status galau

23 3 1
                                    

Hampir setengah jam Kanaya merebahkan diri di atas tempat tidur sambil bengong. Langit-langit kamarnya mendadak jadi spot favorit untuk meluapkan perasaan bergemuruh. Seharusnya, sore ini Kanaya jualan pancake seperti biasa, tetapi mendadak tubuhnya terasa lelah. Mungkin, penyebabnya adalah chat dari Balin dan segala hal soal Ibunya yang melintas sesaat, membuat pertahanan hatinya runtuh.

"Tapi, .... " gumam Kanaya, langsung mengambil ponselnya yang sengaja diletakkan di sebelah tempatnya rebahan. Dia membuka lagi isi chat Balin, membacanya dengan saksama tanpa emosi yang melanda seperti di kampus tadi.

Tidak butuh waktu lama, Kanaya beralih pada sosial media instagramnya. Dia berniat membuat instastory sesuai dengan keadaan yang dialaminya.

Ternyata, apa yang kita rasakan, belum tentu benar adanya. Sekarang, aku merasa jahat kepada seseorang, tetapi masalah utamanya adalah masa lalu. Aku belum benar-benar berdamai dengan semua itu.❤️‍🩹 

Kanaya menghela napas usai mengetik kalimat setengah curhat itu, lalu membagikan kepada followers--nya. Dia tidak berniat apa pun selain menggalau ria. Namun, beberapa detik lewat, ada satu komentar masuk melalui DM.

@Radit.1001
Bagus banget, aku suka, sih, sama kata-kata ini.

Membaca komentar Raditya, Kanaya otomatis mengernyit. Dirinya heran dengan tingkah laku cowok itu. Bisa-bisanya dengan pedenya sok dekat sok akrab. Padahal, DM-nya tempo hari belum kunjung dibalas oleh Kanaya.

@KanayL
Lebay.

@Radit.1001
Gakpapa Lebay, asal dibales sama kamu.

Tuh, kan, modus banget. Kanaya berdecak kesal, tetapi tetap melanjutkan membalas DM dari cowok super modus yang akhir-akhir ini menganggu atensinya.

@KanayL
Bisa nggak, sih, nggak usah modus. Ntar ceweknya marah baru tau rasa.

Sebenarnya, Kanaya pun tidak tahu apakah Raditya punya pacar atau malah menjomlo. Cewek itu tentu tidak peduli, yang jelas dia ingin mempertegas saja, takutnya tiba-tiba dilabrak, kan, berabe sendiri jadinya.

@Radit.1001
Tenang, aku jomlo, kok, dan lagi memperjuangkan hati seseorang.

@KanayL
Emang aku peduli?

@Radit.1001
Harus, karena kamu adalah tokoh utama dalam ceritaku nanti.

Deg!

Mendadak ada aliran panas merambat melalui jalur pembuluh darah, Kanaya merasa kedua pipinya menghangat bak kepiting rebus yang baru saja keluar dari panci kukus.

Kanaya tidak menjawab DM terakhir Radit. Dia melempar ponselnya ke sembarang arah, lalu bangkit dan tergesa menuju kamar mandi  yang ada di kamarnya. Karena, tiba-tiba perutnya melilit.

"Gila, tuh, cowok!"

***

Ketika Ibunya sedang riweuh menyiapkan pesanan kue lewat aplikasi online, Raditya malah cekikikan sendiri sambil menatap layar ponselnya. Selepas pulang kuliah, dirinya membantu Dewi mengurus toko karena Mbak Siska--salah satu pegawai Ibunya--izin tidak masuk lantaran anaknya sakit dan harus rawat inap di rumah sakit.

Dewi melirik sekilas anak laki-lakinya yang sibuk dengan ponsel di dekat meja kasir. Sejak tadi, dia bisa mendengar suara tawa Raditya karena sesuatu, entah apa, yang jelas membuat Dewi jadi penasaran. Tanpa sepengetahuan anaknya, wanita itu mengendap-endap untuk mengintip apa yang membuat cowok berkemeja kotak-kotak hijau tosca itu kelihatan bahagia.

"Chatingan sama siapa, tuh?" ucap Dewi ketika berhasil mendapat secuplik apa yang membuatnya penasaran.

Sontak, Raditya terperanjat kaget. Dirinya beristighfar saat Dewi telah berdiri di belakangnya. Secepat kilat, Raditya menyimpan ponselnya di saku celana.

"Astaghfirulloh! Ibu ngagetin banget," cibir Raditya selagi memegangi dadanya sebelah kiri. Kini, detak jantungnya menjadi-jadi. Takut, kalau Dewi memergokinya sedang iseng DM Kanaya.

Dewi terkekeh. "Ya, lagian bukannya mbantuin jaga toko, malah ketawa sendiri. Kan, Ibu jadi takut kadar gilamu meningkat," sindirnya.

"Enak aja Ibu, mah. Aku masih waras, ya. Ya kadang gila dikit, sih, tapi masih wajar, kok. Jadi Ibu tenang aja," jawab Raditya seraya beralih pada etalase kaca untuk menata beberapa kue tart agar berganti posisi. Supaya enak dilihat dan tidak monoton. Raditya sering melakukan itu kalau sempat mampir ke toko.

Dewi berdecak pelan. "Alasan, bilang aja nggak waras gara-gara cinta. Kalau itu Ibu masih bisa nerima."

Ucapan Ibunya membuat Raditya geleng-geleng kepala. Sepertinya Dewi ingin cepat punya mantu, tetapi Raditya enggan terlalu cepat menikahi anak orang. Dia masih berusaha menyelesaikan kuliah, terus bekerja. Minimal ada penghasilan tetap.

"Eh, Radit ... Ibu mau ngomong sesuatu sekaligus minya izin sama kamu." Tiba-tiba, suasana menjadi canggung. Nada bicara Dewi berubah seketika, membuat Raditya menoleh dengan alisnya saling bertaut satu sama lain.

"Kenapa, Bu? Biasanya juga nggak izin, asal ngomong aja," jawab Raditya penuh selidik.

Dewi menghela napas panjang. "Hm, nggak gitu. Takut kalau nggak izin, kamu kaget."

"Jadi, dua hari yang lalu, Ayahmu telpon Ibu. Katanya, mau ajak Ibu sama kamu buat ikutan acara di Jakarta. Katanya, sih, acara perusahaan," jelas Dewi hati-hati.

Raditya mengernyit sambil menyugar rambutnya ke belakang. Tidak menyangka Mahendra--Ayahnya akan menghubungi Dewi lagi setelah berbulan-bulan lamanya. Lebih tepatnya, sejak perceraian mereka terjadi begitu saja. Bisa dibilang, Raditya tidak ingin Ayahnya masuk lagi ke kehidupan keluarganya dengan alasan apa pun itu.

"Tsk. Dia udah bukan Ayahku lagi, Bu. Sekarang, orang tuaku cuma Ibu, nggak ada yang lain," jawab Raditya sedikit ketus.

"Udah Ibu duga, sih, jawabanmu pasti gitu, tapi Ayahmu tetep maksa kita buat ikut ke acara dia.... "

Raditya melipat kedua tangannya ke perut. "Terus, Ibu mau gitu? Lagian, kenapa harus kita? Emangnya Ayah nggak nikah lagi?"

Dewi mendengkus. "Belum nikah lagi, Dit. Mungkin karena itu, dia ngajak kita."

"Ya, terus? Itu bukan urusan kita, Bu. Salah siapa, dulu ninggalin kita seenak jidat."

Raditya hanya tahu, Mahendra pergi begitu saja meninggalkan keluarga. Alasan memilih berpisah dengan Dewi pun cowok itu tidak mengerti sama sekali. Ibunya memilih merahasiakannya, yang jelas karena itu Raditya sedikit kesal, bahkan benci.

"Sebenernya, Ayahmu milih cerai bukan karena selingkuh atau apa, tapi dia ngerasa belum menjadi kepala keluarga yang baik. Sering nggak ada di rumah karena urusan pekerjaan. Paham, kan, maksud Ibu?" Dewi menjelaskan sambil menata kue bolu yang baru saja matang ke atas nampan besar. Rencananya, nanti dia akan memasukannya ke dalam kotak cokelat dan langsung dikirimkan menggunakan Go Send ke rumah pelanggan.

"Alasan yang nggak masuk akal banget, deh, Bu. Buat apa nikahin Ibu coba kalau ujungnya nyerah di tengah jalan. Belum lagi, dia ngajak kita ikut ke acaranya. Ngadi-ngadi banget." Raditya berdecak kesal, lalu berjalan ke arah pintu keluar toko. Dia tidak ingin melanjutkan obrolan tentang Ayahnya lagi dan lebih memilih untuk mencari udara segar di luar, atau pulang saja ke rumah. Sebab, waktu magrib akan segera tiba.

"Kamu mau ke mana, Dit? Udah mau magrib, lho!" seru Dewi, menyadari anak laki-lakinya pergi begitu saja tanpa menunggu responsnya.

"Cari angin, Bu!"

***

BECAUSE OF PANCAKE [SELESAI]Where stories live. Discover now