APP - 20

49.3K 4.5K 2.4K
                                    

Pagi hari milik Kim Taeri dipenuhi rasa marah, benci, sakit pada hati dan sekujur tubuh. Alasan utama tentu sang suami, Park Jimin, bajingan yang menyetubuhinya dengan gila. Taeri jadi teringat tempo dulu di mana Jimin menjadi begitu berengsek dengan perkataan dan sikapnya. Sebisa mungkin dirinya tidak mau menyebut dengan pelecehan, tetapi masih saja kerap membekas. Namun sekarang ada yang berbeda, perasaannya pada Jimin membuat beberapa hal menjadi berbeda. Hanya saja teringat kejadian itu, membuatnya kembali marah. Sebenarnya mereka sama-sama terluka kala itu.

Semalam adalah kedua kalinya dia bercinta dengan Jimin setelah malam pertama sesudah melakukan pernikahan. Taeri masih ingat bagaimana Jimin begitu berhati-hati tetapi tetap begitu menggairahkan. Semalam, berbeda dari sebelumnya, mengebu-ngebu, panas, penuh nafsu birahi dan kemarahan. Jimin jelas ingin mengontrol dan menyakiti, tetapi pada akhirnya ada batasan-batasan di mana dia menahan dirinya sekalipun tetap saja Taeri harus merasakan nyeri terlebih ketika dia tidak menginginkannya.

Maka pagi ini, Taeri akan memberikan pelajaran dan cacian kebencian pada Park Jimin. Harusnya seperti itu. Tetapi wanita cantik itu sama sekali tidak menemukan sosok sang suami di sampingnya. Netranya menangkap Park Jimin terduduk di bangku sudut kamar dengan satu... dua... tiga... empat... lima botol minuman keras yang sudah kosong. Kepala Jimin jatuh ke meja—tertidur—atau terlalu mabuk untuk sadarkan diri. Jimin pernah sekacau ini dulu kala ketika kematian ibunya, Taeri ingat betul, dan sekarang terulang lagi di mana dia menjadi penyebabnya.

Taeri benci keadaan seperti ini. Wanita itu menghela napas sambil bangkit dari kasur. Memakai kemeja Jimin yang tercampakan begitu saja di meja nakas samping kasur. Setidaknya ada yan menutupi tubuhnya agar tidak membuat Jimin kembali terangsang saat membuka mata. Sungguh, Taeri tidak mau diserang kembali. Rasanya masih nyeri.

"Jimin... Park Jimin..." panggil Taeri namun tak ada jawaban. Mata Jimin masih terpejam. Taeri mendengus. Berpikir apakah ini dapat menjadi kesempatan bagus di mana dia dapat memberikan pukulan di wajah Jimin. Tetapi dia mengurungkan niat itu karena di dalam hatinya, dia merasa begitu mengenal Park Jimin.

"Jimin-ssi, kita perlu bicara!" ujar Taeri lagi namun kali ini sambil menggoyangkan tubuh Jimin. dia harus berusaha lebih keras mengingat ada sesuatu yang dia inginkan.

Kembali tak ada respon.

"Yak, Park Jimin! Kalau kau tak bangun juga, aku akan pergi!" ancam Taeri dengan suara lebih keras. Tak ada respon seperti sebelumnya. Percuma. Jimin bukan hanya tertidur, tetapi ditambah mabuk. Bisa ditebak bagaimana lelapnya pria busan itu.

Taeri memilih menyerah. Dia akan pergi mandi kemudian ke kantor untuk mengurusi ini dan itu. Namun tepat ketika dia berbalik, tangannya dipegang erat. "Kim Taeri... Kim Taeri..." ujar Jimin mengigau menyebut-nyebut namanya. Kening Taeri berkerut bingung. Mata Jimin masih terpejam. Mencoba memanggil berkali-kali sekali lagi tetapi masih tak ada respon. Rasanya ia ingin berteriak mencak-mencak.

Taeri memilih berjongkok, mengumpulkan kembali semua niat untuk membangunkan Jimin. Menatap wajah Jimin yang terpejam dari bawah. Mendongak sambil menusuk-nusuk pipi Jimin agar bangun. "Jimin... bangun sekarang! Kalau tidak aku akan pergi ke tempat Tae—"

Jimin mencium bibirnya.

Mata Jimin masih terpejam.

Tetapi jelas Jimin sudah terbangun—atau setidaknya setengah tersadar—karena pria itu memegang lembut wajahnya.

Masih dalam keterkejutan, Jimin membuka mata dan tersenyum menatap Taeri dengan tatapan sayu sehabis bangun tidur. Tersenyum begitu lembut seolah semalam tak pernah terjadi. Seolah tidak ada lima botol alkohol di meja. "Selamat pagi, istriku..."

A Perfect Plan ✓Where stories live. Discover now