Bab 5B

88 11 0
                                    

Kali ini helaan napas panjang dilakukan mengingat betapa Mamik menjadi sangat pengatur. Dengan rumah yang bersebelahan, Mamik selalu ikut campur akan banyak hal. Tiba-tiba muncul di rumah tanpa permisi. Menjelekkan bagaimana Gina membersihkan ruang tamu, mengatur dekorasi, bahkan tidak segan memotong bunga kamboja kesayangan Gina dan menggantinya dengan daun yang entah apa cantiknya.

Pernah Gina memprotes perlakuan Mamik pada Hadi. Namun, suaminya hanya meminta Gina untuk bersabar. Kemudian, Gina pun hanya bisa menelan semua protesnya.

Setelah beberapa angkot terlewat, ada sebuah angkot yang sepi. Gina memilih duduk di depan saja. Menghindari perbincangan dengan orang lain. Namun, wanita itu lupa kalau ada supir angkot yang akhirnya mengajaknya bicara.

Gina ingin mengumpat terutama dengan pandangan meremehkan supir itu terhadap Laras. Bahkan ketika Gina dilarang membayar, wanita itu memilih melemparkan uang sepuluh ribu ke dalam angkot dan bergegas menjauh.

Jika tidak terpaksa, dia akan selalu di rumah. Persetan dengan semua tetangga dan orang-orang yang kerap menggibah di belakangnya.

Kali ini Gina merasa lebih lega setelah duduk menunggu di koridor Klinik tumbuh kembang. Ada beberapa ibu yang juga mengantar anaknya untuk diterapi. Larasati sudah datang beberapa kali. Awal-awal masih observasi untuk mendiagnosa apa sebenarnya masalah yang dialami anak perempuannya itu.

Tidak ada yang tampak sedih. Mereka menatap buah hatinya penuh kasih. Bagaimana mereka bisa memiliki kebesaran hati seperti itu? Beberapa bahkan juga diantar suami mereka. Betapa beruntungnya.

Hadi bahkan tidak mau mengajak Larasati bicara. Bahkan menatap wajahnya pun segan. Dia selalu memalingkan wajah tak senang. Mungkin kebencian Hadi pada Larasati jauh lebih besar dari perkiraannya.

Gina memijit pangkal hidungnya yang terasa berdenyut . Mengapa dirinya harus mengalami semua ini? Kesempurnaan yang dinantinya kandas begitu saja. Mengapa harus begini berat cobaan yang dialaminya setelah sekian lama menanti meraih kebahagiaan sempurna?

"Anak Larasati."

Perawat memanggil nama Larasati dan Gina pun bangkit. Tiba-tiba Larasati membuka mata dan langsung memberontak. Gina kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh jika saja perawat tak langsung membantu menangkap Larasati.

Dan sekali lagi, terapi kali ini hanya membawa jeritan, penolakan, dan juga amarah Larasati. Ketika akhirnya observasi dilakukan sebisanya dengan semua kekacauan itu.

Larasati sama sekali tidak bisa ditenangkan. Aneh... bahkan segala mainan yang ada di ruangan terapi tak memberi dampak apa pun. Semua tak bisa menenangkan Larasati sedikit pun.

Setelah satu sesi terapi yang melelahkan, Larasati pun tertidur pulas.

Gina merasakan kepalanya berdentam hebat. Dia harus melakukan sesuatu. Mungkin makan masakan kekinian di mal dekat Klinik tumbuh kembang bisa membantu. Lumayan, mumpung sudah ke kota. Kenapa tidak sekalian saja?

Akhirnya tidak sampai tiga puluh menit, Gina sudah duduk menanti pesanannya. Larasati masih tertidur dalam gendongannya. Kadang gina berharap kalau Larasati tidur saja seperti ini terus-menerus. Agar tidak perlu ada amarah dan teriakan saling sahut antara dirinya dan larasati.

Gina menyantap hidangan koreanya dengan lahap. Pedasnya samyang dengan perpaduan odeng dan segar kimchi terasa nikmat. Larasati menikmati mie samyangnya. Setidaknya bocah perempuan itu cukup bisa makan sendiri meski sedikit berantakan.

"Kita ke toko buku sebentar ya, sayang?" Gina membelai kepala Larasati. Wanita itu berharap dengan menybut kata sayang berulang pada Larasati perlahan mampu membuat hatinya melembut dan mampu mencintai gadis itu sepenuhnya.

Saat ini memang belum mampu dilakukannya. Akan tetapi, dia percaya suatu saat, jika semua orang turut membantu, dia yakin bisa mencintai Larasati seperti ibu-ibu lain di klinik tumbuh kembang.

Ya... pasti begitu.

***

Deretan buku psikologi anak sudah terpampang di hadapan. Gina sibuk memilih buku mana yang hendak dibacanya. saat menoleh ke kanan, dia baru menyadari kalau Larasati tidak ada di tempatnya tadi berdiri.

"LARAAS!" Serta merta Gina menjeritkan nama putrinya. namun, belum sempat dia berteriak untuk yang kedua kali, tiba-tiba matanya melihat sosok yang dicarinya tengah duduk beberapa meter di bagian kanan.

Larasati tengah duduk menekuri sebuah buku dengan khidmat. Matanya terlihat berbinar kala membalik-balik halaman di sana dengan cepat. Gina tahu Larasati hanya melihat-lihat gambar-gambar di sana. Dia bahkan belum mau membaca dengan lancar. Bicara pun hanya sepatah dua patah kata yang dia mau saja.

"Sayang? Lagi baca apa?"

Larasati bergeming. Dia enggan menjawab dan sibuk menikmati buku digenggamannya. Tangannya membelai halaman dengan gambar korban pembunuhan tertusuk punggungnya. Gina mengangkat alisnya.

"Yuk, pulang." Gina mengambil buku itu perlahan.

Tiba-tiba Larasati marah dan mendorong Gina. "Punya laras!" jeritnya melengking. Bocah perempuan itu bahkan mengambil beberapa buku dengan judul yang sama dari rak buku dan mendekapnya sembari duduk bergelung di sudut rak buku.

Gina terperanjat. Baru sekarang Larasati mengatakan keinginannya dengan jelas. Biasanya hanya berteriak-teriak tidak jelas meskipun dia sudah pandai bicara.

"Mau Mama belikan?"

Teriakan larasati yang menarik perhatian banyak orang langsung terhenti.

"Mama akan belikan semua untukmu."

Larasati langsung berdiri dan menghambur ke pelukan Gina. "Terima kasih, Maaaa!" satu pelukan yang begitu hangat dan lama terasa menyesakkan di hati Gina.

Larasati begitu mencintainya. Meski di tempat terapi dia selalu memberontak, tapi di rumah, Laras hampir selalu tenang. Hanya ketika Mamik datang, Larasati kembali berulah. Seolah dia bisa membaca ketidak sukaan dirinya pada wanita baya itu.

Ada senandung kecil terdengar dari mulut Larasati ketika mereka mengantre di kasir, mulutnya tak berhenti-berhenti mengoceh dan mengeja buku di tangannya. Betapa bahagianya.

Lalu, baru saja mereka keluar dari toko buku, gawai Gina bergetar. Sebuah pesan masuk.

"Kamu ke mana belum pulang?!"

Belum sempat Gina membalas pesan mertuanya yang entah kenapa selalu saja mencari-cari kesalahannya itu, sebuah pesan lain masuk darinya.

"Jangan-jangan kamu bener-bener ke dukun buat melet Hadi supaya cinta mati sama kamu seperti kata orang-orang!"

Gerakan tangan Gina yang hendak mengetik balasanpun terhenti.

Jangan Ada Lara (Tamat)Where stories live. Discover now