Langkah

185 13 0
                                    

Kepulanganku selalu disambut ocehan istri yang berdesing-desing bagaikan bunyi ambulance. Belum lagi suara gaduh dari tiga bocah kecil yang terdengar begitu pekik di telinga. Mereka berlarian, berkelahi, menangis, saling berteriak. Rumah tak jauh berbeda dari suasana di kantor. Sama-sama menyebalkan.

Secangkir kopi yang biasanya beraroma menentramkan, kali ini kurang nikmat. Bahkan seperti tercium bau obat. Meskipun membuat pusing, tetap kunikmati karena sayang bila terbuang. Sambil menyesapnya, mataku seperti terpaksa harus menyaksikan istri yang bolak-balik menyerupai setrikaan. Melihatnya tampak kucel dan terdengar begitu cerewet ketika memisahkan anak-anak berkelahi, aku mulai meratapi nasib. Seandainya dulu tidak menikah muda dan lebih memilih mengejar karir di bidang bermusik, mungkin sekarang kehidupanku tidak seperti ini. Bisa saja sudah jadi artis terkenal.

Dulu aku memang begitu terbuai oleh pesona Namia--wanita yang telah menjadi pendamping hidupku selama sembilan tahun. Dia merupakan perempuan yang cantik, cerdas, teliti, juga begitu perhatian. Aku merasa dia adalah sosok yang tepat untuk dijadikan istri. Hingga di usia muda, kuputuskan untuk menikahinya.

Awalnya kami berencana menunda memiliki anak. Aku tetap berusaha mengejar karir impian, yaitu bermusik. Namun, segala rencana terhalang. Namia kebobolan. Dia hamil anak pertama kami. Berhubung penghasilan dari bermusik tak tentu, sedangkan kebutuhan anak wajib selalu ada, Namia menyuruhku bekerja yang pasti-pasti saja, yaitu menjadi pegawai kantoran. Tiga tahun berikutnya, Namia hamil lagi. Lalu tiga tahun selanjutnya, dia kembali hamil.

Di sinilah aku sekarang. Impian sirna. Terjebak dalam ikatan rumah tangga yang membelenggu. Aku sangat merindukan kehidupan bebas.

Di tengah-tengah lamunan, Namia mengejutkanku. "Pah, ngelamun aja. Ini coba sepatunya. Akhirnya Mamah dapat NOMOR yang pas buat Papah."

Dia menyodorkan sepasang sepatu pantofel hitam.

"Sepatu model gitu lagi? Yang kerenan dikit kenapa, Mah." Aku protes dibelikan sepatu kantor mirip seperti yang dia belikan sebelumnya.

Namia berkata-kata layaknya sales. "Ini bahannya bagus, ga keras, enak dipake, awet juga. Mamah kan mikirin kenyamanan buat Papah."

Aku kesal. "Males, ah! Entar Papah beli sendiri aja."

"Cobain dulu," bujuk Namia sambil mengikuti langkahku.

"Enggak! Jangan cerewet kenapa, sih?!"

"Mamah udah keliling mol nyari nomor yang pas. Coba dulu, Pah ...."

Aku mengabaikan Namia yang terus mencoba membujuk.

"Ga mau pake! Papah keluar. Cari suasana yang ga bikin pusing kayak di rumah ini!" Membentaknya, aku keluar setelah menggebrak pintu depan.

Berkendara sekitar lima belas menit, aku berhenti ketika lampu mobil menyorot sepasang sepatu yang tergeletak di tengah jalan. Benda itu menarik perhatian, karena bentuknya persis seperti apa yang kuinginkan. Aku pun memutuskan untuk turun dan melihatnya.

Kudekati sepatu tersebut sambil menoleh ke kanan kiri. Situasi jalanan terasa sepi. Hanya ada beberapa kendaraan berlalu lalang.

"Wah ... keren ni sepatu."

Kuamati bentuknya. Sepasang sepatu boot kulit, dihiasi beberapa ornamen yang menunjukkan kejantanan. Ini jelas alas kaki pria.

Saat sedang serius mengamati, tiba-tiba saja kepalaku pusing. Mata berkunang-kunang. Bingung dengan apa yang terjadi, aku melangkah gontai menuju mobil. Namun, saat berjalan, terdengar suara memanggil.

"Ronald ...."

Aku menoleh. "Siapa?"

Samar terlihat seorang pria berjubah putih menghadap ke arahku.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now