Bab 21

148 12 1
                                    

Larasati mengamuk dengan sangat parah. Tak seorang pun dari tetangga maupun pihak kepolisian mampu menananinya. Teriakan demi teriakan membelah perumahan itu. Seolah ingin menjeritkan penderitaan akan kehilangan yang dialami gadis yang kini terus histeris sembari menangis.

Polisi kesulitan mencegah Larasati untuk masuk ke rumah. Bahkan ketika dikurung di mobil polisi, dia siap merusak apa pun yang ada di sana hingga terpaksa dikeluarkan lagi dari mobil dan dipegangi oleh dua orang polisi wanita.

Saat ini, mungkin hanya sedatif yang bisa menenangkan gadis itu. Akhirnya, hal itu pun dilakukan demi bisa menjaga keamanan gadis itu sendiri. Bagaimana kalau lidahnya sampai tergigit dan justru membahayakan diri dan orang di sekitarnya. Namun, pemberian sedatif tidak mungkin terus menerus dilakukan.

Maka, atas informasi tetangga, Polisi pun menghubungi keluarga Hadi mengenai kabar mengejutkan ini. Karena beredar kabar bahwa dulu Larasati pernah menurut pada orang lain yakni Bi Imah, pembantu lama Gina saat masih resmi menjadi istri Hadi.

Akan tetapi, sambutan dari keluarga Hadi tak seperti yang diharapkan.

"Saya sudah tidak ada urusan lagi dengan bocah pembawa sial itu!" Hadi mencebik.

"Tuh, apa ibu bilang? Gina itu dulu main guna-guna sama kamu. Makanya dia jadi korban pesugihannya sediri sekarang." Mamik tak segan menjelekan almarhum mantan menantunya di depan polisi wanita yang kini mengepalkan tangan penuh kekesalan.

Polisi itu paham betul kenapa Gina sampai bisa bercerai dari lelaki berengsek macam Hadi dan menjauh dari sosok metua sok tahu dan kurang ajar seperti Mamik. Mereka memang kombo maut yang memuakkan. Seharusnya mereka saja yang tewas, bukan wanita yuang kini meninggalkan seorang ABK yang begitu histeris.

"Kalau begitu, apa kami bisa tahu di mana bisa menghubungi Bu imah? Karena kami dengar kalau beliau mampu menenangkan Larasati." Polisi wanita itu berusaha tetap ramah meski kobaran rasa tak suka bercokol di hatinya. Tak biasanya dia bersikap seperti ini. Namun, mereka bakan tak menanyakan bagaimana Gina bisa terbunuh atau bagaimana kondisi Larasati. Mereka begitu tak acuh. Seolah Gina dan Larasati bukan siapa-siapa dan tak punya makna apa-apa dalam kehidupan mereka.

"Ini alamat dan nomor HP nya." Hadi menyerahkan selembar kertas bertuliskan alamat dan nomor ponsel. "Tolong jangan ganggu kami lagi soal Larasati. Kami bukan siapa-siapanya."

"Kalau begitu, kami pamit." namun, baru satu langkah, polisi itu berbalik dan menatap tajam ke arah Hadi. "Anda harus siap kapan pun untuk dipanggil sebagai saksi."

""Saksi?" Mamik meninggikan suaranya. "Anak saya tidak ada hubungannya sama pembunuhan Gina. tanyakan saja sama pria-pria yang dulu didekatinya. Mungkin ada dari mereka yang dendam padanyaa."

Polisi wanita itu tersenyum. Berusaha keras menyembunyikan sikap sinis yang mungkin bisa saja muncul akibat perbuatan keduanya yang begitu memancing emosi.

"Bagaimanapun juga, anda berdua pernah satu keluarga dengan korban. Apalagi pak Hadi, anda adalah ayah kandung Larasati. Anda kan tetap dianggap berhubungan erat dengan korban." Polisi itu kembali mengatur napasnya yang sedikit memburu karena kesal. "Saat ini kami tidak memiliki tersangka. Jadi, kami harap Anda bisa berkooperatif dan menjadi saksi jika dibutuhkan."

Secepat polisi itu tiba, secepat itu juga dia pergi menuju rumah Bi Imah.

***

Sementara di halaman rumah Gina, seorang pria tengah berdiri dengan tubuh gemetar. Baru semalam dia berbincang dengan wanita itu, lalu pagi ini ketika dia datang untuk menjemputnya sesuai janji, semua sudah berubah.

Gina sudah terbunuh. Mungkin dirinyalah orang terakhir yang melihat Gina masih bernyawa malam tadi. Meski gemetaran dan mungkin dia akan menjadi tersangka, Bisma tak peduli. Dia akan menceritakan kronologi yang dialaminya semalam.

AKP Ranto selaku Kasatreskrim Polres Cimahi yang baru tiba di TKP langsung memasuki rumah untuk melakukan pengamatan awal sebelum memberikan instruksi kepada anggota Unit Identifikasi Polres Cimahi. Pria paruh baya dengan mata setajam elang itu mengamati sekelilingnya. Ada perasaan perih melihat begitu banyak darah yang tercecer di sana-sini. Tak terbayangkan bagaimana perasaan korban saat meregang nyawa dengan 28 luka tusuk di tubuhnya.

Ada kesigapan gerak dan ketegasan bertindak kala AKP Ranto memberikan pengarahan pada Unit Identifikasi. Mereka dengan terlatih menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk proses olah TKP.

Pisau bersimbah darah yang semula dipegang Larasati juga sudah diamankan ke dalam kantong barang bukti sedangkan gadis kecil itu sudah terlelap dalam pangkuan Bi Imah di rumah pak RT yang hanya berselang tiga rumah dari tempat Gina. Untung saja Bi Imah sudah datang tepat ketika efek sedatif yang diberikan pada Larasati berkurang.

Dengan cermat, polisi memeriksa setiap sudut rumah Gina. Jejak kaki yang terbentuk dari noda darah ditemukan hampir di setiap ruangan. Kuat dugaan itu adalah jejak kaki putri pemilik rumah mengingat ukurannya yang tidak terlalu besar.

Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini?

Siapa yang begitu bencinya dengan Gina hingga menghabisinya seperti ini.

Daun jendela dan pintu belakang pun dalam posisi terkunci dari dalam dan tidak ada tanda-tanda pengrusakan sehingga sangat kecil kemungkinan ada orang asing yang masuk rumah.

Mungkinkah ini semua hanya trik pembunuhan ruang tertutup? Mereka pun terus melanjutkan penyidikan demi menguak kebenaran yang tersembunyi.

Jasad Gina telah dimasukkan ke dalam kantong mayat dan dinaikkan ke atas ambulance untuk dibawa ke RSUD Cimahi. Kisah Gina di dunia pun berakhir.

Beberapa petugas yang telah selesai melakukan pengolahan TKP tampak sibuk membereskan peralatannya, tapi garis polisi yang terpasang masih belum dilepaskan sehingga belum ada tetangga yang boleh memasuki TKP.

Kedua orang tua kandung Gina sangat terkejut mendengar kabar kematian putrinya yang sangat mendadak. Bermodalkan informasi dari pak RT yang memberikan kabar duka, kedua orang tua Gina langsung menuju RSUD Cimahi untuk mengikuti proses otopsi jasad putrinya.

Asih menjerit sejadinya melihat kondisi putrinya. Meski sudah dimandikan, tapi lubang-lubang menganga di tubuh putrinya tetap terlihat mengerikan. Sebenarnya, pihak rumah sakit semula hanya mengizinkan melihat wajahnya. Namun, Asih memaksa hingga akhirnya diizinkan.

Bagaimana kematian begini dekat. Dia sudah menyiapkan makanan kesukaan Gina jika datang siang nanti. Namun kenapa justru kabar yang diterima bukan tentang kehadiran Gina, tapi tentang kematiannya?

Ibunya Gina pun akhirnya berteriak histeris "Pak! Siapa pun yang telah membunuh putri kami maka harus dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya!" Air mata berjatuhan dari kedua pelupuk mata.

Penyesalan terbesarnya karena membiarkan putri tunggalnya pergi bersama cucunya hanya karena tak ingin guci-guci koleksinya pecah. Kini, guci-guci itu pun tak bisa membawa kebaikan apa pun. Mereka hanya bergeming membisu.

Bahkan Asih kehilangan kesempatan untuk bisa melindungi putri semata wayangnya.

Jangan Ada Lara (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang