17

496 103 16
                                    

Satu-satunya yang ia dengar sekarang adalah suara degup jantungnya yang seirama dengan suara ban, menyeret dirinya di atas aspal, melindas salju.

Suasana di mobil telah berlalu selama lima menit dengan penuh keheningan. Namun begitu, Nina tetap merasa keheningan itu memeluknya sekarang, mematahkan tulang-tulang rusuknya. Tangannya basah dan dingin, terkadang kebas hingga ia harus melemaskan remasan jemarinya sendiri.

Lima menit yang lalu, ibunya datang ke kantor polisi. Wanita itu datang dengan wajah panik dan gelisah, sementara itu, Nina mendapat julukan baru untuk Markus—opsir bodoh.

Segera setelah ibunya datang, petugas polisi itu segera mengatakan sebaris kalimat yang membuat ibunya mematung.

"Anakmu, akan kami tahan."

Nina menyatukan kedua alisnya, lima detik kemudian, ia menyentak bahunya sendiri karena ibunya memukul meja Markus keras-keras.

"Apa keperluanmu menahan anakku, Tuan ...," Ibu Nina melirik ke papan nama kecil yang disemat di dada petugas polisi di depannya, "Markus?"

"Alasan utamanya adalah karena Putrimu, pecandu, Nyonya," ujar Markus, menekankan tiga kata terakhir.

Ibu Nina menyatukan kedua alisnya dan menggeleng samar. Buku jemarinya ia remas demi menahan kata-katanya agar tetap di tenggorokan, wanita paruh baya dengan rambut yang masih digelung itu menoleh ke arah Nina yang berada di sebelahnya—mereka semua berada dalam ruangan Markus.

Tanpa ragu, Nina meraih sebuah ampula yang sudah kosong, menunjukkannya pada ibunya tanpa ekspresi senang ataupun sedih. Ibu Nina membelalak, lalu kembali menoleh ke Markus.

"Ijinkan dia pulang dulu untuk malam ini, sebelum kau memenjarakannya."

"Maaf, Nyonya, Prosedur—"

"Aku akan membayar jaminannya, oke? Jadikan dia tahanan kota, dan aku akan membuat dia bersaksi soal obat-obat itu. Tawaran yang menarik, bukan? Dan pembayaran jaminan, diperbolehkan, bukan?" tanya Ibu Nina dengan wajah serius.

"Termasuk, membuat anakmu bersaksi soal penemuan mayat ini?"

"Apa?" Ibu Nina menoleh lagi, saling menatap pada putrinya. Wajahnya kembali mengeras. "Baiklah," ujarnya kembali ke Markus.

Markus mengangguk. "Oke, aku akan ke kota terdekat, di sana ada fasilitas rehabilitasi untuk Putrimu, sementara itu, Nina akan jadi tahanan kota selama kurang lebih 3 hari, lakukan pembayaran ke resepsionis di depan."

Lima menit kemudian, mereka sudah menyusuri jalanan dengan hening menggantung di antara mereka.

"Sejak kapan ...," Nina sedikit tersentak mendengar suara Ibunya yang berada di sampingnya, "sejak kapan, kau jadi pecandu."

Memakai kata pecandu membuat hati Nina terasa berdenyut. Tanpa sadar, ia sudah membuang muka, menatap jalanan bersalju dengan lampu-lampu temaram.

"Segera setelah aku menyadari bahwa tindakanku yang menggores tangan akan jadi berisiko. Aku masuk ke dalam forum kota ini, lalu mereka menyarankan sebuah wahana rekreasi yang tidak terlalu berisiko—dan tidak menimbulkan luka."

"Me-menggores tangan?"

Nina tertawa kecil dan singkat. "Bahkan, Ibu tidak tahu itu, karena setelah kejadian itu, Ibu tak lagi memerhatikanku." Di saat aku sangat membutuhkan Ibu di sampingku.

"Tidak memerhatikanmu?" Wanita paruh baya itu mengetatkan rahangnya. Ia meremas kulit stir mobil. "Kau lupa apa yang Ibu lakukan dulu? Dan kau masih menuduh Ibu tidak memerhatikanmu?! Ibu menyelamatkanmu dari Ayahmu yang bajingan itu, Ibu bahkan mendampingimu ke pengadilan, Ibu mengirimmu ke Rumah Sakit, itu semua belum cukup?!"

"Tetapi Ibu memerlukanku sebagai orang gila! Ibu bahkan jarang menjengukku kecuali saat proses pengadilan! Bahkan sampai sekarang Ibu hanya memikirkan pekerjaan-pekerjaan! Aku membutuhkanmu, Bu—"

"Jangan berteriak padaku!" Ibu Nina memukul klakson berulang-ulang, membuat Nina berteriak kecil dan membungkam telinganya rapat-rapat.

Hening kembali menggantung, hanya sejenak.

"Ibu bekerja karena Ibu memerhatikanmu, Nina. Ibu hanya mau kau hidup dengan normal setelah apa yang dilakukan Ayahmu, Ibu hanya ingin masa mudamu kembali." Suara Ibu Nina bergetar, air matanya tumpah bersamaan dengan Nina yang mulai menangis. "Lalu, kau ... Nenek Sihir itu, malah menyeretmu pada sesuatu yang bukan urusanmu, bukan begitu?"

"Nenek Sihir?"

"Eva. Dia tidak sebaik yang kita kira, Nina. Pekerjaannya sebagai relawan di setiap panti asuhan, tidak sebanding dengan apa yang telah ia lakukan beberapa bulan sebelum Ayahmu melecehkanmu."

Nina bungkam.

"Eva DeCusso telah berkali-kali tidur dengan Ayahmu, suatu hari, aku melerai hubungan mereka. Namun, aku tidak memerkarakannya asal hubungan kami berhenti. Kemudian, setelah Ayahmu dipenjara, akhir-akhir ini, Ia kembali mengontakku, membicaran suaminya yang hilang—"

"Dan melaporkan kejanggalan-kejanggalan orang-orang hilang ke kontakmu?" potong Nina.

"Jadi, kau benar-benar membacanya?" Nina menelan ludahnya. Sial, keceplosan. "Yah, begitulah, hubungan kami tidak baik sampai di hari ia meninggal, sampai sekarang."

"Jadi ...," Nina bertanya ragu-ragu, tapi ia akhirnya memberanikan diri untuk langsung kepada poin pertanyaannya, "apakah ... karena kecemburuan Ibu, maka Ibu membunuhnya?"

Tiba-tiba mobil berbelok, rem segera diinjak hingga mobil yang mereka tumpangi berdecit di atas jalanan yang licin, lalu berhenti mendadak, membuat Nina dan Ibunya terlempar ke depan. Kepala Nina pening karena sempat terantuk dasbor—terimakasih, sabuk pengaman yang tidak terikat.

"Nina, kau tidak apa-apa?" Nina mengangguk menjawab pertanyaan Ibunya.

"Jadi, kau tadi menuduh Ibumu?" tanya Ibunya tanpa melepaskan tangkupan tangan dari wajah Nina.

"A-aku hanya memastikan," Nina terbata-bata, "karena,  aku menemukan kesamaan dari istri-istri yang suami mereka menghilang. Ada seorang perempuan berambut panjang yang sering bertemu di kafe, menggoda mereka sebelum mereka hilang. Polisi tak menanggapi laporan ini—"

"Cukup." Ucapan Nina terpotong oleh Ibunya. "Cukup, oke? Lupakan dan istirahatlah, kau telah masuk ke sesuatu di mana kau tidak akan bisa hidup lagi, Nina."

Nina menundukkan pandangannya.

"Jika kau khawatir kau akan dituduh karena alibimu mungkin kurang kuat, Ibu akan menyelamatkanmu, sekarang," Sang Ibu mendekatkan Nina, meletakkan kepala Nina ke pundak dan tangannya merangkul tubuh rapuh Nina, "maafkan Ibu." Tangannya menepuk punggung dan membelai rambut Nina.

Ah, Nina sudah lupa perasaan hangat ini.

"Ibu akan menyelamatkanmu, lagi."

*

Aku kan kalau nulis enggak langsung di wattpad, yah, kukira sudah sampai 1K loh bab ini, ternyata berhenti di 895 kata :") tapi aku suka banget sama bab ini, rasanya bisa menyalurkan marah-marah dan kejutan lain soal perilaku Nyonya Eva dan hubunhan dengan Nina dan Ibunya. Bagian itu ga aku rencanakan, jadi pas muncul tuh aku be like: wadidaw ini ide oke juga.

Btw aku juga akan menyampaikan, kita akan tamat dalam 3 bab lagi :3 oleh karena itu, aku dan najihajarot akan lanjut meng-update ini tepat saat 25 Desember 2018! Semua tiga bab akhir sekaligus! Nantikan, yah.

I, Who Should've Been Dead Last Night [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang