⚠️⚠️⚠️⚠️⚠️
Dapat 70 vote dalam 24 jam, besoknya langsung up.
Kalau enggak, tunggu Rabu.
(Total 450)Mungkin masalahku sama sekali jauh dari kata selesai. Namun, perkataan Fatimah tentang bagaimana Radi setia sedikit banyak membuatku tenang. Aku akan menyusun rencana tentang bagaimana kami sebaiknya bicara.
Tiba-tiba tangisan Mirza terdengar nyaring. Putra bungsuku sudah bangun. Padahal semalaman dia juga tidak tidur dengan nyenyak. Aku bergegas mengangkatnya dan mendekap erat sembari berusaha menenangkannya.
Akan tetapi, tangisannya tak kunjung reda. Aku cek popok sekali pakainya. Tidak ada kotoran. Namun, aku pun meminta izin untuk menggantinya.
"Mbak udah begadang berapa lama?" Fatimah seolah menyadari kegundahanku yang tak kunjung mampu membuat Mirza tenang.
Aku hanya mengangkat bahu.
"Kantong mata Mbak Asiyah udah cukup hitam. Kalau bisa, istirahat, Mbak. Pas Mirza tidur, Mbak tidur juga. Khawatir asma Mbak kumat nanti."
Aku bisa mendengar nada penuh kekhawatiran di sana. Namun, bagaimana aku bisa tidur? Selain Mirza yang membuat jam tidurku berantakan, masalah dengan Mas Radi juga tak kunjung selesai. Rasanya kepalaku mau pecah.
Baru aku kembali dari membuang pospak ke tong sampah, terdengar suara Sri yang menjerit-jerit. Aku kembali beristighfar.
Anak keempatku ini sudah berusia tiga tahun, tapi masih saja suka tantrum. Mungkin karena kelahiran adiknya yang cukup dekat hingga dia merasa tersaingi? Aku juga tak mengerti. Seingatku, kakak-kakaknya tidak begitu. Apakah karena sepanjang kehamilan Mirza, aku hanya terkapar di tempat tidur sehingga dia merasa kurang diperhatikan?
Aku hampiri Sri dengan Mirza yang juga masih menangis keras di gendonganku. Fatimah ingin mengambil alih Mirza, tapi kularang. Dia sudah banyak kurepotkan, jadi aku tidak ingin membebaninya lebih banyak lagi.
"Ada apa, Sri?" Aku berjongkok di hadapannya. Namun, Sri masih menggerung. Kakinya menendang-nendang ke depan hingga aku terpaksa kembali mundur menjaga jarak. Aku diam menatapnya tanpa ekspresi sedikit pun. Saat itu aku merasa Mirza ditarik paksa ke atas.
Fatimah memberi kode kalau dia bisa menenangkan Mirza sedangkan Sri butuh perhatianku secara khusus. Dia malah sudah mengenakan jilbab lebarnya yang biasa. Aku akhirnya hanya mengangguk tipis dan kembali terfokus pada Sri. Fatimah pun tampaknya bergerak ke luar rumah. Mungkin untuk membawa Mirza jalan-jalan sebentar.
Selama dia masih menjerit, menendang dan melepas paksa jilbab mungil yang dikenakannya, aku tetap diam. Percuma mengajaknya bicara. Anak ketujuh Fatimah pun terlihat kebingungan teman bermainnya tiba-tiba tantrum dengan hebat.
Akhirnya setelah sepuluh menit yang terasa seperti berjam-jam. Sri mulai sesenggukan. Napasnya mulai terlihat lebih tenang meski masih mengeluarkan air mata sesekali.
YOU ARE READING
END Rahim untuk Suamiku
General Fiction[18+ NOVEL DARK RELIGI] Darah yang membasah tak jua membuatmu peduli. Nyawaku mungkin sudah tak lagi berarti. Kau inginkan keturunan yang akan menyelamatkanmu di dunia dan akhirat. Namun, rahimku tak lagi mampu memenuhi keinginanmu. Ia pergi dituka...