Suami Stalking - 15 - Benarkah Masih Cinta?

4.7K 552 72
                                    

Betapa terkejutnya aku saat mengetahui fakta kalau Mas Radi suka mengirim foto candid-ku pada Ummi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Betapa terkejutnya aku saat mengetahui fakta kalau Mas Radi suka mengirim foto candid-ku pada Ummi. Apa dia tak tahu kalau perempuan paling malu difoto sembarangan? Bagaimana kalau terlihat jelek? Atau misal jerawatku tidak dihapus dulu? Belum kerut-kerut akibat usia. Aku tidak begitu suka difoto.

“Hapus, Ummi. Asiyah isiiin (malu)!” mohonku memelas.

“Wah ndak iso… Ummi suka, kok foto-fotonya. Kelihatan banget kalau Radi tuh bener-bener tresno alias cinta sama kamu. Dikit-dikit difoto.” Ummi kembali terbahak.

Aku berusaha tersenyum meski hatiku masih meragukan pernyataan itu. Setidaknya, ada perasaan terenyuh. Motor butut itu ternyata masih dirawat dengan baik olehnya. Mungkin hubungan kami masih punya harapan.

Ya … mungkin begitu, kan?

“Wes, balik ke topik semula.” Ummi duduk di kursi makan. Diliriknya Sri yang sedang anteng bermain lego besar bersama Mirza. Tepatnya anak perempuan itu sedang menyusun balok untuk dirubuhkan Mirza. 

Namun, meski pekerjaan Sri terlihat sia-sia, tampaknya mereka kompak dan tenang. Keduanya tertawa ketika mendengar suara balok yang jatuh menghantam tanah. Seolah kehancuran adalah suatu hal yang lumrah. Tinggal bagaimana cara mereka untuk memperbaiki dan menyusunnya kembali agar siap untuk menerima ujian berikutnya. 

Ketiga anakku yang lain tampaknya sedang bermain basket di teras depan. Suara bola memantul terdengar jelas dari dalam. Begitu seru dan riuh. Seandainya ada Mas Radi yang juga ikut tertawa, semuanya pasti jadi sempurna.

Ah, apa aku kurang bersyukur?

"Jadi, gimana soal anter-anter pesanan tadi?"

Suara Ummi mengembalikanku ke pikiran semula.

“Kalau pesanan delivery, mungkin malam hari aja, kali, ya, Asiyah buka PO, nya?” Aku mencatat kemungkinan itu di buku tulis. “Jadi, pagi-pagi Asiyah anter sebelum buka lapak. Nggak akan ngganggu kita buka dagangan.” 

Ada anggukan kecil dari Ummi sebagai tanda kalau ideku cukup bagus juga. 

“Lalu, pas Asiyah balik, kita bisa buka lapak. Ummi ndak akan terlalu kerepotan kalau buka sendiri.”

“Ada Masmu. Bisa Ummi suruh bantu sebentar," usulnya dengan nada medhok yang khas.

“Jangaaaaan!” seruku panik. “Nanti malah mas Radi mikir aku ndak bisa jalanin bisnis ini sampai minta pertolongannya.” Aku memohon pada Ummi untuk mengurungkan niatnya.

Ummi sempat terlihat heran. Namun, akhirnya mertuaku yang baik hati itu pun hanya mengangguk setuju setelah mendengar penjelasanku.

“Coba jangan cuma nasi uduk, Nduk. Tempe orek, bihunmu laris manis. Terus inget ora bakwan dan pisang gorengmu juga uakeh sing tuku (banyaaak yang beli) Katanya pualing enak.” Mata Ummi berbinar seolah membayangkan setiap kalimat yang diucapkan pembeli saat mereka kembali membeli masakanku.

END Rahim untuk SuamikuWhere stories live. Discover now