layaknya kakak laki-laki

36 5 13
                                    

Mobil pick up itu menepi ke pinggiran jalan dekat Lapangan Karangwangkal. Kanaya langsung turun dari mobil disusul dengan Guruh, teman kuliahnya yang berbaik hati membantu untuk membawakan serta memasang stand jualan pancake-nya.

Akhirnya, setelah beberapa hari absen, Kanaya bisa berjualan lagi. Entah, sampai kapan hatinya gundah gulana. Niatnya merantau hanya ingin hidup mandiri bukan mempersulit diri sendiri.

"Nay, kamu yakin mau jualan sekarang? Langitnya mendung, lho. Terus tempat kamu ini nggak ada atapnya. Kamu bawa payung, nggak?" tanya Guruh memastikan. Cowok itu agak khawatir apabila tiba-tiba hujan turun dengan deras. Guruh sangat khawatir jika kanaya tidak sempat menyelamatkan diri atau berteduh, kemudian berakhir dengan tubuhnya meriang karena kehujanan.

Kanaya berdeham sambil mengecek perlengkapan pada kontainer kecil bertutup oranye. "Yakin, Ruh. Hampir seminggu aku, tuh, nggak jualan. Lagian, aku udah beli perlengkapannya. Kan, sayang kalau nggak dipake. Mubazir tau," jawabnya tidak peduli oleh keadaan alam yang terbilang sendu. Terlihat awan kelabu bergumul di beberapa sisi langit. Belum lagi, sayup-sayup gelegar guntur terdengar dari kejauhan.

"Terus, kalau misalnya hujan, kamu mau neduh di mana, Nay? Saran aku, sih, kamu mending pulang kos dulu, terus bawa payung atau apa kek sana." Guruh memerintah Kanaya layaknya seorang kakak laki-laki yang khawatir terhadap adiknya sendiri karena takut kehujanan. Kanaya bisa merasakan itu sejak awal mengenalnya. Tidak ada suatu getaran aneh yang merayap ke hati, Guruh hanya ibarat kakak dan Kanaya adalah seorang adik yang susah untuk diberitahu alias ngeyel.

Kanaya bangkit dari posisi jongkoknya. "Terus yang jagain stand aku siapa kalau aku ke--"

"Udah sana. Biar aku yang jagain di sini. Kosmu deket, 'kan? Cepet, gih. Keburu bapakku cariin, soalnya mau kulak barang," sela Guruh sambil membenahi banner 'Naya Pancake'.

Kanaya menurut saja daripada perdebatan makin panjang. Antara kesal dan senang dirinya berjalan cepat menuju arah indekosnya.

Huh, untung dia Guruh bukan orang lain yang nyebelin. Bisa kugeprek sekali jadi kali!

***

"Kampret. Gue kalah telak!" umpat Raditya sambil menepuk jidatnya sendiri. Setelah lima belas menit berjuang di medan perang, dia kalah melawan musuh. Lebih tepatnya melawan Bima dalam permainan Mobile Legends.

Bima spontan terbahak mendengar Raditya mengumpat karena tidak terima oleh kekalahannya. "Rasain lo. Makanya nggak usah sombong dulu. Udah tau lemah, harusnya sadar diri," cibirnya. Sedangkan Kavian hanya menggelengkan kepala mendengar keributan dari dua sahabatnya selagi membaca Komik Naruto miliknya yang sengaja dibawa.

"Dah, ah! Gue mau cari angin," ujar Raditya. Cowok itu langsung meletakan ponsel ke saku jaketnya, lalu beranjak dari posisi duduknya.

"Lu mau ke mana? Jangan bilang cari cewek. Kemaren udah dapet belom?" sindir Bima tanpa mengalihkan atensinya dari layar ponselnya. Dirinya masih fokus melakukan serangan terhadap musuh.

Rasa ingin menonjok teman dekatnya ada, tetapi Raditya urungkan. Berujung decakan pelan yang terdengar dari mulutnya. "Sial. Kalau pun dapet, gue nggak akan ngomong-ngomong ke lu!" cecarnya.

"Jadi, kowe mau ke mana, Dit? Aku mau nitip jajan soale. Wetengku mendadak kencot," sahut Kavian sambil mengusap perutnya.

(Jadi, lu mau ke mana, Dit? Aku mau nitip jajan soalnya. Perutku mendadak lapar.)

"Mau cari angin sekaligus jajan." Selagi Raditya bersiap memakai jaket hitam kulitnya, seketika dia teringat sesuatu. Pancake Kanaya. Kira-kira cewek itu jualan nggak, ya? Soalnya, sudah lama Raditya nggak melihat stand nya di daerah Lapangan Karangwangkal.

"Eh, mau pada ikut, nggak?"

Kavian dan Bima menoleh bersamaan dengan tampang ingin tahu.

"Ke mana?" tanya Bima.

"Beli pancake." 

***

Setengah jam yang lalu stand pancake milik Kanaya jadi. Cewek itu pun telah mengambil jas hujan kelelawar di kosnya.

"Nanti kalau kamu udah selesai jualan, jangan lupa kabarin, biar aku jemput," ujar Guruh, setelahnya dia pergi membantu bapaknya kulakan barang di kota Cilacap. Kanaya mengiyakan sambil melambaikan tangan tanda perpisahan.

Baru ada satu pesanan setelah cukup lama absen jualan. Kanaya berusaha menepis kegalauan dengan meramu adonan pancake. Dalam hatinya dia benar-benar kesal dan ingin mengamuk. Ini semua karena Yudhis selingkuh diam-diam. Apa maksud cowok itu mendiamkan Kanaya dan malah membalas komentar dari cewek lain.

"Mbak? Saya mau pesen." Satu pelanggan datang lagi. Kanaya langsung menyodorkan lembaran kertas menu. Bersamaan dengan itu, ponselnya bergetar. Dengan cepat, Kanaya langsung mengambilnya di saku celana. Refleks, kedua matanya membulat sempurna. Dia bergeming ketika tahu siapa yang menelponnya sore ini.

"Halo, Nay. Apa kabar? Maaf, kalau kamu udah nunggu lama buat tau kabarku gimana. Aku sayang kamu." Terdengar suara lembut milik seseorang. Suara itu yang sangat dirindukan Kanaya.

Yu-yudhis?

***

"Di mana, sih, tempat jualan pancake nya, Dit? Kok, kita nggak naik motor aja, malah jalan kaki," tanya Bima.

Raditya berdecak pelan. "Manja amat, sih, lu. Deket, kok. Di daerah Lapangan Karangwangkal. Nggak sejauh jodohmu itu," jawabnya yang langsung mendapat toyoran.

"Sialan kamu, Dit!" cibir Bima.

Ketiganya berjalan sambil mengobrol disertai adu mulut. Di satu sisi, Raditya tidak tahu apakah Kanaya benar-benar jualan atau tidak. Hanya menggunakan perkiraan, Raditya yakin Kanaya jualan sore ini. Tidak sampai lima belas menit, dari kejauhan kedua mata Raditya bisa melihat Kanaya sedang tersenyum semringah selagi melayani pesanan. Sudah ada tiga orang mengantre.

Tumben.

Raditya belum pernah melihat Kanaya sebahagia itu dan dia jadi penasaran apa alasan cewek itu tampak semringah, tidak seperti biasanya dipenuhi oleh wajahnya yang kerap kali tertekuk karena badmood. Apakah mungkin Kanaya memiliki seseorang yang dapat membuatnya senang karena diperhatikan, diberikan cinta, dan seluruhnya?

"Hoi!" Satu tepukan di belakang punggung menyadarkan Raditya dari lamunan. Raditya tesentak hingga merapal kalimat istighfar berulang kali. Dia tidak membalas perbuatan Kavian yang baru saja membuatnya kaget. Arah pandangannya masih tertuju pada seorang cewek di depan sana, sebentar lagi dia akan bertemu, kemudian berbincang, meskipun sekadar tentang pesanan pancake.

"Ngelamun mulu, Dit! Mikir apa, sih?" ujar Bima.

Raditya tergagap. Dia menarik napas panjang, lalu menghirup oksigen banyak-banyak. Langkahnya terhenti tepat di dekat stand pancake Kanaya. Satu senyuman di bibir diperlihatkan.

"Mbak Kanaya, saya mau pesen pancake tiga." Raditya mengambil lembaran menu dan memberikan pada dua temannya di sebelahnya berdiri.

"Boleh. Nanti tulis di kertas kecil seperti biasa, ya," jawab Kanaya datar. Tidak seperti apa yang Raditya lihat dari kejauhan. Kanaya yang dipenuhi oleh senyuman mendadak lenyap. Ada apa?

"Kamu kenapa, sih? Tadi aku lihat senyum terus. Giliran ada aku, kok, jadi suram gitu?" Entah kenapa, pertanyaan-pertanyaan itu muncul begitu saja, keluar dari mulut Raditya.

Sial. Gue kenapa, sih?

Dan saat itu hati Raditya mendadak bergemuruh seperti Gunung Merapi yang siap memuntahkan lahar panas.

BECAUSE OF PANCAKE [SELESAI]Where stories live. Discover now