16

443 105 3
                                    

Rahang Nina terasa membeku sekarang, segelas kopi bahkan tak mampu melelehkan rasa dingin yang masih saja terasa mengunci kedua rahangnya.

Entah berapa menit gadis itu telah tersungkur di atas tumpukan salju. Saat ia sadar, mukanya bersitatap dengan wajah mengerikan penuh lebam dengan mata dijahit terbuka penuh. Nina tergeragap, kepala mayat pria itu menyembul dari karung, sementara pelototan mata itu ... menunjukkan Nina bahwa kehidupan telah pergi dari tubuhnya.

Tak kuasa berteriak, ia justru berlari, menyaruk salju tebal, tersandung dan hidungnya lagi-lagi terantuk batang pinus. Malam di mana ia seharusnya mati kini terulang kembali, Gadis itu hanya bisa menunjuk dan menangis histeris di depan dua orang pria-pria gendut yang menjabat sebagai polisi hutan.

Tak lama setelah mereka kebingungan, Nina yang terlanjur kesal segera saja mengeluarkan satu kata yang membuat mereka sigap mengambil kunci mobil dan senter. Mereka memberikan segelas kopi hangat dan mendudukkan Nina dalam mobil.

"Mayat!" Itulah yang ia ucapkan, sebelum berakhir di ruang interogasi—lagi.

Malam itu, harusnya Nina sudah mati. Malam ini pun begitu, tapi sekarang Nina ragu, mungkin kematian sedang bercengkerama dengan kehidupan—menyesap cokelat hangat sambil menertawai seorang gadis yang harus bertemu mayat tepat di depan matanya sendiri, dua kali.

Nina hampir bisa menebak apa lagi yang akan terulang dini hari ini. Yang pertama, rasa itu kembali lagi, punggungnya terasa ditusuk-tusuk jarum, gadis itu meremas gelas kopinya.

"Kau," suara berat seorang pria memasuki telinga Nina setelah pintu ruangan dibuka, "sudah siap berbicara?" Pintu tertutup.

Markus bergerak dan meletakkan bokongnya di kursi di depan Nina, tak lupa menaruh segelas gertas lagi beraroma cokelat.

"Jaga-jaga siapa tahu kau tak suka kopi. Minumlah dulu karena ...," Markus mengusap wajahnya keras-keras, "siap tidak siap kau harus memberikan keterangan. Mari lupakan saja bahwa kau juga akan dicurigai terkait penemuan mayat ini."

Tepat, itulah yang dipikirkan Nina sekarang, Pak Polisi.

Namun, Nina hanya bungkam, remasannya terhadap gelas kertas yang ia genggam semakin keras.

"Aidan Jorg, kami tidak tahu apakah dia berhubungan dengan kasus Nyonya Eva, tapi Aidan jadi orang kedua—maksudku," Markus memijat pangkal hidungnya, "Mayat kedua, dari kasus orang hilang. Oh Tuhan, mereka kembali tanpa nyawa, dan dengan peti." Polisi itu menyesap minumannya.

Markus memicingkan matanya, memperhatikan Nina yang tetap membatu, tetapi punggung dan bahu gadis itu sedikit bergetar. Jika ia tidak memicingkan matanya, mungkin getaran itu tidak ia ketahui.

"Kau kedinginan?" tanya Markus.

Gadis di hadapannya itu hanya bisa melotot. Nina berusaha tidak keceplosan bahwa ini waktunya mengonsumsi obatnya.

"Minumlah!" Perintah Markus tanpa  membentak. "Minuman hangat, oke? Sambil kau minum, aku akan menjelaskan keadannya."

Nina bergeming, Markus mendesah.

"Aku ulangi, namanya Aidan Jorg, okupasinya adalah—" Dan begitu saja suara Markus jadi terdengar gamang di telinganya.

Rasa ditusuk-tusuk itu, entah kenapa membawa Nina pada berjam-jam yang lalu, di mana ia bangun dalam keadaan pening.

Berjam-jam yang lalu, adalah malam setidaknya Nina ikut dinyatakan hilang, lalu entah ditemukan beberapa jam atau hari berikutnya dengan keadaan tersenyum—tapi tanpa nyawa.

Keinginan itu layaknya kerikil yang terlempar dari ban mobil, terjun ke sungai, dan airnya yang tenang menenggelamkannya—mematikan keinginan itu.

Daripada Markus, gadis itu lebih tahu apa yang terjadi beberapa jam yang lalu. Ketika ia bangun dalam keadaan pening, segera tersadar ketika ia bertatap mata dengan seorang pria, matanya melotot seolah-olah marah terhadap Nina.

Mata yang melotot itu, melihat kehidupan di depannya, tanpa nyawa, kelopak matanya dijahit ke atas sehingga mata itu tak bisa menutup sempurna. Mata yang sudah mati menggambarkan kengerian kehidupan—yang mengancam Nina. Gadis itu segera saja berlari, tanpa berteriak, tanpa bersuara, hanya derap langkah dan degup jantungnya.

Otaknya hanya bisa bergumam, mayat-mayat-mayat berulang kali. Mayat seorang pria, melotot padanya.

"Kau tahu," sekarang suara Markus tumpang tindih dengan visual yang ia lihat beberapa jam lalu, "luka Tuan Aidan Jorg berbeda dengan luka yang ada pada Nyonya Eva, dua kesamaan dari mereka adalah: mereka lebam dan pembunuh mereka adalah orang yang sadis."

Pembunuh, ya ....

Remasan Nina mulai menguat, air dalam gelas itu segera naik ke permukaan. Gadis berambut panjang itu segera ditarik lagi, mundur menabrak aturan waktu.

Sebelum ia terbangun dengan seorang mayat, ia sudah berada di ambang kehidupan—bermaksud mengumpat pada sebuah tempat. Pohon pinus yang menjulang tinggi itu, meraihkan kesialan untuk Nina, seolah mengatakan: "Karena Santa Klaus sudah mati, aku yang memberikan hadiah bagi gadis manis dan baik sepertimu, Nina Carsson! Kau mendapat hadiah untum hidup lebih lama!"

Keparat.

Tak lama setelah itu, suara langkah kaki yang menginjak—sedikit menyeret dan tak beraturan—di atas salju, tertangkap di telinganya. Nina refleks berlari dan bersembunyi di balik sebuah pohon pinus lagi.

Lalu, entah datang dari mana tindakan itu. Nina menolak hadiah dari Pohon Pinus Sialan yang merenggut kematian darinya, ia berlari, bermaksud menyergap siapapun di sana. Tangannya memeluk tubuh seorang ... seorang pria—lelaki. Gadis itu segera kalah telak, tubuhnya didorong—atau terlempar?—, jatuh dan hidungnya terbenam dalam saju, disusul dengan hantaman keras pada lehernya.

Sosok itu segera terlihat, hitam pekat menutupi cahaya bulan, samar, dia pergi meninggalkan Nina dalam keadaan tak sadarkan diri.

Remasan Nina praktis membuat kopi panas meluber dari tempatnya, turun ke tangannya dan membuatnya berjengit, kursi besi jatuh dan berdenting di lantai. Rasa ditusuk jarum itu berubah lebih menyakitkan, Nina jatuh memeluk tubuhnya sendiri, membuat Markus kebingungan dan panik.

Obat, ya obatnya.

Tangannya meraih benda itu di saku celana, kali ini, ia mengabaikan Markus—ia tidak peduli apakah ia akan segera ditahan saat ini juga. Sebutir obat sudah masuk ke dalam mulutnya, segera melebur menciptakan ketenangan bagi tubuhnya.

"Oh, sial!" Kali ini, umpatan Markus terdengar jelas bagi Nina, dan rasanya gadis itu ingin segera tertawa.

Jadi, bagaimana menurutmu, berurusan dengan saksi ahli yang ternyata adalah pecandu obat?

*

Part ini ga sampe 1000 kata ternyata, oh well apakah aku sudah bilang kalau dalam 4 bab ini akan tamat? Yep, akhir tahun, jika tidak molor cerita ini—kedua cerita Dawson Pass Project—tamat. Sedikit demi sedikit akan kunaikkan tensi cerita biar seru, HEHE.

I, Who Should've Been Dead Last Night [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang