Bab 3A

115 15 0
                                    

Ada tangis penyesalan yang Gina luapkan ketika menyadari putri sulungnya tidak sempurna. Nama Larasati yang diharapkan memberi arti teguh dan kuat seperti tokoh wayang Dewi Larasati seperti bumerang bagi Gina. Namun, apakah ini ujian yang langsung Tuhan berikan agar Larasati menjadi perempuan tangguh? Gina tidak tahu. Karena yang wanita cantik itu rasakan hanyalah kebencian telah melahirkan bayi yang cacat!

Di ruamg perawatan, Gina termangu di kasur. Infus di tangannya menandakan sisa perjuangannya saat melahirkan yang mengalami sedikit komplikasi.

Dua dokter perempuan paruh baya kini berdiri di kedua sisi ranjang. Pandangan mereka begitu teduh dan sabar. Satu berjilbab panjang adalah dokter spesialis kandungan, sementara yang berambut sepunggung diikat bawah adalah dokter spesialis anak.

Ruangan serba putih itu tak memberikan nuansa damai di hati Gina. Bahkan dia meminta gorden yang membatasinya dengan pasien lain ditutup rapat. Ruang VIP 1 berisikan dua orang ibu yang dirawat paska melahirkan. Hanya ini ruanh twrbaik di sini

"Bayi ibu cukup sehat. Tangisannya juga keras."

"Pembohong!" Gina menyentak keras. Air mata yang sempat terhenti tiba-tiba kembali jatuh menyusuri pipi. "Bagaimana anak mengerikan seperti itu dikatakan sehat?"

Dokter spesialis anak yang menangani Larasati menarik napas dan berusaha terlihat tenang. "Bibir sumbing bisa diperbaiki dengan operasi beberapa kali. Kita bisa atur perjan...."

"Buat apa?! Kalau mertua dan suamiku sampai melihat dia! Apa yang akan mereka lakukan?" Gina kembali menjerit histeris. Tak terbayang betapa dia akan menerima hujatan dari mertua yang sejak awal tak menyetujui pernikahannya dengan Hadi.

Dokter perempuan itu bergeming tak tahu harus bicara apa. Tak semua ibu mampu menerima cobaan ini. Hatinya terasa pilu. Bagaimanapun juga, Larasati adalah bayi yang tidak berdosa. Kelopak mata yang masih terpejam seolah menyiratkan dia tak mengerti tentang betapa kejam dunianya kelak.

Apalagi, saat ini Gina belum tahu, kalau penyakit yang diderita Larasati bukan hanya bibir sumbing.

"Saya rasa, Larasati akan tumbuh jadi gadis yang cantik jika melalui operasi." Dokter perempuan itu kehabisan kata-kata. Karena sebenarnya jauh di lubuk hatinya dia percaya bahwa setiap wanita cantik dengan cara mereka masing-masing. Namun, pasien ini harus ditenangkan. Jika tidak, produksi ASI-nya akan sedikit dan akan memengaruhi pertumbuhana Larasati.

Akan tetapi, Gina hanya mencebik meremehkan. "Dokter nggak usah bohong!"

"Saya harap Ibu tenang. Nanti ASI ibu akan seret kalau Ibu stres." Kali ini dokter kandungan angkat bicara.

Biasanya kedua dokter akan visit bergantian. Namun, dengan kehisterisan Gina yang dilaporkan oleh para perawat, membuat kedua dokter itu visit bersamaan. Sesuai dugaan, kondisi psikis Gina lebih gawat dari perkiraan, bahkan mreka berdua sempat berpikir untuk menyarankan Gina bertemu psikolog. Namun, niat itu diurungkan karena untuk saat ini, kondisi Gina belum memungkinkan.

"Buat apa saya ngurus ASI? Toh, lara tidak bisa disusui langsung.'

Setiap kalimat defensif yang dikeluarkan Gina membuat kedua dokter spesialis itu berpandangan bingung. "Ibu tetap bisa menyusui langsung, kok. Nanti bagian laktasi akan membantu Ibu untuk menyusui Larasati."

"Sudahlah!" Gina membuang muka frustrasi. "Apa ada lagi yang mau diperiksa? Kalau tidak ada, Saya mau istirahat."

Kali ini helaan napas panjang dokter menjadi jawaban sebelum akhirnya keluar ruangan tanpa menghasilkan apa-apa.

Gina pun melanjutkan tangisnya. Meski dia tahu percuma saja dia menangis, tapi tetap saja semua terasa menyakitkan jika tidak dikeluarkan. Batinnya meronta. Bertanya berulang kali pada Tuhan ke mana keadilan yang selama ini Dia janjikan?

***

Sementara di ruang bayi, Larasati tengah tidur dengan tenang. Dadanya naik turun dengan irama teratur. Begitu polos, begitu suci. Namun sepasang mata yang menatap dari balik kaca tak terlihat mengaguminya sama sekali.

"Itu anakmu?" Bu Mamik menampilkan ekspresi penuh rasa jijik tak berkesudahan. Bahkan ketika anggukan Hadi menjadi jawaban pelan, ekspresi itu tak jua melunak. Tak perlu menjadi ahli psikologi untuk bisa merasakan betapa Bu Mamik ingin segera enyah dari sana.

"Istrimu itu kenapa?" Kali ini suara Bu Mamik meninggi.

Hadi tak berani menjawab. Dia hanya menarik napas. Kepalanya dipenuhi pikiran-pikiran yang tumpang tindih. Mengapa? Apa yang harus dia lakukan? Berapa biaya operasi? Serta segudang pertanyaan-pertanyaan di luar ada apa dengan Gina.

"Istrimu pasti nggak nurut semua pantangan leluhur! Punya mantu kok ceroboh banget sampai cucu jadi korban!" Bu Mamik kembali menaikkan suara kesal.

"Bu, tolong jangan terlalu keras. Nanti dimarahi dokter." Hadi berbisik lembut. Dia paling tak bisa membantah ibunya dikala marah. Namun, mau dibenci bagaimana pun, Larasati adalah darah dagingnya. Buah cintanya dengan wanita yang kini selalu bertahta di benaknya. Meski berat, ia harus mampu mencintai Larasati tanpa syarat.

Bu Mamik masih terus mengoceh ketika Hadi akhirnya mengajaknya untuk makan di kafe rumah sakit. Lebih baik menenangkan ibunya dulu daripada langsung masuk ke ruang rawat dan mempertemukan Gina dan ibunya. Bisa-bisa akan terjadi hal yang tak diinginkan.

Hadi sudah sangat mengerti jika ibunya menentang pernikahannya. Namun, Gina bukan wanita yang buruk. Justru kebalikannya. Meski sangat cantik dan dikejar banyak pria, dia hanya setia padanya. Semua telepon, sms, whatsapp dan sosial medianya terbuka untuknya. Hadi bebas mengakses gawai istrinya tanpa syarat. Keterbukaan Gina pada Hadi semakin menguatkan rasa percaya dan cinta Hadi pada wnaita itu. Gina miliknya seutuhnya. Termasuk juga Larasati yang berhasil dilahirkan dengan mempertaruhkan nyawa.

Bu Mamik mengunyah baksonya dengan kesal. Raut wajahnya masih ditekuk masam. Terbayang di benaknya jika mengadakan acara akikah. Mengundang banyak orang dengan kondisi bayi seperti monster? Mau ditaruh di mana wajahnya?

"Akikahnya, sederhana saja, Bu. Kita potong kambing pakai jasa akekah, lalu membagikan nasi box nya ke tetangga-tetangga. Jadi mereka tidak perlu datang." Hadi berusaha memberi usulan. Kondisi Gina juga masih sangat lelah. Malas rasanya kalau harus mengurus pesta besar akikah. Seingatnya, ustad pernah berkata kalau tidak ada aturan akikah harus dipestakan. Namun, ibunya pasti tidak ingin terlihat miskin.

Decakan keras meluncur mulus. Kuah bakso yang ada di mulut terpercik keluar tanpa bisa dicegah. "Mana bisa begitu! Aku harus menjaga harkat dan martabat keluarga Soekoco! Tentu pestanya jangan sampai kalah meriah dengan akikah tetangga lain."

"Tapi, Bu,"

"Sudahlah!" potong Bu Mamik cepat. "Pokoknya, Ibu mau pesta yang mengundang setodaknya 200 orang. Soal bayimu disembunyikan di mana terserah. Kalau perlu belikan kelambu biar orang tak usah lihat wujud jeleknya."

Hadi tak mampu membalasseparah kata pun.

Jangan Ada Lara (Tamat)Where stories live. Discover now