pancake matcha

40 7 43
                                    

Langit sore Purwokerto cukup cerah, meskipun tidak memperlihatkan kebiruan dan lebih banyak kumpulan awan kelabu menempati setiap sisinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit sore Purwokerto cukup cerah, meskipun tidak memperlihatkan kebiruan dan lebih banyak kumpulan awan kelabu menempati setiap sisinya. Kanaya sibuk membuat dua pesanan pancake dari sepuluh antrean yang ada. Dengan sabar, dia panaskan adonan pancake di atas teflon satu per satu. Setelahnya, dioleskan selai sesuai reques pembeli.

Selain kuliah, Kanaya membuka stand makanan kecil-kecilan di pinggiran jalan Karangwangkal dekat kampusnya. Bermodalkan nekat, Kanaya berjualan pancake mini dengan berbagai macam olesan selai serta taburan toping di atasnya. Biasanya, Kanaya mulai jualan dari pukul setengah empat sore sampai menjelang magrib. Untuk hari dan jamnya tidak menentu. Sebab, Kanaya seringkali disibukan oleh tugas kuliah.

Beruntungnya, pembeli yang banyak itu sama sekali tidak memperlihatkan wajah bete ketika antreannya lama dilayani. Mengingat Kanaya hanya sendiri di stand jualan.

"Ini ya, Mbak. Pancake selai matcha dan cokelatnya. Totalnya jadi 23.000." Kanaya menyodorkan satu kantong plastik bening berisi dua styrofoam berukuran sedang sebagai tempat pancake pesanan.

Gadis berkerudung merah cerah tersenyum saat menerimanya, lalu dia memberikan Kanaya uang pas.

"Terima kasih ya, Mbak. Sukses jualannya!" ujarnya seraya memberi semangat. Hal itu membuat Kanaya semringah, lalu fokus melanjutkan meramu  pesanan berikutnya.

Sebenarnya tidak hanya modal nekat saja sebagai bekal jualan, tetapi Kanaya ingin mencoba hal baru guna menambah pengalaman hidupnya di kota rantau. Barangkali, suatu saat nanti ayahnya akan bangga terhadap dirinya yang berhasil tanpa ketergantungan orangtua. Walaupun, masih dibayang-bayangi warisan perusahaan. Namun, Kanaya tidak memikirkan itu dulu. Masa depannya jauh lebih penting.

"Misi, Mbak. Saya mau pesen." Sebuah suara mengalihkan atensi Kanaya yang sedang fokus mengaduk adonan dalam sebuah wadah.

Kanaya tersenyum simpul. "Iya, Mas. Mau pesen rasa apa, ya? Nanti tulis aja di kertas kecil itu. Masnya dapet antrean nomor 10, ya."

Cowok berambut sedikit gondrong dengan kaos hitam yang dilapisi luaran jaket hijau tua itu berdeham, kemudian mengambil kertas kecil pemberian Kanaya.

"Hu'um, nomor 10, ya ... Kira-kira berapa lama lagi, Mbak? Saya mulai keroncongan, nih," tanyanya sambil mengusap-ngusap perutnya.

"Nggak bisa mastiin, Mas. Karena satu orang bisa pesen dua atau tiga, bahkan ada yang sampai lima." Asal kalian tau, Kanaya biasa ditinggalkan oleh calon pembeli. Maklum, dia bekerja seorang diri dan belum mampu merekrut pegawai.

Cowok tadi menghela napas pelan. "Oke, deh. Saya pesan pancake matcha dua, ya. Anyway, boleh tau nama mbaknya, nggak?" Satu pertanyaan itu berhasil membuat Kanaya melirik sekilas, lalu kedua netranya menangkap pemandangan cowok gondrong yang meringis lebar dengan deretan gigi putihnya menyembul di antara kedua bibir, masih berdiri di depan stand mininya.

Astaga, sok kenal banget, batin Kanaya.

"Buat apa, Mas? Saya takut jawab kalau misal--"

Ucapan Kanaya dipotong paksa. Cowok itu terkekeh pelan. "Nggak buat dijahatin, kok. Kayaknya kita satu kampus, tapi beda jurusan. Beberapa kali kita sempat papasan. Cuman Mbaknya nggak sadar aja."

Kanaya mengernyit. Sambil mengangkat tiga pancake yang telah jadi, lalu dioleskan selai sesuai pesanan, dia baru menjawab, "Hu'um, masa iya, sih? Jujur, saya jarang banget ke kampus kalau nggak ada perlu, lho," jawabnya datar tanpa mengada-mengada. Memang betul, Kanaya hanya ke kampus apabila ada jadwal kuliah dan kumpulan mendadak.

"Serius. Ya, namanya orang nggak kenal, mana peka, Mbak." Setelah menjawab pertanyaan Kanaya, cowok tadi mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah kartu nama lengkap dengan akun sosial media dan nomor ponselnya.

"Ini buat, Mbak. Salam kenal, ya. Nama saya Raditya Sadajiwa. Maaf buat kaget karena tiba-tiba kenalan kayak gini."

Kanaya menghentikan aktivitasnya secara mendadak. Dia menatap sebentar kartu nama yang disodorkan oleh Raditya. Gadis itu belum mau menerima. Dahinya berkerut, tanda mencoba mencari pencerahan atas perkenalan yang terjadi secara mendadak ini.

"Terus, gunanya kartu nama ini buat apa, Mas?" tanya Kanaya. Fokusnya kembali ketika adonan pancake mulai kecokelatan di atas teflon. Gadis itu pun menyiapkan styrofoam berjejer sebanyak empat buah.

Raditya mengulum bibirnya sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kedua alisnya pun bertaut. "Buat kenalanlah, Mbak. Ini simpen aja. Sekarang gantian Mbaknya yang kenalan, okai," balasnya  selagi menaruh asal kartu nama kecilnya di dekat styrofoam berjejer tadi.

Raditya Sadajiwa. Umurnya 21 tahun terlihat pada tahun lahirnya, sama seperti Kanaya. Jurusan Ilmu Komunikasi, sedangkan Kanaya jurusan Kimia Murni. Ada tiga akun sosial media yang tertera di tepi bawah kartu nama. Facebook, Instagram, dan Tiktok. Tidak ketinggalan alamat email di bawah nomor ponselnya persis.

"Kanaya Laksita. Jurusan Kimia Murni. Salam kenal, Mas." Akhirnya, setelah tiga menit merenung untuk membalas perkenalan itu atau tidak, Kanaya menjawab juga. Dia hanya berniat untuk menghargai tingkat kepercayaan diri yang tinggi dari Raditya itu.

Jawaban singkat, padat, dan jelas, tidak membuat Raditya kecewa. Dia tersenyum selagi kedua tangannya masuk ke saku celana training hitam panjang yang dipakainya.

"Salam kenal, Mbak Kanaya."

***

Pemandangan langit Jakarta yang dipenuhi polusi masih menjadi perhatian dari seorang pria berumur sekitar 45 tahun. Dia menatap lurus ke depan tanpa memedulikan seseorang yang terus mengharapkan jawaban, berdiri tidak jauh darinya. Ruang kerja yang cukup luas milik pria itu terasa hening, hanya terdengar suara denting jam tertempel di dinding.

Helaan napas pelan terdengar setelah hampir setengah jam. "Lebih baik kamu kerja yang baik, Balin. Jangan berharap sesuatu yang belum tentu ada," jawabnya bernada datar. Dia memutarbalikan tubuhnya dan kembali ke meja kerja. Ada setumpuk dokumen yang perlu ditanda tangani.

Pemuda empat tahun lebih tua dari Kanaya itu mendengkus kasar. Dia tidak terima jawaban yang diberikan Kurniawan barusan.

"Balin nggak berharap, Pah, tapi kenapa cuma Kanaya yang dikasih kesempatan buat dapetin warisan itu? Bukannya udah jelas kalau dia nggak mau dan memilih jalan hidupnya sendiri?" Balin mengepalkan kedua tangannya. Aliran darahnya perlahan memanas. Ada amarah yang tertahan dan ingin dilampiaskan sekarang.

Maklum, tidak hanya satu perusahaan saja yang dimiliki Kurniawan, tetapi ada delapan cabang perusahaan makanan yang cukup terkenal dengan kualitas dan kuantitasnya. Balin hanya berpikir, apakah dirinya kurang mampu mengelola salah satunya, bahkan sudah tiga tahun dia bekerja di salah satu perusahaan start up. Menurutnya, kemampuannya sangat cukup menjadi kandidat pewaris perusahaan Good Food Indonesia.

Selesai dua dokumen yang berhasil dicek serta dibubuhi tanda tangan, Kurniawan berganti melempar tatap kepada anak sulungnya. "Papah tetap milih Kanaya jadi pewaris, apa pun alasannya, Balin. Dan, kamu nggak perlu tau itu, " jawabnya dingin. Setelahnya, dia mengembalikan fokus pada tiga dokumen yang tersisa.

"Tsk. Apa karena aku adalah anak pungut? Itu, kan, alasan Papah? Secara aku--"

Brak!

Suara gebrakan meja mengecoh suasana sepi. Selesai menandatangani semua dokumen, Kurniawan bangkit dari kursinya. Dia berjalan mendekat ke arah Balin, tetapi tidak untuk menamparnya karena pertanyaan yang dilontarkan oleh pemuda itu baru saja.

"Tolong, jangan bawa-bawa status aslimu, Balin. Keputusan Papah sudah bulat. Sekarang, kamu kembali bekerja saja. Perusahaan start up tidak butuh orang yang iri dengki," ucapnya tenang seraya meninggalkan satu tepukan pelan di bahu kiri Balin. Setelahnya pria itu keluar meninggalkan ruangan.

***

Udah mulai keliatan hilalnya, 'kan? Wkwk

BECAUSE OF PANCAKE [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang