Bukan IRT Biasa

229 25 1
                                    

Kumpul keluarga adalah hal yang paling dibenci Risa. Seperti kebanyakan wanita yang menyandang status ibu rumah tangga, Risa seringkali dipandang sebelah mata oleh sanak saudara, terutama dari sisi keluarga suami. Tak jarang ibu mertuanya membandingkan dengan wanita lain, terlebih yang berpenghasilan dan berkarir sukses.

"Si Laras, biar perempuan juga karirnya bagus, ya. Dia kuliahnya tinggi, sih. Anaknya juga ngejar karir. Sosok wanita sukses masa kini." Salah seorang saudara membahas ponakan mereka.

"Iya, harusnya perempuan jaman sekarang memang begitu. Jadi orang tuanya bangga." Saudara lainnya menimpali.

"Iya, kalo begitu kan jadi naik harga jualnya. Bisa dapat jodoh yang sepadan. Si Tora, udah disekolahin tinggi-tinggi malah ngambil istri lulusan SD. Payah banget, kan! Sampe sekarang masih kesel saya," ucap ibu mertua Risa tanpa ragu, meskipun menantunya ada di sekitar.

Risa yang sedang menyiapkan hidangan di ruang sebelah mendengar. Terasa pedih dan sakit hatinya ketika mendengar ucapan langsung dari mertua yang memang sejak awal tidak menginginkannya menjadi menantu.

"Risa ... udah siap belum makan siangnya?" teriak ibu mertua Risa.

"Udah, Bu," jawab Risa lirih.

Tanpa menghiraukan perasaan menantu yang hanya sekadar ibu rumah tangga, ibu mertua Risa dan saudara lainnya semakin liar memperbincangkan wanita-wanita yang mereka anggap hebat.

Sesekali melirik ke arah Risa yang diperlakukan bak pembantu. Ketika Risa meninggalkan mereka di ruang makan, salah seorang saudara berbisik, "Si Tora sayang banget, ya. Padahal ganteng, tapi dapet istri model gitu. Harusnya bisa dapet yang cantik, karirnya bagus."

"Ya, itulah. Kalo inget-inget gimana dulu dia mau nikahin Risa. Masih kesel rasanya."

Bukan sekali dua kali Risa diperlakukan kurang menyenangkan oleh keluarga Tora, suaminya. Sejak dinikahi pria itu lima tahun lalu, Risa harus bersabar menerima hinaan, karena dia hanya perempuan kampung lulusan SD. Sedangkan keluarga Tora termasuk orang berada yang sebagian besar menempuh pendidikan tinggi.

***

Awal pernikahan, Risa memang tinggal bersama mertua, hingga ia tak tahan meminta pindah, Tora pun menyetujui. Setelah pindah rumah, hidup Risa menjadi lebih menyenangkan. Ia tidak setersiksa ketika masih seatap dengan mertuanya. Ia pun jadi lebih bebas melakukan hal yang disukai. Salah satunya adalah menulis.

Di sela-sela waktu senggang setelah mengurus suami dan kedua anaknya, Risa fokus menatap layar handphone. Bukan untuk berselancar di dunia maya, melainkan menuangkan isi pikiran, ide-ide, imajinasi ke dalam cerita fiksi.

Dia pun mulai mengenal teman-teman dengan hobi yang sama, yaitu membaca dan menulis. Bergabung dalam komunitas-komunitas literasi membuat semanagatnya bangkit. Terlebih ketika membaca komentar para pembaca ceritanya yang memberikan respon positif, ia semakin percaya diri.

Suatu hari, salah satu penerbit menawarkan untuk menerbitkan karyanya. Dia begitu senang, tak menyangka karyanya akan dibukukan. Dia menerima begitu saja tawaran dari penerbit. Meski penjualan kurang bagus, tak mematahkan semangatnya. Perempuan lulusan SD itu terus dan terus menulis, hingga salah satu karyanya mendapat respon yang luar biasa dari pembaca.

Penerbit mayor pun datang padanya. Menawarkan cetak buku dalam jumlah besar dengan keuntungan materi yang terbilang luar biasa untuk seorang ibu rumah tangga. Lagi-lagi ia merasa seperti mimpi. Segalanya di luar perkiraannya.

Hal ini masih dia sembunyikan dari keluarga. Ketika menciptakan karya, dia menggunakan nama pena yang tidak diketahui siapapun, termasuk suaminya. Selama ini sang suami mengira ketika istrinya memegang handphone hanyalah untuk berjualan online, karena terkadang Risa memang menawarkan barang dagangan ke teman-temannya untuk menambah uang jajan anak-anak. Suami tidak melarang. Bahkan senang istrinya memiliki kegiatan positif.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now