Tugas Pertama

394 37 2
                                    

Masa pendidikan telah usai, kini Firlan mulai menjalankan kewajibannya sebagai seorang polisi. Hari ini, ia ditugaskan berjaga di salah satu lampu merah Kota Depok. Saat sedang berdiri di trotoar sambil mengawasi lalu lintas pagi, tiba-tiba saja seseorang menghampirinya. Rona sendu mendominasi wajah wanita muda yang telah berdiri tepat di hadapannya.

Firlan menatap heran, kemudian bertanya, “Ada yang bisa saya bantu, Mba?”

“Pak Polisi, boleh pinjam bahunya?” pinta wanita itu dengan raut wajah memelas.

Dengan percaya diri, Firlan membentangkan tangan, siap menyambut pelukan. “Sebagai pengayom masyarakat, saya bersedia menyerahkan bahu saya.”

Baaag!

Buuug!

“Aww ... aww ... apa-apaan, nih!” Firlan terkejut.

Baaag!

Buuug!

“Aduh! Sakiiit ... berhenti dong!” keluh Firlan kesakitan.

“Loh, katanya tadi mau meminjamkan bahu? Gimana, sih!” protes wanita itu.

“Saya pikir pinjam buat pelukan,” ucap pria berseragam cokelat itu sambil berusaha menghindar.

“Bukan! Buat jadi samsak. Soalnya saya lagi kesel sama suami saya, tapi ga bisa mukul langsung. Orangnya lagi kerja!” Melontarkan kata-kata dengan nada tinggi.

Berusaha menghindari wanita yang masih hendak melancarkan serangan, Firlan berlari menjauhinya.

“Pak, tungguuu … katanya pengayom masyarakat?!” Wanita muda itu terus mengejar.

“Jangan kelewatan, dong! Sakit tau!” keluh Firlan sambil terus berlari.

“Ah, payah! Buat apa latihan kekuatan fisik kalo jadi samsak aja ga mau!” Meneriaki Firlan yang semakin menjauh.

***

Siang hari, saat sedang santai di warung tegal. Seorang pria muda duduk di sebelah Firlan. Tanpa diminta, tiba-tiba saja ia memulai perbincangan.

“Pak, saya boleh cerita ga? Saya lagi butuh tempat curhat.”

“Sebagai pengayom masyarakat, saya bersedia mendengar keluhan anda. Silakan cerita,” ucap Firlan disertai senyum ramah.

“Saya lagi kesel banget sama istri saya. Dia cerewet, galak, nyebelin. Masa saya kerja ga dikasih ongkos, Pak. Aslinya sih dia ga pelit. Cuma katanya pingin bikin saya susah karena saya udah bikin dia marah. Kalo gini kan saya jadi bener-bener kesusahan, Pak.”

“Yaaa … perempuan emang begitu, tapi dia pasti aslinya peduli. Bapak harus tetap sayang sama istri.”

“Peduli sih pasti, tapi kadang saya ga tahan. Sama seperti saat saya ga bisa nahan lapar, Pak. Saya lapar,” keluh pria itu sambil memegangi perut.

“Bapak belum makan?”

“Belum. Kan ga dikasih ongkos sama istri.”

“Ya udah, makan deh. Saya bayarin.”

“Wah! Bener nih, Pak?”

“Iya.”

“Makasih, Pak.”

Seolah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, pria itu bergegas memesan makanan ke pelayan warung tegal.

“Mba, saya mau makan pake daging rendang, ayam goreng, ikan tongkol, telor dadar, sayur buncis, sayur asemnya di mangkok, tahu, tempe gorengnya jangan lupa. Minumnya es jeruk sama kopi item ya, Mba.”

Kumpulan CerpenOù les histoires vivent. Découvrez maintenant