Bab 1 A

294 24 0
                                    


Ada tiga rahasia kehidupan yang banyak menjadi pertanyaan orang-orang. Rezeki, jodoh, dan usia. Bahkan tidak akan ada yang mengerti mengapa mereka yang kini saling memadu kasih di sebuah pesta pernikahan akbar, akan berubah menjadi dua insan yang ingin saling membunuh. Tidak ada yang tahu hingga waktu sendiri yang akan menjawab.

Akan tetapi, banyak manusia tidak terlalu memikirkan tentang kematian. Gina salah satunya. Pernikahan hari ini adalah momen istimewa yang paling dinanti-nantinya. Dari semua rahasia kehidupan, kembang desa itu terfokus untuk mencari siapa jodoh yang mampu mewujudkan pernikahan impiannya. Ada lusinan pria yang bertekuk lutut di bawah pesona wanita itu. Tentu saja, Gina memilih yang terbaik.

"Kang Hadi, i-itu Pak Camat?" Gina mendelik kaget melihat pria bertubuh tambun yang bergerak ke arah prasmanan.

"Betul sekali. Akang undang beliau ke pernikahan kita karena memang beliau kenalan Ibu." Pria muda dengan kopiah putih, jas putih, kain dodot motif Parang Rusak membuat Hadi terlihat tampan dan gagah. Jika Gina adalah kembang desa, maka Hadi adalah kumbang yang diharapkan banyak bunga untuk datang.

"Terima kasih, Kang! Pernikahan ini luar biasa!" Gina menggelayut di lengan suaminya manja. Kembang melati yang tersemat di sanggulnya bergoyang seiring gerakan kepala. Tusuk konde berhias batu swarovski terlihat berkilauan. Bawahan batik bermotif Rengreng pun membuat pemakainya terlihat tinggi semampai.

Betapa beruntung Gina kala Hadi menyatakan cinta beberapa waktu lalu. Tak perlu menunggu dan mempertimbangkan ini-itu, Hadi langsung melamar Gina ke rumah orang tuanya dengan hantaran yang membuat siapa pun di Desa Mekar Wangi, Kecamatan Sindang Kerta iri.

Hadi membelai punggung tangan istrinya penuh kasih. "Aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu bahagia."

Gina mengangguk tersipu dan berterima kasih sekali lagi. Sesudahnya, wanita itu mengedarkan pandangan. Jika kebanyakan orang akan melakukan hajatan di rumah masing-masing, Gina memilih menyewa gedung terbaik di kabupaten mereka. Ruangan ber-AC, lantai keramik putih, serta hiasan bunga alami dan ukiran es berbentuk angsa mengepak, tentu akan menjadi pergunjingan heboh beberapa bulan ke depan. Sangat jauh jika dibandingkan berpesta di jalanan beraspal, kanopi yang bocor kalau hujan, serta tumpahan makanan prasmanan yang mengotori sekitar.

Ada kebanggaan besar saat melihat dua meja prasmanan bersisian di ruangan berukuran 500m2 itu. Di mata Gina, para undangan seperti kaum dhuafa yang kelaparan hingga seolah tak sabar untuk menyendok sebanyaknya nasi dan lauk yang tersedia. Bahkan Pak Camat pun memilih langsung makan daripada bersalaman dengannya. Gina tak peduli. Yang penting pesta ini mampu membuat semua orang akan mengenangnya.

Banyak gubug camilan di bagian kiri dan kanan ruangan. Gina sengaja memilih delapan macam gubugan. Ada makanan Sunda seperti batagor, bakso aci, dan karedok. Juga ada Western food seperti zuppa soup dan lasagna. Tak lupa camilan paling digemari dalam pesta pernikahan, es doger, es krim, dan kambing guling. Melihat antrian yang mengular membuat perasaan Gina sangat puas.

Saat itu, Gina mungkin tidak sadar kalau cukup banyak wanita di ruangan itu berkumpul sembari menggunjing tentang pesta yang mereka hadiri. Sayangnya, bukan gosip yang diharapkan Gina akan menyebar.

Bisik-bisik itu semakin meliukkan hawa pekatnya ketika Pak Camat dan Pak Wakil Bupati mengobrol akrab di sudut ruangan. Pejabat penting pun bisa hadir ke pernikahan seorang sekretaris kelurahan?

Pasti semua berkat Bu Mamik. Ibu dari Hadi yang sudah terkenal dengan bisnis kue semprong dan batiknya dan berpengaruh sebagai pedagang paling sukses di Kabupaten Bandung Barat. Tanpa pengaruh mertuanya, Gina tak mungkin mampu membuat pesta begini megah. Apalagi raut masam Bu Mamik sepanjang pesta seolah menjelaskan dengan gamblang apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.

Pergunjingan semakin bergulir seperti bola salju yang digulingkan dari atas bukit. Semakin membesar dan menenggelamkan banyak pohon kebenaran yang dilewatinya.

Berkebalikan dengan seluruh hawa panas yang menguar dari gosip tumpang-tindih, di sudut bagian selatan, berdiri seorang pria berkacamata yang menatap hampa ke pelaminan. Tangan kanan yang dimasukkan ke saku celana menyentuh sesuatu yang disembunyikannya erat-erat.

Orang-orang memanggilnya Bisma. Pria berkulit putih dengan tinggi hampir 180cm itu cukup menjadi perhatian para tamu perempuan. Namun, aura dingin sekaligus berduka yang dipancarkan jelas membuat siapa pun enggan mendekat apalagi menyapa.

Ada jejak keraguan di mata pria itu. Haruskan dia bergerak ke arah pelaminan, atau biar dia menatap Gina sejenak sebelum akhirnya lenyap dari tempat ini segera. Ternyata, meski Bisma sudah menyiapkan hati dan berniat sekuat tenaga agar merelakan pernikahan Gina, praktik tetap tidak semudah teori. Bahkan bagi pria dewasa sepertinya, rasa sakit itu tetap nyata.

Namun, Bisma tak menginginkan penyesalan sepertiyang terjadi sebelumnya. Kata cinta itu hanya terkunci rapat-rapat dalam relunghatinya. Terdiam, mengerak, lalu berubah jadi karat yang menggerus hatinyapelan-pelan. Ketika kabar tentang pernikahan itu tersebar di desa, pria itu takbisa menyembunyikan lagi dukanya.


Created by

Jangan Ada Lara (Tamat)Where stories live. Discover now