12

517 100 10
                                    

Sebelum membaca, ada baiknya kita menunduk sebentar untuk mendoakan korban Gempa dan tsunami yang melanda Donggala dan Palu, semoga tetap tegar.
*

Ada alasan lain mengapa Nina tak menghapus rekaman suara mengenai telepon Nyonya Eva yang mampir ke ponsel ibunya. Selain ia yang tidak tenang dengan statusnya--ya, statusnya sebagai saksi, kemarin malam malah ia menemukan beberapa orang bergerombol di depan jendela apartemennya, wartawan?--ia setidaknya juga memiliki bukti bahwa ia bukan pembunuh Nyonya Eva. Jaga-jaga saja kalau ia kembali diinterogasi pihak kepolisian.

Beberapa hari berlalu setelah Nyonya Eva ditemukan, Nina bisa bilang bahwa mungkin penyelidikan polisi agak sulit dilakukan karena minim data. Gadis itu mendesah saat tahu kesaksiannya sendiri juga sama sekali tidak membantu,  lalu memberikan bukti rekaman itu? Heh, Nina bakalan menemui berbagai interogasi rumit yang dilayangkan padanya dan ibunya.

Ia selesai menulis, lalu memandang Dolores yang masih mendapat setengah halaman, Connor di depannya ... memejamkan mata? Apa-apaan?

"Kau sudah selesai?"

"Ya," jawab Nina, singkat.

"Kau tahu, aku mulai memikirkan sesuatu." Dolores mengangkat pulpennya ke dagu, lalu menulis lagi. "Aku akan membantumu lepas dari obat-obatan itu, ini masuk tujuan dari persahabatan kita--atau, simbol persahabatan."

Nina mengernyit lalu terkekeh. "Coba saja kalau kau bisa." Dolores mau tak mau tersenyum miring.

Ketika bel pulang berbunyi, saatnya bagi Nina untuk melanjutkan kegiatan itu lagi, menyeret Dolores dan--kali ini ia tak perlu repot-repot--menyeret Connor, menyalakan ponselnya dan mengirimkan swafoto bersama dengan izin terlampir ke akun ibunya.

"Lagi?" tanya Connor, Nina hanya mengangguk.

"Sampai ketemu malam nanti, Dolores!" ujar Nina sambil mulai berlari, lalu ia berhenti dan berbalik. "Aku kelupaan sesuatu," ujar Nina.

"Apa?" tanya Dolores.

"Kau tahu, sepertinya reporter juga mulai menguntit rumahku--"

"Serius?"

"--Jika kita pergi ke rumahku nanti malam, aku akan menunjukkan jalan pintas, oke? Sekarang aku buru-buru." Lalu Nina mulai berlari lagi dengan kaki pincang dan tangan tremornya.

"Tunggu, Nina!"

Gadis itu tetap tidak menggubris. Tujuannya ada di genggaman tangannya, orang hilang nomor dua, seorang pria bernama Charles Wain. Di genggamannya terdapat robekan kertas koran yang ia dapat dari Nyonya Eberhart, Nina baru sadar bahwa ia lupa mengucap terimakasih saking waktunya yang sangat terbatas. Salju turun rintik sekitar lima menit yang lalu, lalu kembali berhenti, agaknya itu membuat Nina tidak perlu terlalu khawatir.

Gadis bertangan gemetar itu juga sudah meminum obatnya tadi. Kaki pincangnya terus menyeret tubuh kurus itu menuju ke sebuah tempat di mana jalanan mulai menanjak. Lokasi pria kedua memang berada di jalanan menuju kawasan ski dan kompleks vila milik warga setempat. Berada di tanah miring membuat rumah-rumah di sana justru menarik perhatian--setidaknya menurut Nina.

Kediaman Wain tak ubahnya seperti kebanyakan rumah di area itu, terlihat seperti memiliki satu setengah atau dua setengah lantai, tentunya dengan atap-atap tinggi dan cerobong asap. Nina mengecek alamat yang ia bawa, kemudian melanglah ke sebuah rumah yang terlihat lebih modern dengan dinding bata berwarna putih.

Charles Wain juga seorang pengusaha anggur di Dawson Pass, dan memulai ekspansinya di kota tetangga. Konsep rumahnya sendiri terbagi menjadi dalam tiga massa bangunan, sebuah bangun kotak dengan atap runcing yang panjangnya dari lantai dua hingga menyentuh bangun persegi panjang yang diberi pintu gulung--Nina berasumsi bahwa itu garasi.

Di sebelah kirinya ada bangun yang sama dengan atap runcing tetapi terlihat lebih pendek, sebelum menaiki tanjakan ini, Nina telah melihat bahwa salah satu bangunan yang terlihat pendek dari depan itu sebenarnya terbenam. Menjadikan ruang santai pribadi yang bergabung dengan patio tanpa atap.

Nina masuk di antara bangunan pertama--yang terlihat dua lantai--dengan garasi, menuju dua pintu kaca dan menggoyangkan lonceng.

Tak perlu menunggu lama bagi gadis itu untuk menunggu pintu terbuka. Tepat setelah ia selesai menggoyang, pintu terayun terbuka dan di depannya ada seorang model ... sepertinya.

"Ya? Ada apa?" tanyanya ramah.

"Maaf, kediaman Wain?" Wanita berambut pirang bergelombang itu mengangguk menjawab Nina.

"Kau ada waktu? Aku ada beberapa pertanyaan--Oh aku bukan reporter!" Nina buru-buru menjelaskan.

Wanita itu terkikik. "Mau Kau reporter atau bukan, aku akan tetap melayani pertanyaan soal suamiku. Iya, 'kan? Pasti itu yang kau tanyakan." Ia menyingkir dari pintu. "Ikuti aku."

Kaki pincangnya menyeret Nina masuk mengikuti wanita cantik yang ternyata istri dari Charles Wain. Gadis itu berani taruhan, harusnya istrinya mengambil kerja di luar Dawson Pass, dan rumah hiburan akan segera berebut merekrutnya sebagai model, paling tidak, satu atau dua level di bawah model-model Victoria Secret.

Mereka terus berjalan melewati bagian tengah rumah, menuruni lima anak tangga dari susunan papan kayu. Nina berdiri sejenak di patio sembari mengamati pemandangan dataran tinggi Dawson Pass, menghirup udara dalam-dalam, lalu melangkah ke bagian kiri rumah. Itu adalah bangunan ketiga yang tampak tenggelam saat melewati bagian depan, tetapi bangunan itu sebenarnya adalah sebuah rumah kecil yang salah satu dindingnga dipenuhi rak anggur buatan sendiri. Ruangan itu berukuran lima kali enam meter, dengan salah satu ujungnya adalah dinding kaca penuh dari lantai hingga menyentuh langit-langit yang diletakkan miring.

Pintu masuknya tadi sebenarnya adalah pintu geser besar yang menghubungkan patio dengan rumah anggur, jika dibuka penuh, tentu saja ruangan terlihat semakin besar dan segar. Siapapun yang duduk di dalam rumah anggur ini masih dapat melihat pemandangan kota di salah satu sisi dinding, serta mengamati pemandangan salju di lereng lewat pintu geser besar yang terbuat dari kaca.

"Kemarikan mantelmu." Nina mengerjap, lalu segera melepas mantelnya saat Nyonya Wain selesai menyalakan pemanas ruangan lewat perapian.

Pintu geser ditutup.

"Anggur?"

"Boleh, tapi yang kadar alkoholnya sedikit saja, aku harus pulang dalam keadaan segar," jawab Nina setelah duduk di depan meja sepanjang tiga meter di tengah ruangan.

Nyonya Wain berjalan ke arah rak anggur dan mengamati selama beberapa jenak. Lalu mengambil salah satu botol dan dua gelas tangkai, wanita itu membawanya ke meja.

"Untukmu." Nyonya Wain menyodorkan segelas anggur.

"Terimakasih." Nina membalas senyum Nyonya Wain.

"Minumlah dulu, kapanpun kau siap dengan pertanyaanmu, aku siap."

Nina menyesap sedikit, setelah diam beberapa jenak, ia mulai mengangkat kepalanya. Nyonya Wain masih tersenyum hangat.

"Kau yakin?" tanya Nina.

"Ya, apapun akan kuberikan pada siapapun yang berusaha mengorek informasi tentang kami--terutama suamiku--aku hanya menilai bahwa ini satu-satunya jalan, yang mungkin akan membawaku menemui suamiku." Tatapannya sendu.

"Baiklah," Nina menghela napas, "aku mulai."

*

Heyho! Tahu tidak, bab depan, dua pemenang dari giveaway "I, Should've Been Dead Last Night" akan kumasukkan sebagai pemeran di cerita, hehe. Omong-omong, aku sedang menyesuaikan pace cerita agar tidak terlalu terburu-buru, tapi kita lihat saja nanti, aku sangat butuh komentar kalian jika jadinya malah terburu-buru atau terlalu lambat atau apa pun. Baiklah, sampai ketemu minggu depan!

I, Who Should've Been Dead Last Night [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang