perjalanan jauh

19 3 5
                                    

Ada yang bilang waktu cepat berjalan. Dia berjalan begitu gesit, hingga manusia kurang bisa mengimbangi. Tanpa terasa tiga hari berlalu. Sekarang Kanaya telah berada di dalam kereta api eksekutif dengan jurusan akhir Stasiun Gambir Jakarta. Dia mengamati pemandangan di luar jendela sambil mendengarkan musik melalui earphone.

Akhirnya, setelah sekian lama merantau, Kanaya bisa pulang lagi ke Jakarta. Perasaannya campur aduk. Senang dan sedih menjadi satu. Terlebih lagi, dirinya akan bertemu dengan Yudhis, sang pujaan hati yang telah lama dirindu.

Namun, di satu sisi, Kanaya merasa resah. Bukan cuma soal bahagia saja yang dia dapatkan nanti, atau kelegaan karena telah menuntuskan rindu, tetapi soal bencinya yang bersemayam sejak lama. Kanaya pasti bertemu Balin. Tidak bisa dipungkiri karena mereka satu rumah yang sama. Bahkan, satu pesan singkat dari Balin, sama sekali tidak dibalas oleh Kanaya. Entahlah, sekarang gadis itu hanya bisa berharap semuanya bisa berjalan baik-baik saja tanpa ada halangan.

@Radit.1001
Hm, tumben nggak pasang story Instagram.

Kling!

Suara notifikasi sosial media Instagram milik Kanaya terdengar dan langsung mengalihkan atensi Kanaya dari lamunannya.

"Hm, emang kenapa, sih, kalau nggak bikin story? Ada yang salah, ya?" gumam Kanaya sambil membalas direct message yang datang dari Raditya. Akhir-akhir ini, cowok itu sempat membuat Kanaya agak goyah perihal rasa. Bagaimana tidak? Sikap manisnya selalu ditunjukan pada Kanaya. Padahal, mereka belum lama kenal. Kalau dibilang dekat pun belum. Intinya, sebatas tahu nama, kampus, dan ... ah, Kanaya lupa, kalau ibu Raditya sudah tahu nama, wajah, dan kerjaan sampingannya sebagai penjual pancake.

Arrgh. Kanaya mengacak rambutnya. Dia tidak peduli poni pendeknya menjadi tak beraturan ke sana kemari. Kenapa hidupnya menjadi rumit semenjak nekat merantau?

Sesaat lagi, kereta api Taksaka Luxury Sleeper akan berhenti di Stasiun Gambir....

"Semoga aja aku bisa melalui satu minggu di Jakarta dengan baik dan benar, amin." Kanaya bicara dalam hati selagi merapal banyak doa.

Ketika kereta yang dinaiki benar-benar berhenti, Kanaya bergegas turun ke peron sambil membawa koper hijau toscanya yang berukuran sedang. Suasana riuh redam langsung menyambut Kanaya untuk pertama kali menginjakan kaki di Jakarta lagi.

"Jakarta, i'm come back for you." Sebuah senyum tipis terbit di bibir Kanaya. Meskipun begitu, ibukota adalah tempat lahir Kanaya. Tempatnya merangkai berbagai kenangan indah tanpa batas waktu.

"Kanaya!"

Sekejap langkah Kanaya terhenti. Dia sedikit kaget oleh ayahnya yang sedang melambaikan tangan dari kejauhan. Suara Kurniawan menggelegar, sempat membuat beberapa orang teralihkan fokusnya. Pria berjas hitam mengkilat itu berlari mendekati anak perempuannya, yang masih keheranan sendiri.

"Ya ampun, akhirnya kamu pulang, Nay! Papah kangen banget sama kamu!" Baru saja Kurniawan hendak merentangkan kedua tangan, bermaksud untuk memeluk Kanaya, tetapi realita tidak sesuai kenyataan. Kanaya melengos saja. Dia berjalan cepat menuju supir pribadi keluarganya yang berdiri tidak jauh dari pintu keluar peron.

"Akhirnya pulang juga, Non." Pak Sapto menyambut kedatangan Kanaya dengan senyuman sekaligus membantu gadis itu untuk membawakan koper hijau tosca.

Kanaya mengangguk. "Iya, Pak. Kalau nggak dipaksa Papah mana mau pulang! He-he."

Kurniawan menyusul dari belakang. Dia langsung merangkul paksa anak kesayangannya yang berujung Kanaya berontak minta dilepaskan.

"Papah!" pekik Kanaya.

"Habisnya kamu gitu. Ada orang tua malah dikacangin. Itu namanya durha--"

"Ka!"

Belum selesai bicara, ucapan Kurniawan dipotong paksa oleh Kanaya, lalu gadis itu berhasil melepaskan diri dari ayahnya. Dia berjalan saja ke parkiran mobil. Namun, lagi-lagi ayahnya mengecoh perhatian.

"Papah bawa donat J.co kesukaanmu, lho. Semuanya rasa matcha!" teriak Kurniawan. Kali ini, pria ber has hitam itu mengangkat tinggi-tinggi kantong plastik bening berisi satu kardus oranye bertuliskan J.co Donuts.

"Tsk. Malu-maluin," gerutu Kanaya dalam diam, tetapi di satu sisi dia senang karena Kurniawan tidak pernah berubah. Tidak pernah mengurangi kadar perhatiannya sebagai seorang ayah kepada anak perempuannya, meskipun kerap kali dilanda kesibukan sebagai CEO perusahaan sendiri

Kanaya tahu, dibalik semua itu, Kurniawan telah bekerja keras untuk mempertahankan keseimbangan keluarganya sekarang. Ya, walaupun ada satu orang asing yang sudah lama hadir sebagai pelengkap, atau mungkin hanya figuran saja.

"Jadi, mau nggak donatnya, Nay?"

Kanaya berdecak kesal, lalu dia memalingkan muka dan berlari ke arah parkiran. Baginya, rayuan maut menggunakan donat J.co rasa matcha tidak akan mempan membuatnya luluh lantak.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, Kanaya pun cuma diam tanpa peduli oleh cerocos panjang lebar dari ayahnya, apalagi yang dibahas soal perusahaan dan sepertinya berkembang cukup pesat. Sama sekali, topik obrolan yang tidak diminati Kanaya. Gadis itu lebih memilih menikmati pemandangan macetnya jalanan ibukota dengan klakson sana-sini.

"Nay? Kanaya Laksita. Kamu nggak dengerin Papah ngomong, ya?" Kurniawan menyadari Kanaya tak acuh padanya sejak tadi. Setengah perjalanan, dirinya hanya bicara sendiri tanpa ada orang merespons. Mungkin sekali dua kali Pak Sapto membalas diriingi tawa.

"Hu'um, denger, kok, Pah," jawab Kanaya seadanya. Tetap cuek selagi pemandangan macet itu masih menjadi daya tariknya.

"Sedih, deh. Jauh-jauh dari kota kecil, kok, malah ngacangin Papahnya sendiri," ucap Kurniawan, lalu bersedekap. Dia agak ngambek karena diabaikan oleh anaknya sendiri.

"Apaan, sih, Pah? Jangan kayak anak kecil, deh. Kanaya capek tahu. Emang, sih, perjalanan cuma 4 jam doang, tapi rasanya punggung ini setengah encok," jelas Kanaya.

Kurniawan menghela napas. "Alasan kamu, Nay. Bilang aja masih ngambek sama Papah karena nggak sepenuhnya didukung merantau, 'kan?"

"Nggak usah dibahas lagi deh, Pah. Sekarang posisi Kanaya udah resmi merantau dari Jakarta."

Tiba-tiba, keheningan menyambut keduanya dan sebentar lagi mobil Alphard putih itu menepi ke area perumahan elite di Menteng Jakarta Pusat. Itu artinya, sesaat lagi Kanaya akan berjumpa dengan segala kenangan yang dia miliki di masa lalu.

***

Dua koper hitam berhasil Raditya pindahkan di dekat ruang tamu. Sambil menunggu Dewi selesai urusan dikamar alias berdandan sebelum pergi jauh-- kebiasaan seorang perempuan-Raditya mengawasi datangnya Grab Car yang baru saja dipesan untuk pergi ke stasiun besar Purwokerto. Lama berpikir sekaligus mengalah dari perasaan egois, di akhir Raditya menuruti permintaan Dewi untuk ikut menghadiri acara mantan ayahnya di Jakarta.

"Radit, belum datang, kan, grabnya?" tanya Dewi dengan nada suara yang sedikit keras dari dalam kamarnya.

"Belum, Bund. Ini drivernya masih nganter satu penumpang lagi, tapi nggak lama, kok, aman," jawab Raditya santai, kemudian cowok itu beralih fokus pada akun Kanaya lagi. Tidak ada balasan lanjutan dari cewek itu. Hanya ada tanda 'dilihat' saja.

"Hm, dia emang cewek beda dari yang lain. Dideketin malah menjauh, apalagi nggak dideketin, hadeh."

BECAUSE OF PANCAKE [SELESAI]Where stories live. Discover now