19 | Malioboro

38 32 3
                                    

- h a p p y r e a d i n g ✨

Bian itu tinggi seperti langit, dan Kala tidak mungkin bisa menggapai atau setara dengannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bian itu tinggi seperti langit, dan Kala tidak mungkin bisa menggapai atau setara dengannya.

• • •

"Lima belas menit lagi, lo pulang, kan?"

Itu adalah kalimat pertama yang langsung keluar dari mulut Bian ketika Kala menghitung pesanannya untuk di bayar. Lelaki ini hampir setiap hari berada di kafe ini.

"Kenapa?"

"Keluar sama gue," ucapnya.

Amel yang sedari tadi cuek, jadi melirik ke arah keduanya. Masalahnya, Kala ini anaknya polos banget, pendiam, ga terlalu berinteraksi. Terus, tiba-tiba diajakin keluar sama Bian.

Ya, aneh aja.

Secara, Bian ini anaknya rada-rada.

"Kalian ... dekat?" celetuk Amel dengan lirih.

"Engga," bantah Kala.

"Gue tunggu di depan, Kal."

Usai mengucapkan kalimat tersebut, lelaki itu keluar dari kafe dnegan tangan yang ia simpan di kantong celana.

"Lo utang cerita sama gue, Kal."

Kala menarik Amel menuju dapur. Agar mereka bisa berbicara lebih leluasa.

"Kok bisa, Kal?"

Itu pertanyaan yang pertama kali dilontarkan oleh Amel ketika mereka berada di dapur.

Sementara itu, Kala menceritakan semua tentang pertemuannya dengan Bian dan terakhir Bian ke kosannya untuk menemui dirinya.

"Wah, anjir. Bian tuh beneran gabisa ditebak," respon Amel pada akhir cerita Kala.

"Jadi..., gimana ya, Mel? Bian tadi ngajakin aku ke luar."

"Ngapain coba."

Kala mengangkat kedua bahunya. "Aku juga ga tau, tapi dia udah nunggu di depan. Dia bilang nunggu aku pulang."

Amel menghela napas. "Lo serius mau keluar sama dia? Dia kan terkenal ga jelas, Kala."

"Dia baik sama aku, Mel."

"Gimmick," kata Amel tegas.

Hujan Di Penghujung Kemarau ✓ Where stories live. Discover now