Kesempatan

210 17 0
                                    

Tak seperti pemuda usia belasan yang biasanya tertarik pada musik, game, juga olah raga, aku justru menggemari kegiatan memasak. Aku mulai senang mengolah bahan makanan sejak Ayah mendirikan sebuah rumah makan Padang.

Hari ini aku mendapat kesempatan untuk mengikuti salah satu perlombaan memasak. Sebenarnya masih kurang percaya diri, mengingat para pesaing yang terbilang telah lumayan handal. Saat berbincang di ruang tunggu, para peserta saling bercerita mengenai pengalamannya selama menekuni hobi memasak. Sungguh membuatku melongo, mereka telah begitu terlatih. Ada yang pernah mengenyam pendidikan khusus koki, ada yang telah mengikuti berbagai jenis perlombaan, bahkan ada yang sudah memiliki restoran sendiri. Menyimak pengalaman mereka, lumayan membuat nyaliku ciut.

Beberapa saat menunggu, kami dipersilakan memasuki ruang tanding. Salah seorang juri memberikan instruksi mengenai aturan, serta jenis makanan apa yang harus kami masak.

"Tema perlombaan adalah 'Daging'  silakan ambil bahan-bahan, kemudian eksekusi menurut keinginan kalian. Sajikan sekreatif dan semenarik mungkin. Waktu pertandingan satu jam."

Seluruh peserta menyimak dengan seksama.

Lalu, juri memberi pertanda dimulainya pertandingan. "Siap?! Mulai!"

Serempak peserta menjawab sambil bergegas menuju ruang perlengkapan.

Belum menemukan ide, aku hanya mengumpulkan perlengkapan yang mungkin dibutuhkan. Menoleh ke kanan kiri, peserta lain terlihat percaya diri. Mereka mengambil bahan-bahan tanpa ragu, seolah ide sudah ada di kepala.

Aku diam sejenak sambil berpikir, 'daging ... daging ... masak apa, ya?'

Tiba-tiba terlintas kenangan tentang almarhum Ayah. Menu yang pertama kali dia ajarkan adalah rendang khas Padang. Tak lagi banyak berpikir, aku memutuskan memasak menu itu. Segera kukumpulkan bahan-bahan yang mungkin dibutuhkan, kemudian kembali ke ruang memasak.

Terlihat peserta lain telah mulai mengolah bahan-bahan mereka. Aku melirik ke samping dan menengok ke belakang, tampak beberapa sayuran serta botol-botol bumbu yang asing buatku.

Memilih menu yang sangat sederhana, aku merasa sedikit minder. Mungkin seluruh orang di ruangan ini, termasuk juri akan menganggapnya sangat biasa. Walau mengganggu, kucoba singkirkan perasaan kurang percaya diri itu. Aku merasa harus fokus pada tujuan, yaitu memanfaatkan kesempatan.

Mulai kuiris daging hingga berukuran 3 x 4 cm. Setelah mencucinya, kupersiapkan bumbu. Cabe merah, bawang merah, bawang putih, lengkuas, dan jahe segera masuk ke dalam blender. Kutumis bumbu yang telah berbaur menjadi satu, lalu memasukkan bahan-bahan lain seperti daun jeruk purut, daun kunyit, asam Jawa, dan serai yang sudah digeprek, kemudian disusul santannya.

Sambil terus mengerjakan menu yang sedang kupersiapkan, sesekali aku mengamati peserta lain. Mereka memasak menu seperti yang sering diolah koki ternama. Bau harum masakan mereka pun terasa asing. Aku belum pernah menciumnya. Selama ini aku memang hanya berkutat dengan berbagai jenis masakan yang biasa dijual di warung Padang. Pengalamanku terhadap berbagai jenis kuliner masih sangat minim.

"Waktu tersisa sepuluh menit lagi!"

Seketika rasa kurang percaya diri tergerus oleh ketegangan karena sisa waktu bertanding tinggal sedikit lagi, sedangkan masakanku belum siap. Aku pun mulai gemetaran. Rasa yang sama mungkin juga ada di pikiran peserta lain, karena mereka terlihat mulai mempercepat gerakannya.

Meski tegang, aku mencoba fokus ketika teringat pesan Ayah yang selalu berkata, 'Memasaklah dari hati, maka rasa akan sampai ke jiwa penikmatnya.'

Kembali aku fokus. Berusaha menuntaskan tantangan memasak ini sebaik-baiknya.

Telah siap, aku bergegas menghias daging rendang dengan sedikit ornamen di piringnya. Masih berkutat dengan ide akan mempercantik penampilan masakanku, juri menghitung mundur.

"10, 9, 8, 7 6 ...."

Tanganku gemetar ketika meletakkan daun seledri di pinggir piring.

"5, 4 ...."

Hingga letaknya tak bisa tepat seperti apa yang kuinginkan.

"3, 2, 1 ... selesai! Tangan di atas!"

Meski tak cukup puas dengan penampilan menu yang kuhidangkan. Namun, aku mencoba berbangga diri karena telah berhasil menyelesaikan perlombaan memasak untuk yang pertama kali ini.

Satu per satu juri memanggil peserta. Ada yang dianggap kurang memuaskan. Namun, ada beberapa yang menuai pujian. Berdebar hati ini ketika tiba giliran mereka mencicipi rendang Padang sederhana buatanku.

"Apa yang kamu masak?" tanya salah seorang juri.

"Rendang Padang," jawabku singkat.

"Cuma itu?" Kembali dia bertanya, sambil menekan-nekan daging dalam piring.

"Iya." Aku sangat grogi. Hingga tak mampu berkata banyak.

"Kamu tegang banget." Juri itu mengomentari gelagatku.

"I-ini perlombaan pertama saya."

"Hmm ... lumayan juga untuk pemula."

Meski bukan memuji seperti kepada peserta lain yang diunggulkan. Namun, ketika juri menyebut kata 'lumayan' itu membuat perasaanku sedikit tenang. Tidak luar biasa, tapi tidak juga mengecewakan, pikirku.

Tak banyak komentar juri pada masakan buatanku. Mereka hanya sepakat mengatakan lumayan. Aku pun pasrah. Tidak mengharap kemenangan.

Tiba saatnya pengumuman pemenang. Tiga orang juri berdiri di hadapan beberapa peserta yang berjajaran.

Salah seorang juri maju, kemudian bersiap-siap menyebut nama pemenang perlombaan memasak ini. "Pemenangnya adalah ...."

Meski tak terlalu mengharap kemenangan, tetap saja detak jantung berdegup tak beraturan. Aku tegang. Mungkin itu juga yang dirasakan peserta lain.

"Pemenangnya adalah Joseph, dengan Meatball Cheese-nya yang begitu menyatu di lidah!"

Sudah kuduga, bukan diriku pemenangnya. Memang peserta bernama Joseph menuai banyak pujian ketika masakannya dicicipi tadi. Saat berbincang di ruang tunggu, dia juga dianggap sebagai salah seorang pesaing yang hebat oleh peserta lain, karena jam terbangnya dalam dunia kuliner yang cukup tinggi.

Walau kecewa karena membawa pulang kekalahan. Namun, aku tak menyesal mengikuti perlombaan ini. Aku mulai sering aktif mengikuti berbagai perlombaan. Namun, belum pernah sekali pun memperoleh kemenangan.

Hingga suatu hari, aku kembali bertemu dengan Joseph yang namanya semakin terkenal. Wajahnya sering terpampang di berbagai media. Dia kini adalah seorang koki yang telah diakui kemampuan memasaknya.

Ketika ada kesempatan berdiri berhadapan, aku memujinya. "Kamu hebat. Padahal satu tahun lalu kita saingan. Sekarang kamu menjadi juri tamu di perlombaan yang saya ikuti. Sedangkan saya, satu tahun sejak pertandingan melawan kamu, belum juga pernah menang."

"Kamu juga hebat. Masih tetap semangat ikut pertandingan." Dia justru memujiku.

"Tapi ga pernah menang," keluhku.

"Hmm ... kamu sudah menang, kok."

"Menang apa? Kalah mulu gini." Kembali aku mengeluh.

"Menang melawan ketakutan. Kamu selalu berani mengambil peluang. Terus dan terus bertanding, itu ciri orang sukses. Orang sukses berawal dari proses, bukan dari kemenangan yang sifatnya hanya sesaat."

Ucapannya begitu menimbulkan rasa percaya diri di hatiku. Sejak saat itu, aku tak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Meskipun terkadang peluang yang ada tak dapat kuraih hasilnya. Namun, aku selalu menganggap prosesnya sebagai jalan untuk terus mengembangkan kemampuan diri. 

Tamat.

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now