3

1.1K 192 37
                                    

Halo! Mari kita sedikit bermain game--anggap saja begitu. Supaya kalian lebih seru membaca ini, ketika kalian sampai di paragraf yang punya tanda: [>] segera kembali ke atas untuk memainkan multimedia, lalu kembali lagi ke tempat paragraf bertanda. :3 selamat menikmati!

*


Rencana menikmati hidup sebelum ia benar-benar menghapus kehidupannya seperti yang tertera di kalender ponsel sebenarnya bisa dibilang, tidak terlalu lancar-lancat amat.

Bertemu dengan Nenek Tua Jansen sebenarnya tidak masuk dalam rencananya, karena Nina benar-benar hanya ingin berjalan-jalan dan cuci mata dan ya ... mengenang apa yang terjadi di sana. Kembali ke nenek paling tua di Dawson Pass, setelah jantungnya berdegup kencang--dan kepalanya masih pusing dan jujur saja saat itu deru napasnya belum lah kembali ke normal--tiba-tiba wanita berumur delapan puluh tahun itu menepuk bahu dan mengagetkan Nina dengan suara seraknya.

"Oh, Nak? Kau tidak apa-apa?" tanya Nona Jansen yang berdiri menopang pada tongkat empat kakinya.

Gadis itu perlahan berdiri setelah jatuh terduduk ke aspal yang membakar tangannya--loh, dia baru sadar kalau sarung tangannya tak ada di tempat yang seharusnya.

"Tak masalah."

"Kau tadi ketakutan? Apakah kau akhirnya dikejar olehnya?"

"Nya ...?" Nina menaikkan salah satu alisnya.

Gadis itu mengulurkan tangannya untuk menuntun Nenek Tua Jansen menuruni tangga yang disemen kasar, yang terletak di lereng landai menuju tanah datar selebar lima belas meter sebelum akhirnya tanahnya bersentuhan langsung dengan sungai panjang sebagai jalan satu-satunya keluar masuk Dawson Pass.

"Penyihir, kan?" tanya Nenek Tua Jansrn dengan suaranya yang bergetar--seirama dengan lutut ringkih yang selalu bergetar setiap kali kakinya menapak anak tangga.

"Nek, dengar ya," Nina mendesah keras-keras, tidak ada yang namanya Nenek Sihir, tidak di Dawson Pass, dan seluruh dunia." Mereka masih menempuh setengah perjalanan.

"Ada, kau saja yang tidak mengetahuinya. Dia berdiri di antara batang-batang yang lebat, dengan kulit seputih saljunya, ia menunggu manusia datang ke sana."

"Ya, ya, lalu." Nina sebenarnya terlalu cepat menyerah, tapi demi menghadapi Nenek Tua Jansen, hanya itu satu-satunya jalan.

"Mereka memberikan apel dan memangsanya."

Nina mendesah dan menggelengkan kepalanya pelan. Berbicara dengan nenek yang usianya terlampau tua memang sama saja dengan melantur bersama orang mabuk, balas apa saja yang terlintas di kepala.

Tiba-tiba, ia jadi ingin melantur bersama dengan orang tua dan orang gila, menertawakan kehidupan dan lalu mati begitu saja, tapi, toh, malam ini ia akan mati.

Matahari di sebelah kanannya sudah mulai tenggelam, selain hari yang beranjak gelap, mendung mulai tertata rapi di langit. Nina membayangkan, di malam terakhirnya nanti, bukankah akan sangat dramatis merasakan tubuhnya diselimuti es dingin oleh belaian air sungai Kakek Tua Dawson, selagi tubuhnya akan kembali beranjak naik, keping-keping salju akan turun seperti konfeti dari para malaikat untuk merayakan kematian Nina.

Gadis itu tepat pulang saat ibunya kembali berangkat kerja--dan wajarnya ya memang demikian. Akan aneh jika ia pulang tapi ibunya masih berada di belakang meja konter dengan rokoknya yang masih panjang.

"Apa, kau membolos hari ini?" Begitu yang pasti ditanyakan oleh ibunya.

"Kemari, Nak," ujar wanita berambut pendek itu sambil mengajak Nina memasuki kamar.

I, Who Should've Been Dead Last Night [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang