9

615 118 13
                                    

Nina tidak dapat meletakkan dirinya di dalam kelas hari ini. Gara-gara kejadian semalam, ia terlalu ceroboh hingga menekan apapun di layar ponselnya, tak sadar bahwa ia sedang mengunggah rekaman suara yang berbahaya.

Rekaman suara yang berisi kotak suara dari Nyonya Eva.

Dia segera memprivat rekaman suara itu, kebetulan belum ada tanda bahwa sudah ada yang mendengarkan. Gadis itu segera menghubungi salah satu kru lewat pesan obrolan, dan dengan senang hati, kru tersebut menjawab seperti "kami melindungi privasi semua orang, terlebih jika rekaman itu di privat. Tentu saja, rekaman suaramu masuk dalam database, tapi kami tak akan mengunduhnya kecuali ada surat tugas dari kepolisian yang menandakan bahwa kau seorang kriminal."

Diingat-ingat, Nina jadi kesal ketika kru itu menambahkan pesan tersebut dengan "tapi jika kau seorang gadis yang ingin dipuaskan oleh seorang gigolo, yah, selamat bersenang-senang! Aku punya beberapa rekomendasi laki-laki dengan senjata terkuat mereka jika kau butuh. Intinya, semua yang ada dalam forum adalah urusanmu sendiri dan dijamin aman!"

Setidaknya itu sudah membuat gadis itu lima puluh persen lega, tinggal berdoa--yang sepertinya ia tahu pasti bahwa Tuhan tidak akan mendengar racauan pecandu sepertinya--supaya tidak ada staf dan kru jejaring itu yang iseng mendengar suaranya.

Itu yang pertama, kedua, konfrontasi ibunya yang dilakukan di meja makan. Nina tak biasanya menemui ibunya pagi-pagi sudah menyiapkan sarapan berupa roti panggang.

Sekaligus tak menyiapkan alasan ketika pertanyaan itu datang.

"Ibu merasa aneh, rasanya ada yang berubah di angka kotak masuk ibu."

Nina tetap menyuap roti bakar, saat ini, berusaha tampak biasa-biasa saja adalah hal terbaik.

"Ketika ibu menekannya, ada beberapa kotak suara dan satu pesan suara masuk yang telah dibuka." Ibunya memicing. "Kau tak mendengar satupun nada dering?"

Nina menggeleng.

"Kau tak membuka ponsel ibu?"

"Apakah ibu mencurigai anak ibu sendiri?" Nina berusaha menjaga nada suaranya agar tidak bergetar.

"Kau benar, maaf. Ibu hanya terlalu lelah dan masih syok. Hubungan kami sempat dekat dan sempat ada masalah hingga perlahan menjauhinya."

Gadis itu menyatukan kedua alisnya.

"Nyonya Eva, jasad yang kau temukan itu adalah sahabat ibu."

Fakta itu jadi penyebab ketiga dia tidak dapat fokus di bangkunya. Sampai colekan tangan di bahunya, sampai ia sempat pindah tempat duduk bersama seorang gadis--siapa dia?--sampai ia tiba-tiba menjadi pusat perhatian karena meja di depannya digebrak oleh sebuah tangan cowok yang duduk di depannya.

"Tunggu, apa masalahmu?" tanya Nina.

"Tanyakan itu pada dirimu sendiri," jawab cowok itu.

"Nina, kau tak apa? Sumpah kau linglung seperti orang gila bahkan sebelum aku menyeretmu pindah ke sini," Dolores menambahkan.

"Tuan Lowe dan Nyonya Carsson, kerjakan tugas kelompok kalian dan jangan membuat keributan. Fokus!" Seakan kurang buruk, seorang guru di depan kelas ganti menceramahi Nina.

"Maaf," ujar Nina.

Dolores menggeleng, dan seorang cowok di depannya--tunggu, siapa namanya, ya--menggumamkan sesuatu yang membuat Nina mengernyit heran, untungnya, Nina adalah seorang gadis yang bodo amat.

Mungkin cowok itu bergumam 'cewek sinting', ya bagaimana, depresi dan stress dan trauma juga masuk dalam hal terkait mental--intinya, Nina juga tak mempermasalahkan itu.

Cowok di depannya mengangsurkan kertas.

"Tulis namamu."

Perasaanku atau cowok ini memang hemat dalam berkata-kata? Tapi terserah sih.

Tangan Nina meraih kertas tersebut dan menorehkan namanya di bawah tulisan "Connor Lowe". Mata Nina memicing, sekelebatan informasi tiba-tiba saja mengetuk kepalanya. Diana Lowe, sebuah nama yang tiba-tiba masuk dan terkubur di dalam derasnya spekulasi-spekulasi bodoh di forum orang-orang bodoh.

Sambil memberikannya ke Dolores, Nina jadi punya niatan untuk mengonfrontasi Connor, tentu saja tentang Diana. Namun, ia sadar bahwa itu adalah hal ... yang kurang berdasar. Singkatnya begini, Nina punya informasi yang jauh lebih akurat, yang disimpan dalam rekaman suara di akun forum iso-avant.net-nya.

Rekaman suara dari kotak masuk Ibunya, suara Nyonya Eva sebelum kematiannya.

"Apa?" Lelaki di depannya menyadarkan gadis itu bahwa ia baru saja memandangi wajah Connor selama sepuluh detik.

"Bukan apa-apa." Nina memejamkan mata dan mengambil napas panjang.

"Mungkin, Lady Fuhrer sedang merapal mantra supaya kau jadi korban Holokaus."

"Yeah, Sieg Heil!"

Suara tertawaan merebak dari samping Nina. Tanpa memandang siapapun itu, jika orang itu tahu sebutan Lady Fuhrer dan Hitler dan Nazi dan lain sebagainya, maka kesimpulan Nina hanya satu: itu teman sekolahnya dulu, yang mengetahui cacat dalam tubuh kurusnya. Gadis itu jadi memandangi tangan kirinya yang bergetar pelan, tremor, atau Nina lebih suka menyebutnya Parkinson Dini, tentu saja itu disebabkan oleh sesuatu yang tidak mau ia ingat.

"Jangan bersedih, Lady Fuhrer, mereka yang menertawakanmu adalah targetmu. Maksudku, ya, kau Tuan-Tuan," Dolores menunjuk dua siswa yang mengejek Nina, "kalian yang akan mati."

Siswa yang ditunjuk Dolores jadi bungkam.

"Bisa kita mulai bahasan kita, Madam and Monsieur?" tanya Nina.

Connor langsung mengambil alih topik selama mata pelajaran itu berjalan. Sedangkan Nina berusaha memfokuskan pikirannya, dan mengingat-ingat apa yang ia lakukan setelah pulang sekolah nanti.

Pertama, meminta ijin ibu dan memotret Dolores serta Connor, tentu saja, Nina akan berbohong mengenai proyek tugas kelompok. Lalu, kedua, menyambangi seorang pria yang pertama kali hilang di Dawson Pass, yang mengantar Nyonya Eva menuju kematiannya--Rumah Tuan dan Nyonya Eberhart.

*

Kok, aku tidak menyangka kalau sependek ini :") delapan ratus tiga puluhan sekian, tapi memang porsinya yang diceritakan ya segini sih.

Oke, langsung gulir buat baca bab bonusnya!

I, Who Should've Been Dead Last Night [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang