Bab 11

95 9 0
                                    

Sakit kepala yang menghantam Hadi terus menerus. Semua masalah ini rasanya begitu menyiksa. Padahal semua bisnisnya begitu lancar. Namun, kenapa justru rumah tangganya berantakan?

Meski hatinya ingin berangkat ke kantor, tetap saja otaknya menolak. Batinnya begitu lelah. Mandi saja rasanya malas. Perutnya pun bahkan tak merasa lapar, padahal ini sudah hampir pukul delapan.

Rasanya malas untuk sekadar keluar kamar dan melihat istri apalagi anak buruk rupa sekaligus sulit diatur itu. Semua hal rasanya semakin berat. Apalagi ibunya pun mengamuk terus gara-gara Larasati dan Gina.

Hadi sudah muak!

Dia bahkan melampiaskan semua kekesalannya pada wanita-wanita cantik di bar semalam. Mereka tidak secantik Gina memang. Namun, biarlah. Menghabiskan malam dengan mereka cukup membuatnya senang.

Sementara.

Karena pagi ini, semua rasanya malah lebih parah. Denyut di kepala, perasaan yang carut-marut, menyebalkan!

Ya, sudahlah! Hadi pun akhirnya kembali merebahkan diri di kasur dan terlelap. Berusaha memikirkan semua ini rasanya melelahkan. Pria itu bahkan tidak mendengar ketukan berulanh dari luar pintu.

💖💖💖

Gina tak mendapat jawaban setelah beberapa ketukan. Hatinya semakin tersayat. Kenapa justru inilah yang didapatkannya setelah perjuangan beratnua selama ini? Apa itu artinya dirinya tak berhak bahagia? Apa ini hasil kutukan pria-pria yang telah sakit hati karena dirinya tak menikahi mereka?

Wanita itu mengusap wajahnya gusar. Perih menyayat kalbu. Semua tuduhan gila yang dihunjamkan kepadanya rasanya membuat semua yang diperjuangkannya rubtuh. Mengapa suaminya sendiri justru menuduhnya yang bukan-bukan?

Gina mengempaskan tubuh ke sofa. Merasakan sekujur tubuhnya remuk redam. Bahkan sofa yang empuk tak mampu membuat nyaman. Lengan wanita itu menutup mata lelah. Ia hanya ingin mendapat kejelasan. Siapa mereka yang telah meninggalkan jejak di tubuh suaminya.

"Mama lapar." Larasati tiba-tiba duduk di sebelh Gina.

Kali ini Gina berusaha tersenyum dan membelai kepala bocah itu. "Mama ambilkan nasi sama telur, ya."

Larasati menggeleng keras. Menggeleng terus hingga kepalanya terasa pusing.

Gina menarik napas. Mengapa di saat seperti ini Larasati mulai berulah. Semua terasa semakin berat.

"Mau apa?"

Larasati masih menggeleng-geleng. Tangannya mulai menarik-narik lengan Gina ke atas.

"Mama lapar!"

"Iya, Mama akan buatkan telur buatmu." Gina mulai kehilangan kesabaran.

Larasati kembali menggeleng keras. Kakinya dientak berulang ke lantai. Kekesalannya memuncak. Apa tidak bisa Larasati diam sejenak? Menurut padanya. Membuatnya senang?

"Kamu mau apa, sih?" Nada Gina mulai meninggi. "Nugget? nasi goreng? atau apa?"

Hanya gelengan demi gelengan yang menjadi jawaban.

"Mama lapaaaaaar!" Kali ini, bocah itu menunjuk dada Gina kuat-kiat. Matanya nyalangm tangannya kemudian berayuk dan menyambar salah satu bantal sifa dan dilemparkan ke lamtai. Diinjak-injak sembari melompat kesal.

Gina terdiam sejenak. Mama lapar? batin Gina tersentak. Apa maksudnya kalau Larasati infin dirinya makan? Larasati bukan meminta makan, tapi justru memintanya makan.

Larasati memang sudah bisa berbicara. Namun, pada saat-saat tertentu, saat emosinya labil, maka susunan katanya akan berantakan atau terlalu ambigu seperti tadi. Tanpa sadar satu bulir air mata lolos dari tahanan.

Jangan Ada Lara (Tamat)Where stories live. Discover now