jalan kaki berdua

26 3 3
                                    

"Kok, laper banget, ya?" gumam Kanaya sambil mengusap-usap perutnya sendiri yang mulai kempes. Tidak biasanya Kanaya makan malam. Alasannya, hanya karena takut melebar, padahal kedua pipinya mulai tembam, apalagi olahraga pun tidak pernah dilakukannya barang sekali saja.

Dengan sangat terpaksa, Kanaya beranjak dari atas tempat tidur ke lemari penyimpanan, lemari plastik dua tingkat yang digunakan Kanaya untuk menyimpan makanan darurat seperti mi instan, telur, roti kering yang masa expired nya panjang, dan beberapa perlengkapan bahan baku untuk jualan pancake.

Kanaya memajukan mulutnya begitu tahu di lemari itu tidak ada snack ringan atau pun roti-roti kering. Hanya ada satu mi instan rebus, tetapi Kanaya sedang tidak berminat merebus mi.

"Apa aku ke Indomaret aja, ya? Deket, sih, tinggal jalan," ucap Kanaya kepada udara di sekitar. Tiga menit berpikir, dia pun segera mengambil jaket yang digantung di belakang pintu, kemudian merapikan rambut sebahunya menggunakan sisir. Tidak lupa pakai masker. Bukan takut tertular virus, melainkan Kanaya malas untuk berdandan tipis-tipis, lagi pula sudah malam.

Suasana indekos Kanaya terbilang tenang dari suara berisik para penghuninya. Mungkin ini malam minggu, jadi pada nongkrong atau malah pergi sama pacar masing-masing. Terkecuali Kanaya yang daritadi mendekam di kamar, tidak berniat keluar.

Entah apes atau apa, Kanaya malah tidak sengaja bertemu dengan cowok random yang tempo hari rajin membalas story Instagramnya. Cowok itu menyapa lebih dulu dan mengecoh fokus Kanaya ketika bingung memilih salah satu dari aneka jenis roti kering untuk persediaan tadi.

"Kamu ke Indomaret sendiri, tah?" tanya Raditya seolah acuh dengan perkataan sebelumnya yang tidak mendapat respons dari Kanaya alias dikacangin.

Kanaya hanya diam sambil menunggu belanjaannya selesai diproses kasir. Dalam hati merutuki diri, sedikit menyesal kenapa malam-malam malah jajan di Indomaret, seharusnya lebih baik lanjut rebahan sampai ketiduran.

"Radit! Lo nggak beli apa-apa?" Suara Bima mengalihkan atensi Raditya. Bersamaan dengan itu, Kanaya telah selesai dengan urusan belanjaan dan berniat langsung pulang tanpa basa-basi berlebihan. Tentu, namanya Raditya tidak ingin melewatkan kesempatan emas. Buru-buru, dia mendekati Bima dan langsung memberikan kunci motornya.

"Bim, lo pulang duluan aja, ntar gue ke kos. Gue ada urusan bentar!" Setelah berkata panjang lebar, Raditya meninggalkan Bima begitu saja.

Bima menggaruk pipi, otaknya mendadak nge bug. "Hah? Lo mau ke mana, Dit?" tanyanya telat, padahal Raditya sudah hilang dari pandangan.

Tergesa, Raditya berlari kecil untuk mengejar Kanaya yang telah menjauh cukup cepat dari jangkauan. Batinnya mengatakan kalau cewek itu baru saja keluar Indomaret, kenapa bisa secepat itu jalannya? Tidak mungkin, kan, dia bukan Kanaya. Jelas-jelas, Raditya bisa melihat aura jutek dari gadis yang belum lama ini dikenalnya.

"Cepet banget jalannya," ucap Raditya setelah berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Kanaya. Napasnya tersengal. Ternyata, butuh cukup tenaga untuk mengejar Kanaya malam ini.

Kanaya sontak menoleh ke kiri. Dia refleks membulatkan kedua mata. Kanaya tidak menyangka seorang Raditya begitu effort  mengejarnya sampai kelihatan kehabisan napas. Dia kira, cowok itu cukup menyapanya di Indomaret, tidak lebih.

"Udah kebiasa, lagian aku ke kampus juga jalan kaki tiap hari. Kadang, kalau lagi hoki aja bisa dapet tebengan," jelas Kanaya.

Raditya berdeham sambil memasukan kedua tangannya ke saku jaket yang dikenakannya. Diam-diam dirinya tersenyum setelah mendengar jawaban gadis yang berjalan di sebelahnya. Seperti mimpi, tanpa diminta Kanaya malah berbicara seolah memberikan penjelasan. Setidaknya, beberapa informasi itu berharga untuk Raditya.

"Oh, gitu, ya. Biasanya nebeng siapa emang?" Sambil bertanya, Raditya terfokus pada satu kantong belanjaan Kanaya yang sepertinya berat, cewek itu pun agak mengeluh.

"Sini kubawain." Tanpa menunggu izin Kanaya, Raditya cepat meraih kantong belanjaan itu. Tindakan implusifnya itu membuat Kanaya kaget sampai tidak sempat menolak. Pada akhirnya, dia membiarkan Raditya membawakan belanjaannya.

"Padahal itu nggak berat-berat amat," ujar Kanaya dengan suara pelan, tetapi sayangnya kedua telinga Raditya mendadak tajam ketika cewek itu bicara.

Raditya terkekeh. "Emang. Aku, tuh, lagi mode baik aja. Makannya bantuin kamu," jawabnya santai 

"Ya, ya. Terserah, dah." Kanaya menjawab seadanya.

Setelah itu, keheningan menyapa keduanya. Suasana malam yang semakin larut membuat hawa dingin perlahan menyeruak. Kanaya pun mengusap-ngusap lengannya, meskipun dia telah mengenakan jaket. Hampir separuh perjalanan, tetapi belum ada yang memulai pembicaraan lagi, hingga akhirnya Raditya bertanya.

"Aku boleh nanya, nggak?"

Kanaya berdeham. "Monggo. Asal nggak aneh-aneh aja. Udah malem, males jawabnya. Capek waktu, tenaga, pikiran, dan hati," jelasnya. Lagi-lagi, Kanaya menjawab panjang lebar. Semenit kemudian, dia menyesal untuk kedua kalinya berbasa-basi tidak penting. Apakah mungkin otaknya sedang kesambet setan malam minggu?

"Nggak, kok. Aku cuma mau nanya, gimana menurutmu, kalau kamu dipaksa untuk melakukan sesuatu yang nggak kamu mau--" Belum selesai Raditya bertanya, terdengar dengkusan dari Kanaya. Seolah memotong pertanyaannya, lalu cewek itu berdecak pelan.

"Jujur, aku nggak mau, apalagi sesuatu itu nggak sesuai sama prinsipku sendiri. Kayak apa, ya, buang-buang waktu sebenernya."

Raditya mengangguk, setuju dengan jawaban Kanaya barusan.

"Tapi, lain hal dengan sesuatu yang buruk itu adalah permintaan keharusan. Dalam artian, tanpa disadari sesuatu itu akan mengubah hidup kita ke arah yang lebih baik," tambah Kanaya lagi.

Tumben gue bijak banget. Habis beli jajan banyak gini amat ya Allah. Beberapa detik lewat, hati Kanaya berisik karena jawabannya yang sungguh di luar dugaan.

"Hm, ada benernya juga kamu. Mungkin, selama ini aku terlalu terkungkung di sebuah ruang sempit. Sampai jiwa ini memilih mengalihkan semua masalah yang ada," balas Raditya selagi menghela napas panjang. Dia teringat lagi oleh permintaan Ibunya.

"Ya, lagian hidup cuma sekali dan kesempatan nggak mesti lewat hal-hal baik terus. Bisa jadi Tuhan kasih ujian dulu buat mengubah manusia itu jadi lebih baik."

Ya ampun, gue belibet banget ngomongnya. Semoga dia ngerti, deh.

Spontan, Raditya mengusap lembut kepala Kanaya sambil tersenyum manis di antara redupnya malam. Dia tidak sadar, perlakuannya itu membuat debaran jantung Kanaya mulai meronta-ronta dan menyebabkan aliran panas mengalir hampir ke seluruh bagian tubuhnya sekarang.

"Makasih ya, Nay. Berkat jawaban kamu barusan, aku sedikit dapet pencerahan. Tumben banget, he-he," ucap Raditya, belum mengangkat tangan kanannya untuk menjauhi kepala Kanaya.

Tidak langsung menjawab, Kanaya malah terbawa percikan-percikan aneh di hatinya. Seketika, perutnya terdengar bergemuruh. Rasa-rasanya ingin ke kamar mandi karena mendadak mules.

"Eh, sini belanjaanku. Kosku udah deket, kok. Kamu mending pulang, deh. Udah malem! Bye!" Dengan cepat, Kanaya mengambil paksa kantong belanjaan dari genggaman tangan Raditya, kemudian langkahnya tergesa terayun seraya meninggalkan Raditya yang terdiam di tempatnya.

Raditya geleng-geleng. "Kalau lagi salah tingkah, dia, kok, makin imut, ya?" gumamnya.

BECAUSE OF PANCAKE [SELESAI]Där berättelser lever. Upptäck nu