04 - IV

2.7K 318 3
                                    

Jam istirahat telah usai, Lizz dan Ryan pun kembali ke kelas. Lizz sampai di kelas terlebih dahulu. Kemudian beberapa saat kemudian barulah Ryan menyusul masuk ke kelas.

Teman-teman sekelasnya Lizz masih menatap Lizz dan Ryan yang kini duduk bersebelahan dengan pandangan menyelidik. Pasalnya saat istirahat keduanya sama-sama menghilang. Mereka berdua tidak ditemukan baik di kantin maupun di kelas. Sontak saja banyak yang mengira Lizz bersama Ryan. Mereka tidak salah berhubung itu benar-benar terjadi sih.

Ryan yang sudah mengetahui alasan di balik pandangan teman-temannya berubah santai. Ia tidak lagi merasa tegang seperti tadi pagi. Baginya yang terpenting adalah teman-temannya tidak mengetahui identitasnya. Karena jika ketahuan, itu berarti dia harus mengucapkan selamat tinggal pada kehidupannya yang normal dan tenang ini.

Kehidupannya saat ini terasa menyenangkan. Ryan merasa aman dari segala ancaman yang biasa selalu berada di ujung hidungnya. Entah itu musuh yang menyelinap ke markas atau musuh yang akan menembak kepalanya saat misi berlangsung, dll. Setelah menghabiskan seluruh hidupnya untuk mempertahankan hidupnya mati-matian, akhirnya ada juga momen dimana dia sekolah seperti remaja seumurannya.

Ryan yang dari lahir dan tinggal di kawasan perang nyaris tidak pernah merasa aman. Dari kecil, dia dan keluarganya akan pindah ke satu tempat ke tempat lainnya. Setiap malam, orangtuanya tidur secara bergantian untuk mengawasi tempat mereka berada. Jika ada suara ledakan atau tembakan, ayah atau ibunya akan membangunkannya dan mereka akan pindah ke tempat yang aman.

Di umur Ryan yang ke sepuluh, kedua orangtuanya meninggal karena melindungi Ryan dari serentetan tembakan dari tentara di daerahnya sendiri. Orangtuanya meninggal di depan mata Ryan. Namun Ryan tidak sempat tenggelam dalam trauma yang dialaminya karena setelah itu dia dibawa ke kamp militer oleh beberapa orang yang dia tidak dikenalnya. Di sana, Ryan dilatih berbagai macam keahlian. Seperti bela diri, menembak, mengendarai tank, dll.

Ia yang saat tidak mempunyai tujuan hidup hanya mengikuti perintah yang diperintahkan kepadanya. Setidaknya orang-orang itu masih memberinya makan dan tempat berlindung. Meskipun mereka tidak segan akan memukul Ryan jika dia tidak menyelesaikan latihannya dengan baik.

Ketika dia berumur lima belas, Ryan mulai diperintahkan untuk terjun ke lapangan. Dia tidak lagi berada di kamp, dia kebanyakan keluar mengerjakan misi yang diberikan. Kadang dia pergi bersama tim, kadang dia pergi sendirian.

Awalnya Ryan mengira dirinya akan dilatih untuk menjadi tentara seperti yang pernah ditemukannya di tempat tinggalnya dulu. Kemudian setelah dia mengerjakan misi, barulah Ryan sadar bahwa mereka berbeda dari tentara-tentara yang ditemuinya sewaktu kecil. Tentara yang dulu ditemuinya membela negara mereka, sedangkan Ryan membela klien yang membayar mereka.

Mereka tidak memiliki negara untuk dilayani karena mereka adalah tentara bayaran. Seakan itu belum cukup buruk, akhir-akhir ini Ryan mengetahui fakta lain mengenai tempat bekerjanya. Mereka bukan hanya organisasi tentara bayaran. Organisasinya juga menjual narkoba dan senjata seperti organisasi mafia.

Ryan mengira hanya dirinya satu-satunya tentara termuda yang terjun ke misi. Biasanya dia hampir tidak pernah bertemu dengan rekan atau musuh yang memiliki umur sepantaran dengannya. Sampai dia akhirnya bertemu Lizz beberapa hari yang lalu.

Misi yang diberikan organisasi cukup mudah ditangani. Mereka hanya perlu menculik seorang siswi Dan menginterogasinya. Saat itu Ryan hanya menonton rekan-rekannya karena tidak punya pekerjaan untuk dilakukan. Teman-temannya menemukan Terissa di antara para murid di kelas. Lalu Lizz tiba-tiba datang ke arahnya dan meminta izin ke toilet. Itu adalah pertama kali Ryan bertemu Lizz.

Dia melihat Lizz sebagai gadis remaja biasa kala itu. Dengan rambut dikuncir tinggi dan wajahnya yang terlihat seperti warga negara asing, Ryan mengira Lizz adalah murid pertukaran pelajar. Setelah Lizz pergi ke toilet, Ryan dkk membawa Terissa keluar dan menginterogasi Terissa.

Tiba-tiba tanpa tanda-tanda suara apapun, Lizz muncul dan menyerang rekannya tanpa ampun. Jumlah mereka yang saat itu berempat tidak mempermudah pertarungan. Satu per satu rekannya gugur dan jatuh pingsan. Ryan menimbang-nimbang keadaan dan memutuskan untuk pura-pura pingsan. Untung saja saat itu Lizz tidak sempat mengeceknya karena Lizz menerima telepon.

Lizz membawa rekannya satu per satu ke sebuah mobil. Saat Lizz membawa rekannya yang ketiga, Ryan bangun dan pergi. Tetapi saat itu dia bingung. Apakah ia harus kembali menculik Terissa yang sudah kembali ke kelas atau kabur seorang diri? Ryan akhirnya memutuskan kembali ke kelas Terissa untuk menculiknya. Selain itu, jika dia tertangkap saat menculik Terissa dia akan menjadikan Terissa sebagai sandera sehingga dia bisa kabur dengan selamat.

Ryan masuk ke kelas dan melihat para murid terkesiap. Mereka menatap Ryan dengan takut. Ryan menghampiri Terissa yang duduk ketakutan. Dia baru saja menyuruh Terissa berdiri dari kursinya saat tiba-tiba pintu kelas terbuka. Lizz masuk dengan langkah-langkah lebar. Namun Lizz berhenti lima meter darinya karena dia mengancam Lizz menggunakan Terissa.

Ryan menyangka Lizz menyerah, tetapi siapa yang tahu beberapa detik kemudian lengannya ditusuk dengan bolpoin yang dilempar dengan kencang hingga menembus kulitnya. Ryan reflek melepaskan genggamannya pada Terissa dan memegangi lengannya. Kemudian setelah melihat Terissa yang sudah di luar jangkauan tangannya, Ryan berlari kabur.

Lizz membiarkannya kabur. Ryan mengetahui itu karena Lizz bisa saja menghalangi pintu kelas jika ia mau. Awalnya Ryan heran dengan tindakan Lizz. Namun setelah ikut bersama Lizz bersekolah di sini, ia paham alasannya. Lizz pasti tidak ingin teman-temannya melihat saat dia berkelahi denganku.

Kemudian Lizz menginterogasi dan membeberkan fakta bahwa dia tidak bisa kembali ke Xazquez jika dia tidak berhasil menyelesaikan misinya. Saat itu, Ryan hanya pasrah sampai kemudian Lizz memberikan solusi yang membuat Ryan akhirnya berharap. Berharap bahwa hidupnya akan berubah. Dan kini ia menatap Lizz yang duduk di sebelahnya. Menatap gadis yang mengubah hidupnya dalam hitungan hari.

Ryan mengulum senyum karena mengetahui bahwa Lizz jelas-jelas pura-pura sibuk dengan buku tulisnya, padahal jelas-jelas menyadari bahwa Ryan menatapnya dari tadi.

"Sudah kubilang jangan bersikap seolah-olah kau mengenalku!" Bisik Lizz tanpa menoleh ke arah Ryan.

Kebetulan suasana kelas saat itu cukup ribut karena sang guru keluar kelas sehingga suara Lizz teredam oleh suara murid-murid yang lain.

"I know." Jawab Ryan.

"Kalau begitu, berhenti menatapku!!"

"I just want to say thank you for saving me. I don't know how to repay your kindness." Kata Ryan dengan sepenuhnya hati.

"Don't worry, I will make you repay me." Kata Lizz dengan senyum misteriusnya.

To be continue

Well part ini sebenernya lebih kayak rewind kejadian lalu tapi berdasarkan Point Of View-nya Ryan. Author pengen kalian juga tahu kejadian dari dua sisi yang berbeda. Soalnya hal yang dirasakan tokohnya juga jauh berbeda kalau dilihat dari POV yg berbeda.

Kalau sebelumnya pasti kalian banyak yang merasa Ryan adalah orang jahat. Tapi setelah kalian ngeliat kejadian dari sisi dia, kalian jadi tau bahwa dia sebenarnya juga korban.

Jangan lupa vote & comment nya yaaa....

HEROIC GIRLWhere stories live. Discover now