4

965 182 18
                                    

Jam kerjanya harusnya berakhir sedetik yang lalu. Benar-benar sedetik yang lalu dan Markus akan bisa bersantai dengan tontonan baru dan kopi hangat atau cokelat atau berondong jagung, demi Tuhan ia akan melakukan itu jika saja tak ada panggilan yang menginterupsinya sedetik yang lalu.

Persis sedetik yang lalu.

"Ow, Dude, kita akan bekerja sama malam ini, ayo cepat." Itu suara temannya yang harusnya menggantikan jam kerja Markus malam ini.

Mendesah keras-keras. "Ya, ayo." Markus memang termasuk hemat berbicara.

Jadi mereka segera mengendarai mobil dinas berkap terbuka, meluncur di aspal yang kanan kirinya mulai ditimbuni salju, ditambah hujan ringan. Markus menebak bahwa besok petugas pembersih harus bekerja lebih keras--dan memang begitulah tugas mereka.

"Padahal, kasus sebelumnya belum selesai, 'kan?"

Menyulut rokok elektrik yang pipanya sudah terselip di bibirnya, lelaki berahang tegas itu mengangguk membalas pertanyaan sahabatnya. Asap putih pekat dan wangi keluar dari mulutnya. "Risiko kita menjadi polisi."

"Polisi di daerah kecil, kau tahu, sangat tidak bisa diprediksi tiba-tiba ada kasus orang hilang dan ... yah, kau tahu ...." Partner Markus yang memegang kemudi membelokkan mobil melalui jalanan yang menurun.

Butuh setidaknya lima belas menit menggunakan mobil untuk menuju tempat kejadian perkara. Beberapa menit yang lalu, sebuah telepon mampir ke kantor kepolisian, suara di seberang sana terlihat sangat panik dan ketakutan.

"Eh, uh, Ke-Kepolisian? Kami dari Satuan Polisi Hutan, ehh--" Gio--Partner Markus--sampai harus mengernyitkan keningnya.

"Minggir." Suara panik itu dipotong oleh suara berat yang melanjutkan laporannya.

Laporan bahwa mereka menemukan mayat seorang wanita, gemuk, dengan rambut pirang panjang. Namun beberapa luka lebam ditemukan ada di sebalik lengan panjang kardigan yang ia kenakan, dan yang paling mencolok adalah bibirnya yang tidak beraturan dan mata seputih salju, serta kulit yang serupa patung lilin tetapi lupa diberi warna yang alami.

Gio tentu saja ada firasat bahwa ciri-ciri itu rasanya familiar (minus bibir dan mata putih serta kulit pucatnya).

"Orang hilang." Markus menyembur kepulan asap dari cairan rokok elektriknya.

Gio ber-hm ria menunggu penjelasan atas omongan tiba-tiba Markus.

"Aku merasa, bahwa ini mungkin salah satu orang hilang--maksudku, memang dia."

"Aah!" Gio seperto berhasil menyalakan saklar di atas kepalanya. Tadi sebelum berangkat--juga sebelum Gio mengganti sif kerja Markus, dan sebelum Markus mendesah pasrah juga karena tidak bisa pulang di rumahnya yang nyaman--Gio sedikit memberikan ringkasan laporannya.

Penemuan, mayat, wanita. Coba tebak, siapa wanita yang selama ini menghilang dan tiba-tiba ditemukan di tengah hutan--atau tepi? Mengingat spesifiknya ada di dekat jembatan perbatasan--dengan keadaan tanpa nyawa? Tentu saja, itulah kenapa laki-laki di usia awal tiga puluhan itu merasa familiar dengan ciri-ciri yang disebutkan.

Lima belas menit terlampaui, mobil mereka bergerak di jalanan datar, dan jembatan itu sudah terlihat di depan mata. Kedua sisi jembatan itu dipasang struktur besi penyangga yang bertuliskan "selamat datang-selamat tinggal Dawson Pass" di kedua sisinya. Dengan letak-letak karat yang banyak, siapapun tahu bahwa bisa saja lima tahun ke depan, papan itu akan ambruk.

Gio memarkirkan mobilnya tepat di belakang ambulans yang telah datang, salah seorang polisi hutan--muda dan gugup--menyambut kedatangan mereka dengan kikuk, canggung, sekaligus panik. Markus menyambar kamera digital dari dalam laci dasbor sebelum mereka bertiga bergerak bersama ke lokasi spesifiknya.

Di sana, paramedis berdiri dengan kelengkapan pakaian yang patut diberi bintang lima, mereka bersalaman dengan Markus dan Gio. Sementara Gio mendengarkan kesaksian kedua polisi hutan, Markus memotret jenazah itu dari berbagai sisi dengan menggubakan bantuan kilat kamera karena posisinya berdiri menahan satu-satunya sumber pencahayaan.

"Oh, jadi dia saksinya?" Markus mendongakkan kepalanya, melihat semua orang yang ada mengarah ke arahnya ... atau bukan?

"Apa?"

"Dia." Gio menunjuk gumpalan--Markus tidak yakin apakah gumpalan adalah sebutan yang pas--yang berada di sebelahnya.

"Oh maaf, Nona." Pria berumur lima tahun lebih tua dari Gio itu beringsut.

Matanya baru menangkap seorang gadis dengan segelas kertas dan kopi hangat di tangkupan tangannya, seluruh badan gadis itu dibungkus oleh kain selimut yang ia yakin sudah cukup hangat. Namun, kenapa gadis itu masih tetap menggigil?

"Tenangkan dirimu dulu, Nona, minum kopi itu dulu sebelum kita melanjutkannya di kantor polisi." Markus kembali berjalan, menyerahkan urusan di TKP ke Gio yang sibuk menelepon tim forensik yang akan bekerja sama dengan pihak paramedis dari rumah sakit setempat--yang kecil, Markus menebak pasti mayat itu akan dirujuk.

Tidak jauh dari tempat mayat itu tergeletak, Markus menelisik timbunan salju yang tampak aneh di matanya. Curiga, ia mengatur mode fotonya menjadi video, dengan cara itu cahaya kilat dari kamera akan tetap menyala cukup lama.

"Oh, sial!" Markus menangkap beberapa jejak kaki, dan beberapa di antaranya adalah jejak kakinya yang terlihat berputar-putar.

Markus mengumpat karena ternyata ia turut andil merusak TKP, meski hanya sebagian kecil.

"Nona, kau melewati area ini?" Nina mengikuti arah cahaya yang diberikan Markus.

Gadis itu terkejut saat melihat beberapa jejak kaki--banyak sekali. Tidak bisa bicara karena serangan bagai dihujani jarum terasa semakin intens, ditambah syok, ia menggeleng.

"Ada apa, Mark?" Gio berjalan mendekat dan memerhatikan area yang disorot Markus, jejak-jejak kaki yang terlihat acak dan rusak.

"Kalian tadi melewati area ini?" Markus mengulang pertanyaannya pada anggota polisi hutan dan paramedis, gelengan adalah jawabannya.

Tidak ada yang melewati area itu, dan Markus hanya merusak sebagian kecil TKP, tidak lebih dari radius satu meter. Sementara itu, ada dua penerangan yang menerangi hutan pinus ini. Satu, bulan, yang segera dicoret dari Markus karena hari ini mendung. Dua, lampu-lampu halogen di setiap lima meter yang dipasang sepanjang aliran sungai bisa menembus batang-batang tinggi di sini. Tidak terlalu terang, tetapi cukup untuk meletakkan mayat tanpa ketahuan, dan cukup pula untuk ....

"Gio, apa kau memikirkan apa yang kupikirkan?" Markus memastikan firasatnya.

"Yang mana? Yang paramedis cantik dan seksi atau--"

"Bukan, Mesum!"

"Oke, kalau soal kepintaran siapapun yang membuat jejak ini, ya, kita sepemikiran."

"Aku pinjam senter!" Markus menengadahkan tangannya, menerima uluran senter dari Gio dan bergegas bergerak.

Tak perlu diperintah, Gio segera menarik salah satu petugas polisi hutan--yang paling muda dan kikuk--untuk bergerak mengambil pita polisi, mengamankan TKP terutama area jejak itu dibuat. Markus dengan pencahayaannya yang sekarang ditambahi senter mulai menelusuri jejak-jejak itu. Siapapun yang membuatnya, pastilah orang yang pintar, dan kemungkinan dia ada hubungannya dengan Nyonya Eva--mayatnya. Rekaman video masih menyala, Markus meneliti bagaimana jejak itu dibuat sangat acak, ini akan mudah jika ia dapat menemukan jalur utama jejak itu, yang hanya menuju pada satu arah. Namun, karena pencahayaan yang semakin lama semakin gelap, siapapun yang membuat jejak ini juga tak ragu menginjak salju, mengakibatkan ada dua pasang jejak yang saling tumpang tindih, dan jejak-jejak itu dibuat menyebar.

Rekaman video dimatikan. "Keparat!" Markus mengumpat.

I, Who Should've Been Dead Last Night [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang