Prolog : Step Father

4.5K 158 3
                                    

Aku menutup kuping, mendekam di dalam lemari kamar. Membungkam mulutku dengan tanganku. Berusaha untuk menahan nafas, agar ayahku tak tahu dimana aku. Nafasku tak beraturan. Ku dengar ayah dan ibuku saling berteriak satu sama lain. Udara pengap di dalam lemari sudah biasa bagiku. Situasi seperti ini, adalah keseharianku.

"Ini semua salah mu! Mereka tidak akan mencarimu jika kau tidak berhutang!". Kudengar pekikan ibuku yang menggema sampai ke kamarku. Suaranya terdengar serak-serak basah. Seakan habis menangis.

"KAU TERUS MENERUS MENYALAHKAN KU!"

Tiba-tiba aku mendengar dentuman keras. Sesuatu yang membentur lantai kayu di dapur dengan kencang. Ayahku baru saja memukul ibuku.

Ku dengar ibuku mengerang kesakitan. "Kau tega Josh! SIAPA KAU?!"ujar ibuku dari kejauhan. Aku menutup telingaku. Berusaha tidak mendengarkan perdebatan mereka. Aku bersenandung pelan agar celotehan mereka tak ku dengar. Aku menyenandungkan lagu lullaby yang biasa ibuku nyanyikan untukku.

Lavenders blue dilly dilly
Lavenders green
When i am king dilly dilly
You shall be queen

Who told you so dilly dilly
Who told you so?
Twas my own heart dilly dilly
That told me so

Aku terus bersenandung. Mengulang liriknya terus menerus kuulang. Aku mulai menitikkan air mata. Aku diam dalam kegelapan. Aku berhenti bersenandung.

"Aku tak apa.. Aku tidak takut.. Aku baik-baik saja.. Aku tak apa.."kataku sambil menghembuskan nafasku perlahan. Nafasku berderu. Aku membungkam mulutku. Orang tuaku sudah selesai berdebat. Artinya sekarang aku dalam bahaya. Ayahku akan menghampiriku dan memaksaku untuk menuruti perintahnya. Perintah yang tak pernah ingin aku dengar.

"KEYLINE! DIMANA KAU!"

Ku dengar pintu kamarku di banting keras menghantam dinding di sebelahnya. Hangar-hangar baju yang ku gantung di pintu, sekarang terdengar berjatuhan. Ayah memukul meja belajarku dengan keras.

BRAAK

"KELUAR KAU KEY! ATAU AKU AKAN MENYAKITI IBU MU YANG MENYEDIHKAN ITU!"

Aku tak ada pilihan. Jika aku keluar, tubuhku yang kurus ini akan di penuhi dengan lebam. Jika tidak, Ibu ku akan celaka. Namun aku tak ingin ibuku di sakiti lagi. Cukup sudah.

Kreeekk

Ku buka pintu lemari perlahan, melangkahkan kaki kananku keluar, perlahan. Aku bergetar. Dan akhirnya seluruh tubuhku sudah ada di zona tidak aman.

Ayahku memiringkan kepalanya dan tersenyum licik. Ternyata ia memegang sebuah tongkat baseball miliknya. Entah mengapa selalu ia simpan, padahal ia sudah berhenti bermain baseball semenjak tahun 2000, karena telah menikah.

"Akhirnya kau keluar juga!"ujarnya sambil menyunggingkan senyum mengerikan. Aku berjalan mundur. Ayahku memutar-mutar tongkat baseball yang ia pegang. Ia mendekat... Semakin dekat...

"J-jangan mendekat!"ujarku sambil merentangkan tanganku ke depan, berusaha menghalau ayahku yang semakin dekat. Namun tentu saja sia-sia.

"Kau harus menanggung semuanya! Kau harus jadi penyanyi di club! Gaji dari mereka besar!"ujar ayahku sambil melempar tongkat baseballnya ke atas kasur pink ku yang empuk. Syukurlah, dia tak memegang benda jahanam itu.

Kemudian ayahku mengobrak-abrik lemariku. Dan mengambil sebuah dress yang dari dulu kubenci. "Pakai ini nanti malam!"bentak ayahku sambik melempar dress itu sembarangan ke arah wajahku. Dress wanita murahan di club. "A-aku tidak mau memakai dress ini,ayah"ujarku sambil menyingkirkan dress berwarna merah-hitam dari wajahku.

Wajah ayahku merah semerah tomat matang. Jika di kartun, pasti telinganya sudah mengeluarkan asap putih yang biasanya keluar dari teko air yang sedang mendidih. Ia menggapai tongkat baseball nya lagi. "Jangan coba-coba melawan nona!"ujarnya mendesis pelan. Nafasku berderu,lagi.

Ia mengangkat tongkat baseballnya. Dan hendak mengayunkan tongkat itu ke arah tubuhku. "AYAAAH!!"pekikku kencang. Lenganku membentuk silang, berusaha menahan serangan dari ayahku. "JOSH!"tiba-tiba ibu ku datang sambil mendorong tubuh ayahku. Sekarang ia terjerembab ke samping lemari. "Key? Kau tak apa sayang"kata ibuku sambil mengelus kepalaku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Air mataku tumpah seketika di pundak ibuku.

"Ibu, aku tak ingin tinggal bersama dia"ujarku dengan sesenggukkan. Ibu ku memelukku lebih erat lagi. Ia juga mulai menitikkan air mata. "Pergilah selagi ia pingsan, pergilah key! Datangi rumah paman Frans di St.Rosemary blok B13, jaraknya sekitar 2 blok dari sini. Pergilah! Ibu diam-diam sudah mempersiapkan sebuah tas yang berisi keperluanmu dan pakaianmu"

"Tapi, aku tak ingin meninggalkan mu disini, aku tak akan membiarkan ibu menderita bersamanya lagi"ujarku lirih. Wajah ibu ku penuh dengan memar.

"Tidak,key. Ibu akan menetap disini. Jika ibu pergi, ayahmu akan curiga. Ibu akan disini untuk membuat alasan akan kepergianmu dari sini"ujar ibuku sambil memegang wajahku. Ia berusaha tersenyum meskipun sebenarnya otot-otot wajahnya telah sulit untuk tersenyum, berusaha untuk memberitahuku bahwa semuanya baik-baik saja.

"Pergilah key, kau akan lebih menyiksaku jika kau tidak pergi. Aku tak ingin melihat mu di sakiti oleh ayahmu itu"

Aku mengangguk terpaksa. Aku mengambil tas backpack yang ukurannya lumayan besar berwarna oranye-putih. Aku menggendong backpack ku dan memakai jaket yang mirip cardigan berwarna abu-abu.Rambutku yang berwarna blonde ku tutupi dengan kupluk yang terpasang pada jaket.

Ibu ku menepuk pundakku. Menyemangatiku. Aku memeluk ibuku sekali lagi. Ia membalas pelukanku. "Take care ya sayang"ujarnya sambil mengecup kening ku. Aku menitikkan air mata,lagi.

"Kau tak perlu menangis"ujarnya sambil menyapu air mataku dengan jari jempolnya. "Kau akan baik-baik saja disana"lanjutnya. Aku mengangguk lagi. Aku memalingkan wajah, menatap wajah ayah tiri ku yang bengis, yang sekarang sedang tak sadarkan diri.

Aku berlari meninggalkan ibuku, menuju tangga ke lantai satu. Aku menoleh kebelakang. Ibuku melambaikan tangannya seakan hendak berpisah denganku untuk selamanya. Aku membalas lambaian ibu. "Kita tak akan berpisah selamanya bu"ujarku. Ibuku mulai menangis dan berusaha terlihat tegar di depanku. Ia tak ingin membuatku khawatir. Namun aku tau yang sebenarnya. Ibu ku ketakutan, sama sepertiku.

Aku menuruni tangga dan membuka pintu utama. Tak berapa lama kemudian, aku sudah memijak rumpur halaman depan rumah.

Aku mendengar teriakan ibu di dalam rumah. Tepatnya dari kamarku yang terletak di lantai 2. "DIMANA ANAK SIALAN ITU, CAROLINE!?"

Kemudian ku dengar suara pukulan dan suara ibuku memekik kesakitan. Aku tak sanggup mendengar suara-suara ini. Aku berlari.

Namun sepertinya, ayahku mendengar langkah cepatku. "KEYLINE! KAU MAU KEMANA BOCAH CENGENG!?"pekik ayahku dari balkon kamar. Aku menoleh ke arah balkon kamarku, dan melihat ayahku memelototiku. "JIKA KAU TIDAK KEMBALI, AKU AKAN SAKITI IBU MU YANG MENYEDIHKAN INI!"

Aku tak menghiraukan omongannya. Aku sudah berjanji pada ibu untuk pergi ke rumah paman Frans. Apapun situasinya.

Aku kembali berlari, sampai akhirnya ayahku tak terlihat lagi dan ia pun tak dapat melihatku lagi. "SIALAN!!!"aku masih dapat mendengar pekikannya yang menyeramkan itu. Seandainya ayah kandungku masih hidup...

Aku berlari..terus berlari.. Menuju rumah paman Frans. Tak ada tujuan selain itu. Aku menangis, berlari sambil menyapu air mataku yang mulai berjatuhan ke aspal jalan. Aku membayangkan kehidupan ibu ku yang sengsara.

Aku harap aku bisa menyelesaikan semua ini.

_ _ _ _ _

Huft... Lumayan deh nyelesain prolog. Thanks yg udh mau baca. Ini cerita keduaku setelah Floria and The Magic Land. Cerita pertama ku yg Floria itu masih lanjut kok. Cuman aku gatel aja pgen nerbitin yang ini xD. Thanks alot! Please vote+comment :) KEEP READING~

Runaway [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang