Bab 14

94 9 0
                                    

Ada dan tiadanya Hadi di dekatnya, tak pernah menjadi soal bagi Larasati. Dirinya tetap asik dengan dunianya sendiri, tanpa pernah sedikit pun merasa sedih. Satu kondisi yang sangat bertolak belakang dengan Gina, hari-harinya sering diliputi duka dan kesedihan mendalam.

Andai waktu bisa diputar kembali, ingin rasanya Gina bisa kembali ke masa dimana dirinya masih merajut kasih dengan Hadi, lelaki yang pernah sangat dicintai dan dipujanya. Meski berbagai rayuan dilancarkan, tak ingin sekali pun Gina tinggal berdampingan dengan sang mertua, dirinya akan mengajak Hadi pergi sejauh mungkin dari kehidupan kedua orang tuanya ssehingga tak ada lagi yang ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka.

Nasi telah menjadi bubur, tak sepantasnya semua itu ditangisi. Meski berat namun Gina harus bisa bangkit dari setiap keterpurukan, karena masih ada Larasati yang kini benar-benar harus dia besarkan seorang diri. Bahkan sekedar menggaji Bi Imah pun, Gina sudah tak mampu melakukannya.

Sebenarnya kedua orang tua Gina sudah sering meminta sang putri untuk kembali dan tinggal bersama mereka, namun Gina takut dengan kondisi yang ada pada diri Larasati hal itu justru akan berpotensi menimbulkan konflik baru. Biarlah dia hidup berdua bersama Larasati di rumah sederhana yang dibelikan Hadi saat mereka bercerai.

Ingin sekali Gina bisa memberikan fasilitas terbaik bagi putri semata wayangnya, terlebih doa dan harapan Gina untuk bisa melihat sang putri kembali normal baik secara fisik maupun perilaku masih begitu besar bercokol dalam dirinya. Namun apa daya, demi menghemat pengeluaran Gina sengaja mengurangi jadwal terapi sang putri.

Perilaku dan emosi yang semula sudah mulai menunjukkan perbaikan, lambat laun kembali memburuk. Terlebih Gina yang merasa frustasi dengan himpitan beban ekonomi keluarga, tanpa disadari sering menumpahkan kekesalan hatinya kepada Laras.

Produk-produk perawatan kulit sama sekali sudah tak mampu terbeli, namun dasar Gina sudah cantik hal itu tak pernah sedikit pun mengurangi aura kecantikannya. Masih banyak laki-laki mata keranjang yang berusaha mendekati Gina bahkan tak segan menawarkan sejumlah imbalan demi memuaskan nafsu bejad mereka. Memang tak mudah menyandang status janda di tengah lingkungan yang masih suka menggunakan kesusahan orang lain sebagai bahan pergunjingan.

Alih-alih merasa prihatin dan ikut berempati dengan kondisi yang menimpa, para tetangga justru semakin pedas dalam melontarkan sindiran.

"Bu Kokom, jaga suami baik-baik ya! Sekarang itu lagi musim pelakor, apalagi jika dis sekitar rumah kita ada janda gatel!" Bu Euis yang kebetulan lewat depan rumah Gina sengaja memperlambat laju motornya dan berteriak lantang kala melihat wanita cantik jelita itu sedang menyapu halaman.

Darah Gina terasa mendidih seketika mendengar penuturan wanita paruh baya dengan dandanan menor dan perhiasan bergelantungan di tubuhnya. Tak ubahnya dengan toko emas berjalan, setiap kali tubuh Bu Euis bergerak akan menimbulkan suara bergemerincing dari gelang dan kalung yang saling beradu di tubuhnya.

"Ibu-ibu di sini sudah tahu belum jika anak Mba Gina itu awalnya berwajah sangat seram. Semua itu sebagai tumbal ritual terlarang demi mempertahankan kecantikan ibunya!" Bu Kokom yang duduk di jok belakang motor Bu Euis tak mau kalah menghembuskan berita beracun yang sangat cepat menyebar di tetangga baru Gina.

Mulut Gina terkatup erat, gigi geliginya tampak saling beradu mengeluarkan suara berderit yang begitu menakutkan. Matanya tampak garang menatap tajam kea rah kedua wanita yang pernah menjadi tetangga saat Gina masih tinggal bersama Hadi. Napasnya tampak memburu, seiring nada yang naik turun tak beraturan.

"Hati-hati kalau berucap, Bu! Masih kurang puaskah Bu Euis dan Bu Kokom ikut andil menghancurkan rumah tangga saya!" Gina yang merasa tersinggung tampak bergegas menghampiri kedua wanita yang masih bertengger di atas motornya sambil terus mengacung-acungkan sapu yang dipegangnya.

Jangan Ada Lara (Tamat)Where stories live. Discover now