sampai kapan?

14 3 0
                                    

"Hah? Jangan bercanda, Pah. Masa tiga hari lagi Kanaya harus ke Jakarta? Aku belum urus izin cutinya, lho."

Selepas membereskan peralatan untuk jualan pancake di CFD, Kanaya mendapat telepon dari sang ayah terkait acara family gathering. Awalnya, Kanaya ogah-ogahan untuk mengangkat, tetapi satu pesan di layar notifikasi membuatnya beringsut. Ayahnya mengatakan kalau ada hal penting yang ingin dikatakan melalui sambungan telepon. Mau tidak mau, Kanaya harus mengangkatnya, atau dia gagal bertemu dengan Yudhis.

"Iya, Nay. Sengaja Papah majuin harinya, biar nggak kelamaan nunggu. Lagian, acaranya semi formal, Nay. Selain perkenalan masing-masing keluarga, juga bincang santai dan makan bersama." Kurniawan menjelaskan dengan tenang agar Kanaya percaya, bahwa acara family gathering ini tidak ada hal lain yang mencurigakan, meskipun kenyataannya Kurniawan ingin mengenalkan Kanaya sebagai pewaris utama perusahaan Good Food Indonesia.

Kanaya mendengkus kesal. Dirinya menyisir rambutnya dengan jari-jari secara gusar. Dia bingung. Di satu sisi, Kanaya sudah nggak sabar ingin berjumpa dengan sang kekasih, meskipun kini hubungan mereka tampak abu-abu. Terlihat seperti ada dan tiada. Sesekali, Kanaya merindukan suara Yudhis ketika video call, atau tidak sengaja mengirimkan pesan suara melalui chat WhatsApp, tetapi mungkin karena kesibukan masing-masing, momen itu perlahan lenyap sampai sebentar lagi keduanya akan bertemu kembali secara nyata di Jakarta.

"Hm, Kanaya, sih, oke aja kalau acaranya emang dimajuin, Pah, tapi masalahnya H-2 Kanaya ada praktikum di kampus. Semoga nggak sampai dua hari udah kelar," jelas Kanaya.

Kurniawan terdengar berdeham, lalu dia menghela napas panjang. "Amin, yang penting, mah, kamu mau ikut acara Family Gathering, Nay." Betul, kalaupun Kanaya gagal, yasudah. Kurniawan bisa apa selain merutuki diri, tetapi itu tidak mungkin terjadi. Sebab, dia mempunyai rencana lain.

"Iya, Pah. Insyaallah, Kanaya usahakan, kok. Soalnya udah dibeliin tiket juga. Sayang banget kalau nggak dipake."

Lima belas menit lewat, Kanaya menutup sambungan telepon setelah Kurniawan meminta izin untuk mendahului karena ada meeting mendadak.

Desahan pelan terdengar. Kanaya merebahkan diri ke atas tempat tidur. Punggungnya terasa pegal-pegal. Sebab, sedari pagi, Kanaya berdiri untuk berjualan pancake di CFD.

"Tiga hari lagi, ya," gumam Kanaya. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Seperti tidak siap untuk pergi ke Jakarta, tetapi mau bagaimana lagi. Kerinduannya terhadap Yudhis tidak bisa tertahan lebih lama lagi.

Selain itu, Kanaya harus menghadapi kakak tirinya yang dia benci selama ini. Balin. Iya, seseorang yang hadir ke kehidupan Kanaya tanpa dia minta. Namun, sampai kapan Kanaya akan menaruh rasa benci terhadap Balim secara terus menerus? Apakah ketika bumi lenyap dari pandangan, barulah dia bisa melupakan perasaan benci yang menahun itu?

***

"Dia siapa, Mah?"

Kala itu, ketika senja menampilkan kemerahan di langit sore. Datanglah Jayasri bersama seorang anak laki-laki yang telah beranjak remaja. Tingginya melebihi Kanaya, bahkan mungkin lebih tua dari gadis kecil itu. Boneka beruang cokelat di tangan Kanaya sebagai temannya menghadapi kebingungan.

Wanita dengan dress panjang selutut yang dilapisi celana kain untuk menutupi kedua kaki jenjangnya mendekati Kanaya. Jayasri berjongkok seraya mensejajarkan pandangan dengan anak perempuannya.

"Kanaya, Ibu bawa seseorang. Dia bakal nemenin kamu di rumah, kalau Papah sama Mamah lagi kerja," ujar Jayasri lembut sambil mengusap pucuk kepala Kanaya yang masih diam di depannya. Sesekali, lirikan mata gadis kecil itu mengarah pada Balin. Kedua mata mereka bertemu, tetapi salah satunya enggan memulai untuk menyapa atau melambaikan tangan sebagai salam pertemuan pertama.

"Ibu bawa dia dari mana?" tanya Kanaya polos. Padahal, sejatinya Kenaya sedang menahan sebuah gejolak emosi. Haruskah, Jayasri membawa orang lain ke keluarga kecil mereka yang telah bahagia sejak dulu?

Jayasri terkekeh, lalu dia berdiri dan berbalik arah menuju Balin. Diraihnya tangan kanan cowok remaja itu, kemudian menariknya agar mengikuti langkah kakinya menuju Kanaya berdiri. Jayasri bermaksud mendekatkan Balin dengan kanaya seraya mengajak mereka saling mengenal secara akrab.

"Ayo, Balin. Kamu harus kenalan sama Kanaya. Dia calon adik perempuan ka--"

"Dia bukan kakak Kanaya!" Seketika nada bicara Kanaya meninggi. Dia berteriak sambil melempar boneka yang dipeluknya tadi ke lantai. Dengan cepat, Kanaya melangkah pergi dari ruang tamu ke lantai dua, tepatnya ke kamarnya. Dia tidak peduli oleh ibunya dan juga Balin, yang katanya adalah calon kakak laki-lakinya.

"Kanaya! Mau ke mana kamu?" panggil Jayasri, tetapi yang dia dapatkan hanyalah suara pintu terbanting dengan keras.

Tiba-tiba saja, sekelebat masa lalu soal pertemuan pertama Kanaya dan Balin muncul tanpa izi. Kanaya mengingat momen itu sambil menahan amarah, apalagi ketika Balin datang ke rumah seorang diri, tidak bersama ibunya. Dia tersenyum lega karena berhasil hidup kembali. Sedangkan Jayasri, dia telah tiada. Nyawanya direnggut oleh sebuah pengorbanan.

"Mamah! Jangan tinggalin Kanaya sendiri...." Kanaya meneriaki Jayasri yang telah pucat pasi di atas bed pasien. Tidak ada respons, usapan lembut pada pucuk kepalanya, dan tidak ada lagi satu senyuman terukir hanya untuk Kanaya.

"Mamah!"

Kanaya histeris. Kurniawan pun berusaha untuk menenangkan anak perempuannya, tetapi gagal. Kanaya mengelak, dia melawan, lalu menepis kasar kedua tangan ayahnya yang berusaha menahan dirinya agar tidak terlarut dalam emosi.

"Mamah! Bangun, Mah!" teriak Kanaya. Sementara di ruangan sebelah yang hanya dibatasi oleh gorden hijau muda sebagai pemisah ruangan pasien dengan yang lain, Balin hanya diam di atas bed sambil mendengar Kanaya berteriak. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, selain diam.

Infus yang tergantung pada tiangnya menjadi pusat perhatiannya. Cairan yang menetes, lalu mengalir melalui selang itu seakan menjadi teman Balin dalam menghadapi gejolak pikirannya sendiri.

Apakah semua yang terjadi ini adalah sepenuhnya kesalahan yang diperbuat dirinya?

Mengapa rasanya tidak ada secuil keadilan yang terpatri untuk Balin?

Setelah ditelantarkan oleh orang tuanya yang entah siapa di panti asuhan, kini Balin harus menghadapi masalah berikutnya. Apakah semua itu adil? Sampai kapan Balin harus menahan semua itu, Tuhan?

"Mah, kenapa harus Mamah yang pergi? Kenapa nggak Balin aja? Seharusnya hati Mamah nggak usah buat aku. Lebih baik, aku yang mati, Mah," gumam Balin. Kedua tangannya mencengkram selimut kuat-kuat. Dia menahan segala rasa yang ada di dalam hatinya. Dia menekan dada sebelah kanan, kemudian menekannya sambil menunduk. Tidak terasa air matanya meluruh hingga membasahi kedua pipi.

Sejak saat itu, Kanaya sangat membenci Balin. Dia berharap hatinya tidak mengeras seperti batu, karang, dan sejenisnya karena membiarkan perasaan emosi tumbuh menjadi dendam.

"Apa kabar, Mah? Apa semua baik di sana, Mah? Kanaya kangen. Kanaya pengen ikut ke surga."

BECAUSE OF PANCAKE [SELESAI]Where stories live. Discover now