Bab 13

83 12 2
                                    

Tak pernah terpikirkan sedikit pun di benak Gina bahwa dia akan bercerai dengan Hadi. Melihat surat cerai itu ada di tangannya rasanya begitu pedih. KTP bertuliskan janda juga akan terekam jelas sebagai torehan luka yang tiada akhir. Jika menjanda karena kematian, mungkin Gina masih bisa menerima. Namun, perceraian akibat finah dan diselingkuhi di depan mata, betapa hancurnya.

Gina belajar dengan cara yang pahit. Bahwa pernikahan tidak hanya soal kemeriahan saat resepsi, tapi lebih ke persatyuan dua keluarga. Mertua khususnya. Dibenci mertua adalah ujian terberatnya. Bahkan cinta yang sempat digenggam hadi erat pun kini begitu mudahnya bercerai berai karena suaminya tak menggenggam ras percaya padanya.

Air mata itu kembali hadir. Mengalir menelusuri pipi, membiarkan semua duka yang terus bercokol dan menusuk-nusuk setiap detik keluar. Namun, berapa lama pun Gina menangis, sakit itu tetap bercokol di sana. Erat, kuat, seilah tidak akan pernah terangkat. Lebih erat dari lem apa pun yang bahkan tidak akan hilang ika dikerok dan dibersihkan. Kepalanya terasa berdentam.

Gina benci jari-jari yang menyemburkan fitah demi fintah padanya. Dia tidak akan memaafkan mereka yang mengirimkan pesan tentangnya dan Bisma. Siapa pun dia, kelak, di akhirat, Gina akan meminta pertanggungjawaban orang itu. Mendulang semua pahala dari penjahat itu agar kering dan kemudian membebankan semua dosa miliknya pada bajingan yang telah memporak-porandakan pernikahannya dengan Hadi.

Waita itu juga benci Bu Mamik. Mertua macam apa yang setiap hari hanya melontarkan kalimat kasar, menghujat, mengorek-ngorek kesalahan. Padahal dia sudah begitu lama mengabdi tanpa pernah sedikit pun melawan.

Lalu yang paling dibencinya kini adalah Hadi. siapa lagi jika bukan mantan suaminya itu layak mendapat kebenciannya yang terdalam.

Berapa banyak fitnah yang dihunjamkan orang-orang, semua akan sia-sia jika Hadi sebagai suami mampu melindunginya. Mampu memberikan perlindungan dan keyakinan, bahwa istrinya adalah orang yang setia. Namun, kenyataannya, Hadi justru menusuknya, menikam semua kepercayaannya dna membuatnya tercerai.

Bahkan disaat kesetiaan adalah modal Gina satu-satunya untuk bertahan, Hadi pun mengkhianatinya dengan menikahi wanita lain.

"Mama ... mama... mama.." Larasati memanggil nama Gina berulang-ulang karena ibunya itu terlalu larut dalam pikiran yang seperti labirin hingga tak menyadari panggilan anaknya. "MAMA! MAMA! MAMAAAAAA!" kali ini larasati berteriak lebih keras.

Teriakan terakhir larasati menyentak Gina. anita itu merasa kekesalannya memuncak. Bagaimana anaknya bisa kurang ajar memanggil namanya dengan begitu kasarnya.

"NGAPAIN TERIAK-TERIAK, HAH? EMANG MAMA BUDEK?"

Larasati terdiam sebelum akhirnya ikut berteriak-teriak tak karuan. Gina menarik lengan Larasati ke atas dan mendoirongnyua ke kamar sebelum menguncinya dari luar. Larasati menggedor-gedor pintu sekuatnya. Namun, Gina memasang earphone dan menyetel lagu dari gawainya keras-keras. Menenggelamkan suara Larasati yang semakin beringas.

***

Setelah tiga puluh menit, tampaknya Larasati sudah lelah. Gina membuka pintu dan melihat putrinya tertidur di lantai. Kadang sebersit sesal menggupak telah bertindak kasar pada Larasati. Namun, jika dia membiarkan putrinya berteriak-teriak, yang ada dirinya juga ikut kalap dan bahkan mungkin memukul gadis itu.

Keuangan mereka sama sekali tidak membaik Hadi hanya memberi sedikit seklai uang bulanan. Tidak cukup kalau untuk biaya terapi dan sekolah Larasati. Bahkan ditambah uang tabungan Gina pun, uang yang dimiliki hanya untuk makan sehari-hari.

Tanpa modal yang cukup, Gina pun nekat menjadi reseller beberapa tas, baju, kosmetik, perkakas dapur. Apa pun dia coba.

Namun, lagi-lagi larasati menjadi masalah

Jangan Ada Lara (Tamat)Where stories live. Discover now