5

783 160 29
                                    

Rasa ditusuk-tusuk jarum itu semakin terasa intens. Namun, Nina harus berusaha keras untuk menahannya.

Baru saja, sekitar sejam yang lalu, TKP sudah dipenuhi oleh tim forensik dan para jurnalis. Gadis itu juga bisa menebak bahwa malam ini, statusnya bukan lagi siswi SMA Dawson Pass, tetapi sebagai saksi atas penemuan sebuah mayat di dalam hutan.

Jadi, di sinilah ia sekarang, sakau di atas kursi yang ada di dalam ruangan tertutup--ruang interogasi. Ada kaca satu arah di sana, Nina yakin bahwa polisi-polisi itu sebenarnya ada di sana, mengawasinya dahulu sebelum penginterogasi masuk ruangan.

Apapun itu, Nina tak mau memperburuk suasana bahwa dia adalah pengguna obat dan dalam keadaan ketergantungan. Tidak sekarang, saat ia pada akhirnya dijaring polisi untuk memberikan kesaksian.

"Selamat malam, Nona." Suara pintu dibuka dan ditutup di belakangnya.

Sepatu pantofel berderap ke arahnya, seorang laki-laki dengan rahang tegas yang membuat wajahnya cenderung kotak alih-alih bulat, dengan rambut yang beberapa surainya pirang dan hitam. Ia mempunyai cambang tipis, yang kentara dipelihara dengan ketipisan yang rapi serta konsisten.

"Nina Carsson," panggilnya sambil membolak-balik lembaran kertas yang ia taruh di atas meja. "Aku tak akan basa-basi, mengingat kau sudah diberikan minuman hangat dan orang-orang telah menyalakan penghangat ruangan di sini, soal kau yang masih menggigil bukanlah urusanku." Matanya melirik Nina yang diam.

Gadis itu terbungkam, rasanya punggungnya seperti dipukul dengan palu godam. Polisi itu memancingnya.

"Maaf, Tuan. Ya ... kau tahu bahwa berjalan-jalan di luar saat tengah malam menuju dini hari di musim salju adalah ... pilihan yang bodoh." Nina berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar.

"Hmm ...," polisi itu mengangguk-angguk. "Jadi, kalau kau tahu itu adalah sebuah pilihan yang bodoh, kenapa kau melakukannya?"

"Pilihan yang bodoh dibuat oleh orang bodoh, Tuan," jawab Nina.

"Kau tahu bahwa tidak mungkin aku menuliskan 'seorang gadis bodoh--agak idiot, mungkin sakit mental--sedang berjalan-jalan di tengah malam dingin yang sedang hujan salju ringan. Lalu tiba-tiba menemukan mayat di sana."

Sekali lagi, Nina merasa seperti punggungnya dipukul oleh palu godam. Menyadari bahwa sebenarnya dia semakin merusak suasana, merugikan dirinya sendiri. Tentu saja, gadis itu juga tahu bahwa maksud polisi di depannya untuk 'itu bukan jawaban yang kuinginkan, jadi jawablah dengan jujur.'

"Nyonya Eva DeCusso, ia hilang selama tujuh belas minggu sejak laporan kehilangannya terbit. Kau pasti familiar dengan wajahnya di selebaran yang ditempel di seisi kota."

'Ya.'

"Wanita itu hilang di saat yang menyebalkan, saat polisi disibukkan dengan kasus orang hilang lain yang entah kenapa sedang menjamur di kota sekecil ini."

'Aa ... benarkah?'

"Nyonya Eva DeCusso, satu-satunya orang hilang yang kami temukan dalam keadaan ... bukan manusia."

Nina diam.

"Hasil forensik sementara yang dipotret dan langsung dikirim ke kami adalah luka-luka yang di dapat Nyonya Eva. Irisan yang malang melintang di bibirnya--"

'Tolong jangan sebutkan ....'

"Kau tahu, jadi bibirnya seperti buah plum yang terinjak, jadi tidak beraturan dan tidak bisa kau sebut bibir lagi."

'Tolong ....'

"Luka lebam, mungkin bekas pukulan benda tumpul, dan itu ada di sepanjang lengan dan kakinya. Tidak membuatnya patah tulang, tapi jika Nyonya Eva ingin lari, maka itu cukup untuk membuatnya tidak bisa berdiri."

I, Who Should've Been Dead Last Night [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang