dekat jendela ibukota

7 1 0
                                    

"Nay, lo lama amat, sih, di Jakartanya. Lo nggak kangen sama gue apa? Ke kampus sendiri, mana kayak orang ilang."

"Yaelah, Dant. Gue baru dua hari di Jakarta. Nggak akan lama, kok. Lagian cuma lima harian gue cuti, nggak sampai seminggu. Kangen banget sama gue, ya? Sabar, yaw."

Di sela-sela pertengahan acara family gathering, Kanaya izin keluar sebentar dari ball room untuk mengangkat panggilan telepon dari Danti. Bahkan, dia lupa memberi kabar pada teman dekatnya itu selama di Jakarta. Kanaya tahu, pasti kekesalan Danti telah berada di ujung tanduk.

Terdengar dengkusan pelan dari seberang sambungan. "Saking kangennya pengen nampol kamu, Nay. Anyway, ini tugas kuliah numpuk banget, lho. Buruan balik daripada keteteran garapnya nanti."

Kanaya menghela napas panjang. Dia sudah tahu kalau nanti ketika merantau ke Purwokerto lagi, akan ada tugas kuliah yang bejibun banyaknya.

"Hm, nggak masalah, Dant. Semua yang kita lakukan, kan, ada risikonya. Jadi, jalani aja selagi bisa. Ya, 'kan?" Kanaya menjawab setenang mungkin. Hal itu membuat Danti makin mengomel. Dia jadi merasa serba salah, tetapi mau bagaimana lagi, acara family gathering adalah keinginan Kurniawan. Secara Kanaya tidak ingin menjadi anak durhaka. Terlepas, kisah cintanya yang memprihatinkan sekarang.

Hampir lima belas menit melepas keresahan, Danti pamit lebih dulu dari obrolan malam dengan Kanaya. Dia ingin mengademkan pikiran dengan membaca buku di indekos. Seharian ini cukup burn out karena kuliah full time dengan jeda waktu istirahat yang sedikit.

Sebelum masuk lagi ke ball room, Kanaya sempat menengok akun instagram Yudhis. Entah apa yang ada di hatinya, Kanaya mendadak stalking. Ada satu cerita Instagram yang menarik perhatian Kanaya. Nyatanya, sebuah foto yang menampilkan suasana diskotik dengan banyak orang sedang berdansa ria. Belum lagi di setiap meja terdapat jejeran minuman keras dan bungkus rokok.

"Tsk. Kenapa gue bego banget ya jadi cewek? Mau-maunya kenalan sama cowok random, terus langsung suka lagi. Arrgh, sialan," gerutu Kanaya. Dirinya mendadak muak melihat realita, bahwa Yudhis enggan memedulikan kisah cintanya dengan Kanaya lagi. Lebih memilih bersenang-senang di diskotik bersama cewek lain--mungkin.

Baru akan berbalik, Kanaya dikejutkan oleh kehadiran Raditya. Cowok itu memperlihatkan deretan gigi putihnya seraya mengangkat salah satu tangannya sebagai sambutan. Detak jantung Kanaya mendadak meronta-ronta seakan bertemu hantu di malam hari. Dia bahkan sampai mengusap-ngusap dadanya sambil menghirup banyk oksigen di sekitar.

"Kamu, kok, kaya lihat maling, sih? Lucu banget," ujar Raditya sambil tertawa kecil, kemudian berjalan mendekati Kanaya. Penampilan cowok itu terbilang cukup tampan. Dengan memakai kemeja biru muda yang dipasangkan celana cream. Simple, tetapi mampu membuat Kanaya sedikit terpukau. Memang dasarnya Raditya nggak jelek-jelek amat, kok.

Kanaya berdecak pelan. "Kamu ngikutin aku sampe Jakarta?" Satu pertanyaan yang spontan membuat Raditya terpingkal.

"Kenapa ketawa? Aku salah nanyanya?" Sedangkan Kanaya kukuh pada pendiria  sok jaga image-nya itu. Ya, lagipula Kanaya nggak pernah memberi sedikit pun kabar pada Raditya tentang kepergiannya ke Jakarta. Lalu, kenapa cowok random itu bisa sampai ke sini, ke hotel yang sama pula.

Raditya menggeleng. "Nggak salah, tapi aneh banget. Emangnya kalau kita pergi ke tempat yang sama, bisa dibilang jadi penguntit? Nggak, toh?"

"Iya, sih." Kanaya mengaku salah. Saking kagetnya, dia jadi blunder sendiri.

"Ngomong-ngomong, kayaknya kita ada di acara yang sama, deh," ucap Raditya sambil menyipitkan kedua matanya.

"Emangnya acara apaan coba?" Kanaya masih saja gengsi.

"Family Gathering Perusahaan Go Food Indonesia. Bener, 'kan?"

Kanaya sontak melihat Raditya sambil keheranan sendiri. Dia berpikir seolah dunia benar-benar sempit. Bagaimana tidak? Kenapa Raditya bisa tahu soal acara yang diadakan ayahnya ini? Dan, Kanaya nggak mungkin salah dengar.

"Hah? Ko-kok, kamu...."

Raditya tersenyum lebar. "Nah, kan, bener! Anyway, kita pindah tempat ngobrol, yuk. Di sebelah sana ada jendela besar yang langsung menghadap pemandangan langit malam ibukota. Pasti kamu suka, Nay." Tanpa banyak basa-basi lagi, Raditya beranjak duluan menuju tempat yang dia bilang barusan.

"Hm, boleh, deh," gumam Kanaya, yang akhirnya mengikuti Raditya. Sejujurnya, dia butuh healing. Barangkali pemandangan kerlap-kerlip ibukota dari lantai 8 ini bisa menjadi obat penenang hati.

"Mungkin, kamu penasaran kenapa bisa aku ada di sini. Ya, itu karena aku berhasil melawan keegoisan diri, Nay."

"Keegoisan diri?" Kanaya menjawab selagi matanya bergerak melihat sekeliling, terutama gedung-gedung bertingkat yang terlihat tidak jauh dari hotel tempatnya berada sekarang.

Raditya berdeham. "Iya, Nay. Aku ke sini karena menuruti keinginan Ibu untuk menemani mantan ayahku di acara family gathering perusahaan tempatnya bekerja."

Kanaya belum merespons. Dia masih mencerna apa yang dikatakan Raditya barusan. Mantan ayah? Jadi, orang tua cowok itu sudah lama berpisah, tetapi enggan melepas perasaan cinta di antara keduanya?

"Awalnya, aku nggak mau. Ngapain coba? Lagian, ayahku itu udah lama ninggalin keluarga, tapi ada satu orang yang berhasil mengubah pemikiranku ini. Dia adalah kamu, Kanaya."

Sontak, Kanaya menoleh disertai kernyitan di dahi. "Aku?" Dia tergagap.

"Iya, pokoknya kamu, Nay. Ha-ha." Raditya tertawa tanpa menjawab kebingungan cewek yang berdiri di sebelahnya yang kini mendadak pusing tujuh keliling akibat pernyataannya barusan.

"Oh, ya. Sekarang giliran kamu. Kenapa kamu bisa ada di sini, Nay. Jangan-jangan, orang tua kita sama tempat kerjanya."

Kanya mengembuskan napas panjang, lalu menghirupnya kembali. Dia beralih lebih dulu ke arah jendela, kemudian melipat kedua tangannya ke perut. "Ayahku yang punya perusahaan Good Food Indonesia. Dia sengaja nyuruh aku pulang ke Jakarta demi ikutan Family Gathering. Gitu, sih," jawab cewek itu apa adanya. Tentu, jawabannya itu membuat Raditya membulatkan kedua matanya. Dia kaget.

"Hah? Seriusan? Berarti, ayahmu adalah seorang CEO?" tanya Raditya sekaligus membatin, kalau Kanaya benar-benar low profile. Sama sekali nggak menunjukan keluarga konglomerat kelas atas.

Kanaya mengangguk. Dia tahu, respons orang awam akan begitu, tapi apa boleh buat. Dia tidak akan protes, karena itu alamiah.

"Iyaa, CEO. Maaf, kalau terkesan pamer, tapi begitulah kenyataannya."

"Sama sekali enggak. Aku bukan orang yang iri dengki, kok. Nggak masalah mau keluarga kamu kayak gimana, yang penting perasaanku...."

"Kanaya!"

Ucapan Raditya sesaat terjeda oleh suara Balin yang tiba-tiba terdengar memanggil Kanaya.

Ish, apaan, sih, dia manggil-manggil. Gue jadi penasaran si cowok bernama Raditya ini mau ngomong apa soal perasaan, astaga! batin Kanaya mulai bergejolak. Banyak informasi yang dia dapatkan dari Raditya. Namun, dia belum merespons banyak, lebih banyak diam dan memastikan. Terlebih, obrolan mereka sesaat terpotong. Mau tidak mau, Kanaya dan Raditya kembali masuk ke ball room karena ada acara inti yang akan dilaksanakan.

"Iya, Kak! Kenapa?"

"Masuk aja! Jangan mojok terus!" teriak Balin.

"Siapa yang mojok, woi?"

Kanaya tidak terima.

BECAUSE OF PANCAKE [SELESAI]Where stories live. Discover now