Rumah Lukis

183 14 0
                                    

Perceraian membuatku harus sanggup mengasuh putra satu-satunya seorang diri. Kini hanya bocah berusia sembilan tahun itulah yang kumiliki.

Berdua kami menuju sebuah rumah yang dibeli mantan suami, sebagai ganti tempat tinggal yang saat ini ditempati dirinya dengan istri barunya. Sebuah hunian lumayan besar di pedesaan. Aku menerima tawaran mantan suami karena ingin hidup lebih tenang. Jauh dari keluarga maupun teman yang masih terus menanyakan soal perceraian.

Kami tiba di sebuah rumah yang memiliki halaman lumayan luas. Aku menoleh ke sekeliling, jarak dengan bangunan lain cukup berjauhan. Sepi, tenang, dan terasa asri karena Masih banyak pepohonan di sekitar. Tempat tinggal yang tepat untuk penulis sepertiku.

Yang membuatku lebih yakin akan menetap di sini adalah sikap Keano--putraku. Dia begitu bersemangat ingin tinggal di desa karena berharap dapat sering main di sungai dan rerumputan. Dia memang anak yang menyukai alam.

Kukeluarkan KUNCI dari tas. Sesaat kuperhatikan gantungan yang terbuat dari kayu bergambar ibu dan anak. Sepertinya punya pemilik rumah ini sebelumnya.

Keano begitu ceria berlarian di dalam rumah. Dia pun memilih kamarnya sendiri. Aku mengikutinya hingga tiba di ruangan berukuran 6 x 8 meter yang memiliki sebuah jendela menghadap perbukitan.

"Mama, aku pilih kamar ini," pintanya sambil mengecek perabotan di kamar ini.

Mantan suami memang bembeli rumah ini disertai seluruh perabotannya. Menurut keterangan darinya, pemilik rumah pindah ke kota lain. Aku pun tak banyak tanya, karena malas berkomunikasi dengannya.

Kutinggalkan Keano yang sedang  menjelajah barang-barang milik penghuni sebelumnya. "Mama ke bawah, ya."

Tak menjawab, dia asik sendiri. Aku pun membiarkannya.

Tiga hari sudah kami tinggal di rumah ini. Segalanya berjalan sesuai keinginan. Hingga suatu hari, kudapati Keano melakukan hal yang tidak biasanya.

"Keano?" Putraku yang selama ini lebih menyukai aktivitas fisik terlihat sedang menggambar.

Dia tidak menjawab panggilanku. Hingga harus kuulangi.

"Keano ...."

Masih tak ada jawaban. Padahal biasanya dia selalu langsung menyahut bila kusebut namanya.

Aku pun meninggikan nada suara. "Keano!"

Dia tersentak, kemudian menoleh ke kanan kiri. Bagai orang yang baru sadarkan diru, dia tampak kebingungan.

"Dipanggil-panggil kok ga nyahut, sih? Kamu gambar apa itu? Tumben kamu menggambar."

Kuambil selembar kertas yang berisi coretan tangannya. Seketika aku pun terkejut.

"Apa?!"

Keano menatap heran. "Kenapa, Ma?"

"Kamu yang gambar ini?" Tanda tanya di benak langsung saja muncul, ketika melihat gambar sama persis dengan yang ada di gantungan kunci.

Keano ikut melihat gambar di selembar kertas yang masih kupegang. "Aku ga menggambar apa-apa."

"Tapi tadi Mama liat kamu sedang menggambar."

Dia menggelengkan kepala pertanda tidak mengakui. Padahal dengan mata kepala sendiri, baru saja kulihat Keano yang begitu fokus menatap selembar kertas ini sambil menggerak-gerakkan tangannya.

Masih merasakan keanehan. Namun, tak kupaksa Keano untuk mengaku. Aku pun mencoba membuang tanda tanya begitu saja.

Keano belum mulai masuk sekolah, karena aku masih mengurus kepindahannya. Hari itu kutinggalkan dia di rumah seorang diri. Sejak hanya hidup berdua, Keano memang sudah biasa kutinggal.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now