pertemuan pertama

96 17 55
                                    

"Apa? Ngerantau? Jangan bercanda kamu, Nay. Buat apa tinggal sendiri di kota orang, sedangkan di Jakarta semua tersedia dengan baik? Papah nggak setuju!"

Jawaban penolakan itu membuat gadis bermanik cokelat mendengkus kesal. Kedua tangannya mencengkram ujung kemeja tunic yang dipakainya. Perlahan, emosinya menjalar ke seluruh tubuh.

"Emang salah kalau ngerantau, Pah? Banyak temen Kanaya di luar sana udah hidup mandiri, lho, Pah!"

Kanaya tidak mau kalah. Dirinya mencoba merajuk ayahnya, tetapi tetap saja yang didapatkan hanyalah keheningan. Lelaki paruh baya yang sibuk merapikan jas hitam dan dasi polkadot itu tidak menggubris Kanaya. Lima menit kemudian, dirinya berlalu saja setelah menemukan kunci mobil Xpander miliknya di lemari bawah televisi.

Kanaya berdecak sebal. Dia bangkit dari duduknya, langsung mengejar Kurniawan yang berjalan ke ruang tamu.

"Pah! Kok, nggak mau dengerin Kanaya dulu. Aku pengen ngerantau, Pah!" tukas Kanaya sedikit emosi.

Kurniawan tidak peduli. Setelah sepatu hitam pantofel mengkilat telah terpasang rapi di kedua kakinya, dia keluar rumah. Tinggallah Kanaya masih terdiam di posisinya berdiri. Dia kesal.

"Nggak usah sok-sokan ngerantau, Nay. Ntar mati kutu kalau uangnya nggak cukup."

Beberapa menit lewat, suara milik seseorang yang Kanaya benci datang dari arah belakang. Tanpa menoleh, Kanaya ingin beranjak pergi dari ruang tamu menuju kamarnya daripada buang waktu untuk manusia perebut segalanya. Baru saja melangkah, Kanaya malah dicekal. Lengan kanannya tergenggam paksa oleh seorang cowok gondrong dengan sorot mata tajam. Dari dulu Kanaya sangat membencinya, bahkan sampai detik ini.

"Lepas!" bentak Kanaya. Dia mencoba melepaskan diri, tetapi pemuda itu tidak memberi izin.

"Nggak usah belagu. Lo di sini aman selama Papah masih peduli sama lo. Coba lihat--" Belum selesai bicara, Kanaya menepis kasar genggaman kasar dari cowok gondrong itu.

"Berisik! Kak Balin yang nggak usah belagu. Hidup numpang aja bangga. Dah, ah. Gue males basa-basi sama manusia macam lo. Lebih baik gue cari resep makanan!"

Tergesa, Kanaya berjalan cepat menuju kamarnya. Dia tidak peduli oleh Balin lagi. Terserah, cowok itu akan emosi atau apa pun, yang jelas Kanaya hanya ingin merantau. Merantau pergi ke luar kota, lalu mencari jati diri dan segala hal selain hiruk pikuk kota Jakarta.

Anyway, Jakarta tidak sepenuhnya buruk hanya karena berisiknya suara klakson kendaraan di jalanan, polusi yang semakin pekat, serta para pecopet dan begal merambah hampir setiap sudut ibukota. Ini soal cinta yang hadir karena ketidaksengajaan.

Saat itu, di streetfood simpang lima senen Jakarta, Kanaya melamun sendiri sambil menunggu pesanan paket ayam bakarnya datang.

"Permisi, boleh ikut duduk, nggak? Di tempat lain penuh soalnya. Gue cuma mau makan bakso bakar aja, habis itu pulang," ucap seorang cowok berwajah mirip skater Korea Selatan bernama Cha Junghwan. Dia memakai kaos putih berlapis kemeja biru muda yang kancingnya sengaja dibuka semua. Senyumnya mengembang selagi meminta izin kepada Kanaya.

"Boleh aja, asal nggak ganggu gue ngelamun. Gue lagi badmood!" jawab Kanaya sedikit nge gas, lantaran kaget mengingat tiba-tiba ada orang lain, cowok lagi, datang dan meminta izin untuk duduk pada satu meja yang sama.

"Nama gue Yudhistira. Ada baiknya kita kenalan dulu. Barangkali lo butuh teman cerita." Cowok tadi tidak mengulurkan tangan, melainkan hanya tersenyum selagi kedua netranya ikut menyipit. Hal itu membuat Kanaya mengernyit, tetapi tidak ada salahnya berkenalan. Mumpung di depannya ini adalah salah satu manusia good looking.

Siapa tau jodoh, 'kan? Ngayal aja dulu, batin Kanaya.

"Panggil aja Kanaya," ujar gadis berambut sebahu itu sembari meredam perasaan badmood nya.

Yudhis berdeham. "Hm, lagi bete, ya? Ati-ati kalau betenya ke orang yang salah, yang ada lo nya yang dimarahin. Untungnya, sama gue betenya. "

"Hah? Disalahin gimana?"

"Disalahin karena lo kaya anak kecil yang hobinya ngambek."

Kedua pipi Kanaya kembang kempis. "Plis, deh. Ngambek, kan, bukan hobi, tapi emang udah kodratnya manusia!"

Kanaya tidak terima. Dia melipat kedua tangannya ke perut. Wajahnya perlahan memerah karena emosi mulai merasuki jiwa.

"Iya, maksudnya lo boleh cerita ke gue dan gue bakal dengerin, kok. Dijamin rahasia aman suliman."

Sepiring nasi beserta ayam bakar berlapis kecap manis datang bersamaan sejuta cerita Kanaya yang spontan terlontar dari mulutnya. Dia menikmati malam Jakarta bersama Yudhis. Tanpa terasa ada sebuah percikan hangat menjalar di keduanya. Yudhis mulai mengenal Kanaya, begitu pun sebaliknya. Pertemuan singkat itu membuat keduanya saling mengenal satu sama lain.

"Terima kasih cerita serunya malam ini, Yudhis. Maafin gue kalau terlalu berisik."

Yudhis menggeleng. "Santai aja kali. Kadang, Tuhan ngirim kebaikan lewat orang tertentu. Salah satunya gue, buat nemenin lo nge galau malam ini. So, gue boleh nggak, minta nomor hape lo?

Tanpa sadar, satu pertanyaan Yudhis berhasil membuat debaran-debaran aneh menyergap Kanaya.

Di satu sisi, kedekatan mereka telah mencuri perhatian seseorang dari kejauhan. "Kayaknya gue telat deh."

***

Gimana? Kepo, nggak? ha-ha-ha.

Siapa, tuh, Balin?

Siapa, tuh, yang mergokin Kanaya. Hayoloh!

BECAUSE OF PANCAKE [SELESAI]Where stories live. Discover now