Bab 4 - Apa salah seorang istri menginginkan perhatian suaminya?

9.8K 750 111
                                    

Aku masih berharap Mas Radi mengangkat kepala dan mengatakan padaku kalau dia berubah pikiran

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku masih berharap Mas Radi mengangkat kepala dan mengatakan padaku kalau dia berubah pikiran. Namun, saat Eka sudah datang, Mas Radi malah kembali berjibaku dengan laptopnya.

Aku bisa melihat alisnya mengerut dalam dan berkali-kali decakan keluar dari bibirnya. Apa sebegitu mengganggukah ajakanku tadi hingga dia begitu marahnya? Apa salah seorang istri menginginkan perhatian suami apalagi ketika dirinya sedang berada di titik terendah?

"Nduk? Ayo!"

Suara Ummi yang meski lembut tetap mampu membuatku tersentak dan langsung memalingkan muka dari Mas Radi untuk tersenyum pada Ummi. Lengkungan tipis yang menyembunyikan banyak kepedihan.

"Iya, Ummi."

Mobil yang dikemudikan Eka meluncur perlahan di jalanan sempit. Kendaraan dengan AC yang nyaris tidak bisa mendinginkan satu ruangan ini berjalan berguncang-guncang di jalanan berbatu. Seingatku, dibeli bekas secara tunai beberapa tahun yang lalu. Mungkin usianya tahun ini hampir lima belas.

Namun, Eka tidak pernah malu menawarkan menjemput Fatimah dan Ummi dari mana pun, kapan pun ia bisa. Meski kadang benda ini harus terseok atau bahkan mogok, Eka hanya tertawa ceria dan mendorongnya menuju bengkel terdekat. Kalau benar pembatasan usia mobil akan berlaku beberapa tahun lagi, pasti benda ini akan langsung masuk museum.

Aku mengerti penghasilan Eka memang jauh di bawah Mas Radi. Bahkan tidak sampai seperdelapannya. Apalagi dengan tujuh anak dan akan segera delapan, tentu bukan perkara mudah melakukan pengaturan pos-pos pengeluaran. Lamunanku terhenti ketika kami tiba di rumah Fatimah.

"Wa'alaikumsalam! Masuuuuk!" Fatimah dengan nada yang selalu ceria menyambut kami. Gamis hitam panjang berkibar seiring langkahnya yang riang untuk memeluk anak-anakku. Mata lebarnya tampak antusias di sela cadar yang dikenakan. Akan tetapi, begitu masuk, helai kain yang menutupi wajah manisnya itu dilepas, walau tetap berjilbab.

"Eh, Bulek udah bikinin bakwan goreeeeng! Sapa sing geleeeem?" Fatimah mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dengan pembawaan seperti itu, kurasa dia cocok sekali jika menjadi guru TK atau SD untuk membantu ekonomi keluarga. Apalagi dia lulusan S1. Sayangnya dia lebih memilih fokus menjadi ibu rumah tangga.

Ah, aku pun begitu. Magister, tapi memilih mengabdikan diri sepenuhnya menjadi ibu.

"Wah, jadi ngerepotin, Mbak," ujarnya saat aku membantu menghidangkan camilan yang sudah kubuat tadi. Tidak ada piring-piring keramik yang besar dan cantik. Mereka hanya punya piring melamin dalam satu ukuran. Ada beberapa piring kaca hadiah detergen untuk alas gorengan.

Aku pernah ingin membelikan satu set alat makan keramik yang cantik. Namun, langsung ditolak mentah-mentah. Sayang, nanti pecah katanya.

Tak kurasakan kalimat basa-basi di sana. Fatimah selalu tulus jika mengucapkan apa pun. "Enggak repot. Biar tambah meriah makanannya," balasku.

Kulihat Fatimah mengelus perutnya yang sudah cukup membesar. "Aku kalau makan masakan Mbak Asiyah terus, bisa tambah jadi kayak gajah!" guraunya.

"Jadi gajah juga tetep ayu, kok!" Eka menimpali sambil mengangkat lengannya ke atas, sementara dua anaknya yang berusia dua dan empat tahun bergelayutan di sana sambil tertawa-tawa.

END Rahim untuk SuamikuWhere stories live. Discover now