-tiba saja, dua orang remaja yang mengendarai sepeda menyalip dan menertawakannya. Salah satu dari mereka yang berambut keriting seperti brokoli, menurut apa yang Nina lihat dari lebar mulutnya, tertawa paling keras.

Tentu saja, musik dari pelantang telinganya menghalau sebuah kata yang ia benci setelah mendapati bahwa kondisi tangannya yang tremor, ditambah kenyataan bahwa kakinya pincang, dan Nina sepakat tidak membahas kata apa itu selama perjalanannya berangkat ke sekolah yang lagi-lagi, sepi tanpa ditemani oleh ibunya.

Nina juga sepakat untuk terus mengacuhkan segala sapaan yang ia yakin bukan memanggil namanya meski orang itu jelas-jelas memandang ke arahnya. Ia terbiasa mengacuhkan itu sejak tahun terakhirnya di Sekolah Menengah Pertama, dan baru membuka sumpalan di telinganya setelah mematikan lagu dan memastikan bahwa ia benar-benar telah meletakkan pantatnya di bangku kelas.

Mendengarkan guru mengajar di depan kelas dengan sedikit menyerong dari papan tulis juga ia lakukan sebagai formalitas tahun terakhirnya di SMA yang berdiri di depan kelas.

Sesekali, gadis itu memandang ke luar kelas. Nina sendiri tak suka salju karena semuanya berawal di musim dingin di umurnya yang kedua belas tahun. Gadis itu tahu, di balik keindahan salju, jelas bersembunyi sesuatu yang mengerikan, yang siap menerkamnya.

Namun, hari ini ia tidak perlu khawatir. Setelah memastikan jadwalnya di kalender ponsel setelah bangun tidur tadi, di sana tertulis bahwa ini adalah hari di mana ia harus menikmati segala keindahan yang menyelimuti kengerian di Dawson Pass. Sebelum ia pamit pergi untuk membuang semuanya jauh-jauh dan bersifat selamanya.

Hampir jam sebelas siang, dan Nina menahan rasa sakit agar tubuhnya tidak bergetar terlalu keras, dengan tangan kirinya yang terus bergetar, ia memeluk dirinya sendiri yang kini terasa seperti dihujani jarum-jarum jahit. Namun, alih-alih darah yang keluar, bulir-bulir keringat dingin membuat tubuhnya terasa tidak nyaman, terutama dengan pakaian tebal dan berlapis yang ia kenakan.

Tiga detik setelah bel istirahat makan siang berbunyi, ia segera berlari ke luar sekolah menuju hutan-hutan pinus yang gundul yang terletak di kebun belakang sekolah, bersembunyi di balik batang kurusnya, ia mengambil sebuah stoples kecil seukuran lima sentimeter dari dalam tasnya, memutar tutupnya dengan tergesa-gesa dan segera menelan dua pil kecil begitu benda bulat pipih itu keluar.

Tidak lama setelah meminum pil itu, tubuhnya melemas, kakinya tertekuk dan tubuhnya merosot hingga terduduk di lapisan salju. Ia merasa terbang dan damai, perasaan yang ia rindukan, ia bahkan juga merasakan perasaan hangat seolah seseorang sedang memeluknya. Perlahan, kecuali tangan kirinya, getaran yang ialami sekaligus hujan jarum yang menyiksa tubuhnya berangsur pulih.

Tepat setelah bel masuk berbunyi lagi untuk meneruskan dua jam terakhir sekolah, tetapi Nina tak peduli, agendanya hari ini ialah keluar dari sekolah untuk menikmati hidupnya.

Tanpa ia ketahui bahwa seseorang telah melihatnya dari tadi.

*

Yak! Inilah dua bab pertama dari "I, That Should've Been Dead Last Night". Bagaimana menurut kalian? Inline di sini.

Menghindari todongan pembaca karena kolaborasi epik kami--uhuk--maka aku akan menulis bahwa cerita ini dan cerita partnerku akan dijadwalkan update setiap seminggu sekali di hari jumat atau sabtu :3

Jadi, tunggu saja, kalau jumat tidak update berarti tunggu besoknya, bye dan sampai jumpa minggu depan!

I, Who Should've Been Dead Last Night [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang