Bab 22

178 14 2
                                    

Berita tentang dugaan pelaku pembunuhan Gina semakin simpang siur. Setiap ada panggilan dari penyidik kepada salah satu warga untuk dimintai keterangan sebagai seorang saksi, sontak membuat warga lainnya bertanya-tanya dan berkerumun mencari penjelasan. Setiap bukti petunjuk yang didapatkan, meski sangat kecil tetap menjadi sebuah harapan bagi penyidik untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi.

Mengingat kasus terbunuhnya Gina pun menjadi sorotan di jajaran Polda Jabar, mau tak mau menjadi satu beban tersendiri untuk penyidik bisa mengungkap pelaku termasuk modus operandinya secara cepat, tepat dan akurat. Pengungkapan tindak pidana ini menjadi mutlak dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum baik kepada pelaku ataupun keluarga korban yang ditinggalkan.

Puluhan orang sudah diminta keterangan dan alibinya, namun penyidik belum juga menemukan titik terangnya. Bermodalkan keterangan dari tetangga samping rumah Gina yang menyampaikan pernah melihat Marni istri baru Hadi menyambangi rumah Gina dan terlihat mengancam, penyidik pun melayangkan surat panggilan untuk wanita tersebut.

Bukan hanya itu, bahkan akang sayur yang sempat mencoba merayu Gina pun tak luput dipanggil penyidik untuk diminta keterangannya sebagai saksi. Namun penyidik merasa sangat kesulitan untuk mendapatkan keterangan dari Larasati sebagai satu-satunya saksi mahkota yang mungkin tahu atau melihat orang yang membunuh sang mama.

Jalan pikiran Larasati sangat sulit ditebak, satu saat penyidik bisa mengajak berkomunikasi, tetapi baru sebentar berbincang Larasati sudah sibuk dengan dunianya sendiri. Titik terang akan kondisi psikologis Larasati baru bisa penyidik dapatkan setelah meminta keterangan dari konselor yang ada di klinik tumbuh kembang tempat Larasati rajin mengikuti terapi sejak masih berumur delapan tahun. Saat ini tantangan terbesar Penyidik Polres Cimahi adalah bagaimana bisa mengumpulkan sebanyak mungkin keterangan dari Larasati, yang tak lain adalah putri semata wayang Gina.

Dari hasil koordinasi penyidik yang dibantu oleh Unit Identifikasi Polres Cimahi setidaknya dapat ditarik satu kesimpulan bahwa barang bukti yang dikumpulkan dari TKP telah cukup sehingga garis polisi yang terpasang bisa segera dilepas. Pelepasan garis polisi berarti bahwa setiap orang sudah bisa kembali bebas keluar masuk rumah Gina termasuk membersihkan noda darah yang telah mengering di hampir seluruh bagian rumah.

Demi menjaga kestabilan emosi Larasati dan memudahkan saat penyidik membutuhkan keterangan tambahan, Bu Asih memutuskan untuk sementara waktu tinggal di rumah yang pernah Gina tempati, setidaknya sampai rangkaian proses penyidikan dapat diselesaikan. Beruntung Bi Imah masih ada bersama mereka sehingga tubuh renta mereka tidak terlalu berat kala harus merawat cucunya itu.

"Bu Mamik, Nak Hadi dan Marni. Saat ini Gina sudah meninggal, meski penyidik belum berhasil menetapkan siapa tersangka pembunuhnya. Hanya kita yang Laras miliki," suara Bu Asih tercekat dan begitu sulit melanjutkan kata-katanya.

Dengan ditemani Pak Dede, Bu Asih sengaja menyambangi rumah bekas menantu dan besannya untuk membicarakan nasib Larasati yang tak lain buah dari pernikahan Hadi sebelumnya dengan Gina, putrinya. Gumpalan air mata telah menggenang di pelupuk mata wanita baya itu, tak sabar untuk saling berloncatan keluar. Hatinya pedih kala mengingat semua yang menimpa putrinya.

"Apa tidak sebaiknya Laras ikut Nak Hadi, bagaimana pun kondisinya seorang papa jauh lebih berhak untuk membesarkan putri kandungnya dibandingkan saya sebagai kakek." Pak Dede tampak bijak saat melanjutkan kata-kata Bu Asih yang terpotong dengan tangisannya sendiri.

Hening! Hanya terdengar tarikan napas yang terasa begitu berat dari setiap orang yang berada di ruang tamu Bu Mamik. Baik Bu Mamik, suaminya, Hadi dan Marni saling melemparkan pandangan. Gurat-gurat kebencian dan rasa tak suka masih jelas tergambar dari wajah-wajah orang di rumah ini.

Jangan Ada Lara (Tamat)Where stories live. Discover now