insiden patah hati

15 1 0
                                    

Alunan musik bosanova jazz terputar begitu syahdu di ball room hotel bintang lima terbaik Jakarta Pusat. Tempatnya acara family gathering perusahaan good food Indonesia dilaksanakan. Beberapa meja bundar terlihat di setiap sisinya. Kebanyakan jejeran kursi yang tertata rapi dibalut dengan kain warna gold, tidak lupa dihiasi pita di belakangnya.

Sambil menunggu para tamu undangan berkumpul, Kurniawan menyalami beberapa petinggi serta pejabat di setiap cabang good food Indonesia. Tidak ada aura menegangkan bak acara resmi konglomerat kelas atas. Tetap pada suasana santai nan syahdu sambil menikmati hidangan snack ringan yang telah disediakan secara prasmanan ataupun diantar oleh pramusaji keliling.

Balin mengikuti Kanaya yang berjalan lebih dulu di depannya. Gadis itu tampak kebingungan mencari sandaran hati. Lebih tepatnya kursi untuk sekadar duduk menikmati sepi. Sesekali, Kanaya sempoyongan karena tiba-tiba kepalanya pusing tujuh keliling. Hingar bingar banyak orang di ball room menjadikannya kurang konsentrasi, apalagi habis ada masalah dengan kekasih yang sekarang resmi menjasi mantan.

"Nay, kamu sehat, 'kan?" tanya Balin. Dia cemas melihat Kanaya yang loyo karena cinta.

Kanaya berhenti berjalan, kemudian dia teralihkan oleh kue cinnamon roll yang ada di meja prasmanan. Kedua matanya berbinar. Dengan gesit, dia mengambil dua kue itu, lalu ditaruh di atas piring berukuran sedang.

"Aaaa, kesukaanku!" ujar Kanaya setengah histeris. Dia pun langsung menggigit bagian pinggir kue cinnamon roll itu. Kepalanya manggut-manggut sendiri.

Balin mendengkus pelan. "Cewek, tuh, gitu, ya? Moodnya banyak banget macemnya perasaan. Kadang jutek, sedih, lah ini malah balik seneng." Pemuda itu pun mendekati Kanaya yang sedang sibuk makan kue sendirian. Melihat adik perempuannya kelihatan menikmati cinnamon, Balin jadi penasaran dan ingin mencoba juga.

"Ternyata enak," gumam Balin. Begitu gigitan cinnamon roll masuk ke dalam mulutnya. Ada rasa manis, gurih, dan tentu saja enak.

"Enak, 'kan? Jangan sungkan buat ambil lagi, Kak," celetuk Kanaya, yang nyatanya diam-diam memperhatikan Balin menjajal aneka makanan sekarang.

"Jelas, dong. Tuh, ada pancake! Kesukaanmu, 'kan?" Balin menunjuk ke arah tengah meja. Terlihat aneka pancake dengan berbagai macam rasa. Tanpa banyak bicara, Kanaya mengambilnya satu. Rasa cokelat dengan taburan keju parut di atasnya.

"Lumayan. Kak Balin belum pernah coba pancake buatanku, ya? Harus coba!" Kanaya bicara sambil melumat pancake di mulutnya.

Sejak ada perseteruan antara Kanaya dan Balin, keduanya sama sekali tidak peduli oleh kehidupan ataupun aktivitas masing-masing. Apalagi Balin, tadinya dia hanya memikirkan pewaris perusahaan dan pembuktian, bahwa dia layak menjadi salah satunya. Namun sekarang, hal itu tidak jadi kepentingannya lagi. Balin lebih memilih memperbaiki hubungan adik-kakak dengan Kanaya.

"Iya, besok buatin, ya! Mumpung lu lagi di Jakarta. Jangan pelit-pelit sama Kakak sendiri, ye!" cibir Balin sesekali terkekeh kecil.

Kanaya mengangguk, kemudian mengangkat ibu jarinya ke atas. "Iyaa, harus! Tapi, dihabisin, ya. Jangan sampai ada sisa atau aku gorok, ha-ha."

Tanpa sadar, keduanya diperhatikan oleh Kurniawan dari kejauhan. Pria berjas hitam mengkilat itu melebarkan senyuman. Keadaan itulah yang sangat dirindukan oleh Kurniawan. Kehangatan dan keakraban dari anggota keluarganya sendiri. Sudah lama sejak Jayasri tiada dan keegoisan Kurniawan merajarela.

"Bahagia selalu ya kalian, anak-anakku."

***

Acara family gathering berlangsung seru dan santai. Benar-benar sesuai apa yang dikatakan Kurniawan tempo hari lalu. Meskipun, dress code yang dianjurkan adalah resmi dan sopan. Ada permainan kecil-kecilan, sambutan, dan perenungan agar kemajuan perusahaan semakin baik lagi. Dan Balin selalu ada di samping Kanaya sekarang. Keduanya seperti upin dan ipin, tidak bisa dilepas begitu saja. Entah kenapa, Balin ingin melindungi Kanaya. Terlepas dari mantan pacar Kanaya yang tega membuat gadis itu sakit hati.

Di pertengahan acara, getaran di ponselnya mengalihkan atensi, Kanaya. Benda pipih hitam yang ditaruh di sling bag kecil diambilnya perlahan. Kanaya bisa melihat nama kontak Yudhis terpampang nyata di layar notifikasi. Cowok itu menelpon Kanaya--tidak tahu apa maksudnya. Awalnya, Kanaya enggan untuk mengangkat. Dia jadi teringat kejadian kemarin lagi.

"Apa maksudnya ini, Yudh?" Kanaya meninggikan nada bicaranya. Dia mendorong kursi yang didudukinya secara keras ke belakang. Sedikit gaduh hingga beberapa orang beralih atensi kepadanya.

Yudhis berdecak kesal, lalu ikut bangkit dari duduknya. Dia ingin meraih kedua tangan Kanaya agar tenang dulu sebelum kesalahpahaman ini terlalu jauh.

"Nay, dengerin dulu...."

Kanaya menghela napas. Kedua matanya menatap tajam ke arah Yudhis sekarang. Sesekali dia melirik ke arah perempuan yang tengah hamil itu. Perasaannya campur aduk. Bagaimana bisa, selama ini penantiannya dipermainkan begitu saja?

"Dengerin apalagi si, Yudh? Ternyata, kamu tega banget, ya. Diem-diem nggak ada kabar, taunya main sama cewek lain!" cecar Kanaya, kemudian pergi meninggalkan Yudhis.

Gelak tawa terdengar setelah itu. Perempuan itu bernama Sinta. Dia menyilangkan kedua tangan ke perut sambil menaikan salah sudut bibirnya ke atas. "Jangan harap lo bisa hidup tenang, Yudh! Lo mending tanggung--" Belum selesai Sinta bicara, Yudhis mencengkram kedua bahunya. Tatapannya bagaikan pedang yang siap menghunus mangsa.

"Berisik, set*an. Lo seharusnya sadar, kalau lo nggak berhak minta pengakuan gue, Sint. Karena gue sama sekali nggak pernah macem-macem sama lo!"

"Bullsh*t! Udah jelas lo yang waktu itu tidur sama gue, Yudhis!"

"Kalaupun iya, gue nggak akan sudi buat ngakuin anak yang lo kandung itu. Inget baik-baik, Sinta Candra!"

Mendadak rintik hujan turun seakan tahu ada salah satu hati manusia yang sedang sakit. Dia terjatuh begitu cepat hingga deras dan sedikit membuat para manusia lain di jalanan tergopoh-gopoh mencari tempat berteduh.

Tapi tidak untuk Kanaya Laksita. Dia berlalu saja di atas trotoar. Dress yang dia kenakan hampir seluruhnya basah kuyup. Namun, Kanaya enggan memedulikan hal itu. Sakit hatinya menutupi dingin akibat hujan deras. Setengah jalan, Kanaya pun berhenti. Dia menunduk sambil memegangi dada sebelah kiri.

"Kenapa semua orang jahat banget, ya allah?"

"Dan, kenapa aku nggak bisa merayakan cinta bersama orang yang--"

"Kamu masih bisa merayakan cinta bersama orang-orang yang tulus sama kamu, Nay." Balin datang, langsung menyelimuti tubuh Kanaya dengan jas biru dongkernya.

"Masih bisa gimana? Nggak ada!" Kanaya menjawab setengah menitikan air mata. Suaranya seperti tersendat di tenggorokan.

Tanpa izin, Balin membawa Kanaya ke dalam pelukannya. Dia mengusap pelan kepala Kanaya lembut. Sesaat kemudian, Kanaya menangis bersamaan turunnya hujan yang makin menderu ke bumi.

Bahkan, Tuhan tahu, kalau ada hamba-Nya yang sedang menikmati duka. Sehingga dia turunkan hujan agar tangis tidak terdengar pilu oleh orang sekitar yang tidak tahu apa-apa.

BECAUSE OF PANCAKE [SELESAI]Where stories live. Discover now