salah tingkah

33 6 36
                                    

"Radit, jangan lupa bawa kantong belanjanya, ya. Ada di lemari bawah TV." Suara Dewi--Ibu Raditya--menginterupsi lamunan anak laki-lakinya yang sedang menunggunya di ruang tamu sambil menonton FTV harian.

Raditya menghela napas panjang. Setengah mengantuk, dia beranjak dari atas sofa menuju lemari TV untuk mengambil kantong belanjaan. Hampir setengah jam, cowok itu menunggu, tetapi Dewi tidak kunjung keluar dari kamar. Ya, lagi-lagi namanya perempuan. Pasti, ada acara dandan lebih dulu, baru pergi.

"Ibu lama banget, sih," gumam Raditya. Dia tidak kembali duduk di atas sofa, melainkan melihat keadaan di luar. Tampaknya cuaca berubah mendung. Sedikit tercium aroma petrikor yang menyerbak ke seluruh penjuru.

Selang beberapa menit, Dewi keluar dari kamar. Bunyi sepatu wedges nya mengecoh suasana sepi selain suara televisi. Refleks, Raditya menoleh ke belakang. Dia mendapati Dewi telah memakai gamis pink dengan kerudung merah maroon.

"Ayok, Radit. Kita belanja bahan baku!" ujarnya bersemangat. Sedangkan anak laki-lakinya hanya mengembuskan napas panjang, kemudian menghirupnya lagi. Keduanya pun berjalan bersama menuju mobil Fortuner yang telah terparkir di depan gerbang.

Sepanjang perjalanan, Raditya hanya diam sambil mendengarkan Dewi bercerita soal bahan baku apa saja yang akan dia beli. Serta, keinginan kuatnya untuk membeli cream cheese yang nantinya dibuat menjadi cheese cake. Dia juga membandingkan harga dan kualitas antara toko satu dengan lainnya.

Cowok berkemaja flanel motif kotak-kotak hitam itu membuka sedikit kaca jendela mobil untuk menghirup udara segar di luar. Pikirannya sedang berisik. Bukan karena beban hidup atau masalah yang ada, tetapi karena sesuatu.

Dewi berdeham. "Radit, kasih Ibu referensi, dong. Kayaknya toko kita butuh kue atau roti dengan resep baru, deh. Supaya pembeli kita makin rame," ucapnya. Pandangan wanita setengah baya itu tetap lurus ke depan selagi menunggu lampu lalu lintas di perempatan Hotel Aston berubah menjadi hijau.

"Hm, apa, ya, Bu? Emangnya di toko kita, kurang banyak ya variasinya?" Raditya balik bertanya.

"Enggak gitu. Ibu cuma ngerasa harus ada variasi lagi. Biar para pembeli nggak ngerasa bosen," balas Dewi sambil melajukan mobilnya ketika warna merah pada lalu lintas berubah menjadi hijau.

Tidak butuh waktu lama, mobil fortuner itu menepi ke arah kiri jalan. Ke Toko Intisari, tempat Dewi akan membeli bahan baku dan keperluan lain untuk usaha pastrynya.

Raditya keluar dari mobil, langsung masuk toko. Begitu di dalam, kedua matanya spontan menyipit tatkala melihat sosok yang belum lama ini dia temui. Kanaya.

Kanaya? Ngapain?

Tanpa menunggu Dewi, cowok berkemeja flanel itu berjalan saja ke arah cewek berambut pendek yang sedang kebingungan memilih susu di lemari pendingin.

"Serius amat, Mbak." Raditya berdiri persis di sebelah Kanaya. Dia tersenyum lebar.

Jujur, Raditya sendiri tidak tahu kenapa begitu gembira sekarang. Hanya karena menyapa Kanaya. Padahal perkenalan yang tejadi di antara keduanya terbilang singkat. Atau, ada perasaan lain yang tidak sengaja menghinggapi hatinya. Dia tidak tahu.

Namun, bukannya merespons sama seperti apa yang dilakukan Raditya, yaitu menyapa sekaligus melebarkan senyuman. Cewek itu lebih memilih pergi meninggalkan Raditya, berpindah ke area pertepungan.

Hm, mukanya, kok, bete banget, ya?

Menyerah bukan pilihan Raditya. Setelah menghela napas panjang sembari menaikan kedua alis. Tidak lupa senyuman tersungging tipis di bibir, Raditya mengikuti Kanaya pindah tempat. Kata hatinya yang membawa untuk melangkah. Raditya pun tidak mengelak. Dia terus melaju mengikuti perasaannya.

Apakah ini namanya cinta jatuh pada pandangan pertama? Entahlah, Raditya tidak akan mengira, lagipula perkenalan mereka terlalu singkat.

***

Kanaya mendongak, mendapati mega-mega mendung telah menghiasi sebagian kanvas biru di atas sana. Dia yakin, setelah ini hujan akan turun membasahi bumi. Sebelum itu terjadi, Kanaya cepat mengambil ponselnya yang ada di saku celana jeans nya. Dia langsung mencari aplikasi Go Jek.

"Kirain naik kendaraan sendiri." Lagi dan lagi. Untuk kesekian kalinya, Raditya mengalihkan atensi Kanaya.

Sambil membenahi kantong belanjaan, Kanaya hanya berdeham pelan, tidak mau larut dalam obrolan tidak jelas seperti tadi di dalam toko. Dia ingin segera pulang sebelum basah kuyup karena hujan deras.

Merasa diabaikan untuk kedua kali, Raditya menoleh ke kanan. "Maaf, ya. Kalau aku suka bikin jantungan. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Kaya jelangkung," ucapnya.

Kanaya menghentikan aktivitasnya. Jemarinya berhenti mengetik alamat indekosnya pada menu alamat tujuan. Iris matanya melirik sedikit ke arah Raditya. Kini, cowok itu sedang menatap lurus ke depan, tidak berbicara apa-apa lagi.

Bukan maksud Kanaya ingin mengabaikannya atau tidak menggubris segala hal yang dia lontarkan dari mulutnya. Kanaya hanya heran dan merasa aneh. Baru kenal sehari, langsung sok akrab. Bagaimana perasaan sebalnya tidak bangkit?

"Kamu nggak salah, kok. Jadi, nggak perlu minta maaf. Lagian ini bukan lebaran. Jadi santai aja," jawab Kanaya fokus menatap layar ponselnya lagi. Sesekali dia berdecak sebal. Alamat indekosnya belum terdeteksi di lokasi pencarian. Sudah tujuh menit mencoba, tetap saja hasilnya nihil.

Mendengar jawaban itu, Raditya menaikan salah satu sudut bibirnya. Dia sadar, kalau kehadirannya yang tiba-tiba ini membuat siapa pun takut. Termasuk Kanaya. Ya, meskipun wajah Raditya tidak buruk-buruk amat. Sedikit tampan dan membuat beberapa cewek di jurusannya sempat mengajaknya untuk berpacaran, tetapi semua ditolak oleh Raditya dengan alasan fokus kuliah demi masa depan.

"Aku boleh nanya, nggak?" tanya Raditya setelah beberapa menit diam.

Kanaya mengangguk. Arah matanya masih fokus ke layar berukuran 6,4 inch. "Boleh, kok. Mau nanya apa? Asal jangan yang aneh bin ajaib, ya. Aku nggak mau jawab."

"Kira-kira kamu tau nggak resep kue atau roti yang unik dan bisa dijual ke banyak orang? Juga bikin orang terpukau untuk pertama kali, terus jatuh cinta, deh."

Tiba-tiba, terdengar nada dering ponsel Kanaya meraung. Satu panggilan masuk dari Danti refleks membuyarkan konsentrasi Kanaya. Tiba-tiba, teman dekat satu jurusannya menelpon.

"Halo, Dan. Ada apa?"

"Kay, gue mau ngabarin jam 11 nanti ada kuliah dadakan dari Pak Sapto. Wajib berangkat semua. Jangan sampe ada yang absen."

"Hah!" pekik Kanaya. Mendadak debaran di jantungnya tidak bisa terkondisikan dengan baik. Buru-buru dia menutup sambungan telepon itu secara paksa, lalu berlari ke halte trans Jateng terdekat. Terpaksa, dia menaiki bus kota itu menuju indekos, meskipun nantinya hanya bisa turun di depan gang, tetapi tidak mengapa. Daripada Kanaya telat, kemudian mendapat hukuman untuk mengerjakan tugas segunung. Ini sudah jam sepuluh lewat lima menit, Kanaya harus bergegas.

Belum merespons pertanyaan Raditya, gadis berambut pendek dengan barang belanjaan di kantong plastik bening itu berlari tanpa pamitan. Tergesa, dia menaiki bus trans jateng yang baru saja berhenti.

"Siapa, Rad? Kok, cantik banget." Suara Dewi membuat Raditya agak gelagapan.

"Bukan siapa-siapa. Cuma temen kampus, kok," jawab Raditya setenang mungkin. Melihat dua kantong belanjaan yang dibawa Ibunya, segera dia ambil alih.

"Ayo pulang, Bu. Udah mau ujan, nih." Raditya berjalan cepat menuju mobil. Sedangkan Dewi masih menggelengkan kepala. Merasa gemas, melihat anaknya salah tingkah.

"Duh, duh. Anak muda emang gitu, ya," gumamnya.

BECAUSE OF PANCAKE [SELESAI]Where stories live. Discover now