reuni

15 1 0
                                    

Satu hari sebelum keberangkatan ke Jakarta, Kanaya berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan urusan perkuliahan. Salah satunya adalah praktikum. Awalnya, Kanaya tidak yakin akan pulang ke ibukota, mengingat selesainya praktikum pasti ada pra laporan yang harus dikerjakannya.

Namun, ketika kuasa Tuhan berkehendak, jadwal praktikum yang ditunggu Kanaya mendadak diundur sampai batas waktu tidak ditentukan. Harus diakui, kala itu Kanaya bersyukur sekaligus lega. Karena tidak harus memikirkan betapa pusingnya membuat laporan setelah praktikum. Belum lagi dibatasi dengan deadline yang mengancam jam tidur alias harus banget begadang semalaman penuh.

"Masih sama," gumam Kanaya ketika dirinya berhasil memijakan kedua kaki tepat di depan kamar dengan pintu berlapis cat putih mengkilau. Itu adalah kamarnya. Kamar yang dipenuhi oleh sejuta kenangan indah semasa kecil. Ketika Jayasri masih ada dan selalu menghibur Kanaya dengan membelikan berbagai macam boneka untuk memenuhi isi lemari kamarnya.

Aroma lemon grass menguar ke seluruh penjuru. Kanaya terharu karena kamarnya tidak dibiarkan terbengkalai begitu saja. Ada satu diffuser berbentuk burung hantu yang diletakan di atas meja kecil dekat jendela kamar.

Puas berkeliling sebentar, Kanaya merebahkan diri di atas tempat tidur berlapis bed cover biru muda bermotif bunga matahari. Dipandanginya langit-langit kamar yang bersih tanpa ada sarang laba-laba. Kanaya merasakan kenyamanan yang cukup lama dia tinggalkan semenjak nekat merantau, meskipun kamar indekosnya juga terbilang aman dan nyaman.

"Mandi dulu, Nay...." Terdengar suara Kurniawan menginterupsi lamunan Kanaya. Gadis itu sontak bangun dari posisi rebahan, langsung tertuju pada ayahnya yang kini berdiri di ambang pintu sambil tersenyum.

"Itu Bi Ina udah siapin air anget buat kamu mandi. Habis perlajanan jauh ada baiknya langsung bersih-bersih," ujar Kurniawan lemah lembut. Kanaya ingin menolak karena malas beranjak dari posisinya sekarang, tetapi dia tersentuh oleh perintah ayahnya barusan. Sama sekali tidak ada paksaan, bahkan inilah yang dirindukan Kanaya tentang rumahnya.

Kanaya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya, Pah. Lagi kangen-kangenan dulu sama kamarku. Habis ini mandi, kok, tenang aja," jawabnya sambil tersenyum samar.

Kurniawan pun mengambil posisi duduk di sebelah Kanaya, lalu tangan kirinya merangkul anak perempuannya itu. Keduanya terdiam selama beberapa menit, hingga salah satunya berbicara.

"Papah tuh seneng lho, akhirnya kamu pulang. Ya, meskipun nantinya bakal balik lagi ke Purwokerto."

Mendengar itu, Kanaya spontan melirik ke arah kanan. Dia bisa melihat lebih dekat sisi wajah samping Kurniawan yang tegas dengan rahang kuat, disertai kumis tipis di bawah hidung bangirnya yang perlahan mulai tumbuh.

"Kanaya di sana aman, Pah. Insyaallah, nggak ada orang jahat, kok. Udah dari awal emang aku kepengen merantau juga, Pah," jawab Kanaya setenang mungkin. Dia enggan tersulut emosi seperti yang sudah-sudah.

Kurniawan menghela napas panjang, lalu dia pun mengangguk sembari berdiri, tidak lupa meninggalkan satu usapan di pucuk kepala Kanaya. "Oke, deh, yang penting jangan lupa mandi ya, Nay. Papah mau ada urusan sebentar di kantor. Nggak lama, kok. Malam ini kita makan di luar, ya. Di restoran favorit kamu."

Kanaya mengangguk sambil tersenyum.

"Oke, Pah!" Dia pun mengangkat jempol kanan sebagai persetujuan. Sedetik kemudian, satu pertanyaan mendadak muncul dalam benak Kanaya.

Ke mana si Balin kakak angkatnya yang sangat dibenci Kanaya?

***

"Apa kabar, Bro? Udah lama banget nggak ketemu. Makin ganteng aja lo." Dua orang laki-laki muda itu berpelukan. Mereka saling melepas rindu. Nyatanya, hampir dua tahun tidak berjumpa karena kesibukan masing-masing.

Raditya terkekeh. Dia cukup bahagia akhirnya bisa ketemu kembali dengan teman lama. Turun di Stasiun Gambir, Raditya dan Dewi langsung dijemput oleh supir suruhan Mahendra. Mereka diantar ke hotel sebagai penginapan selama beberapa hari di Jakarta. Tepatnya di sekitaran Jakarta Selatan. Kabarnya, acara Mahendra digelar di sebuah hotel bintang lima yang tidak jauh dari area SCBD. Sesampainya di hotel, Raditya langsung memberi kabar teman dekat semasa SMA--nya. Ada Gilang, Adinata, dan Yudhis. Ke empatnya dekat karena pernah bergabung dalam tim basket sekolah sebagai pemain utama.

"Ah, bisa aja lo, Yud. Lo sendiri apa kabar? Aman, kan, di Jakarta? By the way, ajib banget lo udah main tindikan aja di telinga. Emang nggak ketahuan sama dosen, hah?"

Yudhis hanya tertawa mendengar Raditya berujar panjang lebar. Ngomong-ngomong mereka sedang mengadakan reuni dadakan. Bersama kedua teman lainnya, Raditya dan Yudhis bertemu di sekitar bilangan Jakarta Selatan, tepatnya di Lewis & Caroll. Sebuah kafe dengan desain mininalis yang sangat cocok sebagai tempat nongkrong, meeting, atau pun renui kecil-kecilan.

Adinata, cowok berkacamata yang sejak tadi berkutat dengan laptopnya kini menegakan tubuhnya tatkala mendengar Yudhis bertindik.

"Gile. Emang si Yudhis ini preman banget, kan, dari SMA juga. Kayaknya malah jagoan kampus, nih. Gue yakin cewek lo pasti nggak cuma satu, tapi lima," celetik Adinata selagi geleng-geleng kepala sambil terkekeh sendiri.

Yudhis berdecak kesal. Mana mungkin dia bisa punya cewek lima. Cukup satu saja. Itu pun kalau Kanaya masih mau menerimanya sebagai seorang kekasih ketika masalah yang ada di belakang begitu pelik.

"Radit aja kali, tuh. Pasti di Purwokerto udah nemu gebetan banyak. Lo tau sendiri, kan, dia siapa? Buaya darat kelas kakap. Eh, salah kelas piranha, ha-ha." Yudhis menjawab sambil menyeruput es kopi less sugarnya.

Raditya menggelengkan kepala. Teman semasa SMA nya belum ada yang berubah. Selalu saja meracau tidak sesuai fakta. Namun, inilah komen yang dirindu Raditya ketika pulang ke Jakarta untuk sekian lamanya telah menetap di kota lain.

"Sialan lo, Yud. Bukannya lo juga, ya?" cibir Raditya. Dia menggulung spageti alfredonya hingga menutupi hampir seluruh bagian garpu, barulah dimasukan ke dalam mulutnya.

"Enggak. Gue cuma setia sama satu orang, kok. Doakan aja, semoga kita bisa sampai pelaminan," jawab Yudhis percaya diri, guna menutupi gundah gulana yang sedang menyergap dirinya sekarang.

Gilang yang dari tadi sibuk bermain Mobile Legends mendadak menoleh ke arah Yudhis. Pandangannya dipenuhi selidik.

"Ciye! Siapa, tuh, Yud? Kok lo nggak kasih tahu ke kita-kita, sih? Jahat amat." Akhirnya bersuara juga, Gilang pun langsung menodong Yudhis dengan segala tanya.

Raditya dan Adinata ikut penasaran. Mereka sampai mencondongkan tubuhnya seraya mendekati Yudhis yang tampak sedikit kaget.

"Ada deh. Kapan-kapan gue kenalin, deh. Gue mau izin sama dia dulu. Boleh apa enggak gue kenalin seorang putri yang cantik nan jelita ke kalian si para budak kampus ini?"

Sontak, beberapa toyoran mendarat apik di kepala Yudhis. Cowok itu mengaduh kesakitan. Rupanya, ketiga temannya tidak terima dengan jawabannya barusan.

"Enak aja! Lo belum tahu, ya? Gue ini calon presiden tahu!" tukas Gilang bernada tinggi. Membuat beberapa pengunung kafe beralih ke arahnya dengan tatapan keheranan.

"Terserah kalian, dah!"

Dan, keempatnya tertawa bersama di bawah malam tanpa purnama, sebab polusi telah menutupi hampir seluruh langit ibukota.

***

BECAUSE OF PANCAKE [SELESAI]Where stories live. Discover now