18

381 95 5
                                    

Sebelum membaca, mari kita menundukkan kepala dan berdoa untuk para korban Tsunami Selat Sunda. Semoga diberi ketabahan dan cepat pulih.
*

Gadis itu mencoba peruntungannya sekali lagi.

Ia hanya ingin mendekap kematian, merasakan dinginnya pelukan sang maut dan bagaimana nyamannya jika nyawanya ditarik keluar dari tubuh.

Nina hanya ingin jauh dari hidup. Jadi, ia sudah berada di tepi jembatan, membelakangi birai besi yang dingin, dan rintik salju turun turut berbahagia atas keputusannya untuk mati. Gadis itu menangis terharu, inilah saatnya.

Tangan pucat itu melepas pegangan, membiarkan tubuhnya jatuh ke depan tanpa usaha melawan gravitasi, terjun terus merobek angin dingin menuju aliran sungai yang tenang dan gelap di dalamnya. Nina bisa merasakan bahwa angin membuat tubuhnya bergerak melambat, lambat sekali hingga Nina merasakan nyaman yang luar biasa-sensasi menjemput kematian!

Lima meter menuju sungai, Nina melihat sesuatu keluar dari dalam sungai, perlahan menyembul merusak airnya yang tenang.

Kemudian, perasaan nyaman itu sirna.

Nina gelisah, hatinya merasa tak nyaman, pelukan kematian serasa melemparnya ke kehidupan sekali lagi.

Apa ... apa yang terjadi?

Entah siapa sosok itu, ia perlahan muncul dari air sungai dengan bajunya yang basah melekat di tubuhnya. Tangan pucat dengan nadi kebiruan tersingkap dari air yang gelap, napas Nina memburu, terengah-engah sangat kencang.

Tidak ... tolong, jangan lagi.

Tubuh itu terus keluar dari kedalaman air, diangkat oleh sesuatu yang Nina tak tahu pasti. Air mulai menyingkap lehernya yang sepucat salju, nadinya membiru seperti sungai yang membelah. Perlahan, batang hidungnya muncul, perlahan, air sungai yang dingin menyingkap wajah yang sama putihnya. Nadi biru leher itu membingkai wajahnya yang terpejam tenang.

Namun, Nina tak tenang, tak mungkin kematian terasa segelisah ini, bukan? Tak mungkin, Nyonya Eva perlahan terangkat dari kedalaman sungai, 'kan? Apakah Nyonya Eva adalah kematian?

Satu meter di atas mayat Nyonya Eva yang seputih salju dan terlihat retak-retak karena nadinya, sepasang mata mayat itu terbuka bersamaan dengan mulutnya. Rongga hitam itu merenggut kematian dari Nina, sementata mulutnya memgeluarkan cairan hitam yang membuat Nina meronta-berteriak.

Hingga ia bangun-kehidupan yang hangat kembali memeluknya. Tubuh gadis itu basah kuyup, napas Nina memburu, pintu menjeblak.

"Ada apa?" tanya Ibunya. Nina hanya menggeleng, kemudian terisak di depan Ibunya sendiri.

Wanita itu masuk ke dalam kamar Nina, menempelkan kepala gadis itu untuk bersandar di pundaknya sembari ia memukul pelan puncak kepala anak gadis satu-satunya.

"Maafkan Ibu." Ujarnya, "Apa kau selalu mimpi buruk seperti ini?" Nina bungkam.

Pagi itu mereka habiskan dengan saling menenangkan diri di atas ranjang Nina

*

Bagaimana pun juga, Nina dan Ibunya telah berjanji-dan membayar jaminannya-pada Markus. Sehingga setelah sarapan canggung mereka selesai, tentu saja Nina dan Ibunya kembali ke kantor polisi.

"Markus baru saja ke kota tetangga, aku yang akan menggantikannya," ujar seorang pria yang tubuhnya jauh lebih kurus dengan kumis di bawah hidungnya.

"Baiklah." Wanita paruh baya itu memandang Nina.

Sementara Nina mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya, sekaligus menahan tawa karena dua detik yang lalu ia sadar bahwa opsir yang menggantikan Markus kali ini mirip dengan Charlie Chaplin.

I, Who Should've Been Dead Last Night [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang