Bab 3 - Justru Karena Masih Cinta, Makanya Rasanya Bisa Sesakit Ini, Bukan?

14.3K 873 212
                                    

"Ummi?" Aku membuka pembicaraan siang itu ketika kami berdua memasak bersama di dapur. Rumah terasa sepi ketika anak-anak bermain di halaman depan menanti makan siang. Jika Ummi ada, maka urusan dapur, akan selalu dipegangnya. Meski sudah sepuh, Ummi sangat gesit bergerak menyiapkan segalanya seolah masih muda. 

Aku cukup pandai memasak, tapi kemampuan Ummi jauh di atasku. Bahan apa pun akan menjadi lezat di tangan beliau meski itu hanya sepotong tahu. 

Dapurku sangat besar meski tampilannya disusun minimalis. Semua alat masak kekinian juga tersimpan dengan rapi dan siap digunakan kapan saja. Mas Radi dulu sering menemaniku memasak. Dia cukup ahli meski untuk masakan sederhana seperti nasi goreng dan sejenisnya. Kadang, tiba-tiba dia mendekapku dari belakang, lalu membisikkan ucapan terima kasih sudah membuatkan makanan enak untuk keluarga. 

Kini, semua seolah lenyap. Dapur ini terasa dingin tanpa kehadiran pria yang selama ini mengisi hari-hariku. Mas Radi tidak menanyakan akan masak apa aku hari ini. Dia hanya menyediakan air putih di sisi ranjang, lalu pergi ke kantor tanpa pamit. Semua hanya karena rahim tak lagi berada di tubuh rapuhku.

Ummi menghentikan gerakannya dan menatapku lekat. Salah satu yang aku kagumi dari beliau adalah sikapnya yang selalu memperhatikan setiap perkataan orang lain dengan serius.

Namun, hatiku ragu untuk berucap. Ummi mungkin sadar hal itu karena beliau mendekat dan mengajakku duduk di meja makan.

"Ada masalah? Ummi bisa bantu apa?" ujarnya dalam bahasa Jawa sembari membelai rambut sebahuku dengan lembut.

Hatiku tak tahan lagi. Aku langsung memeluknya dan menumpahkan segala sesak. Tentang sikap dingin Mas Radi, tentang kekhawatiranku, juga tentang ketakutanku akan masa depan rumah tangga kami. 

Ummi pun tak berkata lebih lanjut dan hanya memeluk sembari membelai punggungku berulang.

Entah berapa lama aku membuat bahunya basah, akhirnya aku bisa mengendalikan diri dan kembali duduk tegak di hadapan Ummi.

"Jadi, soal Mas Radi," bisikku kembali mengulang.

Ummi masih menantiku bicara. Tatapannya masih sama. Penuh kesabaran. Inikah alasan beliau berhasil merawat sepuluh anak sendirian dengan penuh welas asih dan cinta?

"Apa Mas Radi beneran marah rahimku diangkat? A-aku ndak bisa melahirkan sepuluh anak seperti Ummi."

Tiba-tiba tubuhku ditarik kembali ke pelukannya. "Oalah, Nduuuk. Yang begitu kok dipikirin."

Bisa kurasakan pelukannya mengerat sebelum kembali dilepaskan. Beliau menggenggam kedua jemariku. Tangan yang keriput itu justru terasa sangat lembut dan hangat. Dukungan yang amat sangat kubutuhkan untuk menyangga tubuhku agar tetap tegak berdiri.

"Radi paling cuma syok ae, kok. Kamu ndak usah stres," lanjutnya. "Nanti ASI-mu dikit. Kasihan anakmu." Ummi masih berbicara dengan bahasa Jawa meski aku menanggapinya dengan bahasa Indonesia. Bertahun menikahi Mas Radi, lama-lama aku pun bisa mengrt, selain karena kedua orang tuaku pun asli Surabaya. Sayangnya, mereka merantau ke Jabodetabek sejak menikah, hingga aku pun hanya sedikit mengerti bahasa Jawa. 

Aku bergeming sejenak. Berusaha mengumpulkan keberanian untuk berkata, "Ummi bisa bantu ngomong soal itu sama Mas Radi?"

Tiba-tiba Ummi memindahkan tangannya ke pipiku dan membelainya perlahan. "Maaf. Tapi, ndak bisa. Radi iku ngeyelan. Lagipula, kalian wes nikah. Ummi ora bakal ikut campur soal rumah tangga kalian."

Pancaran sinar mata wanita itu meredup. "Ummi yakin, kowe bisa bikin Radi berubah. Dia cinta banget sama kamu, Nduk!"

Aku mengembuskan napas. Jika memang Mas Radi mencintaiku, mengapa dia tak peduli meski nyawaku sudah di ujung tanduk?

END Rahim untuk SuamikuWhere stories live. Discover now