Bab 15

108 10 0
                                    

Suara dering telepon kembali terdengar. Gina melihat siapa yang menelponnya. Bisma.

Suara salam yang langsung dibalas dengan penuh suka cita. Sejak mengetahui kalau Gina resmi bercerai dengan Hadi, Bisma semakin sering menelepon.

"Laras mau makan malam apa? Aku mau pulang sekalian mampir sebentar."

Gina termangu. Meski dikatakan "sekalian mampir", hal yang dimaksud oleh Bisma tentu menyengajakan diri untuk mampir ke tempatnya. Hl itu karena rumah bisama dan Gin tidka bisa dibilang dekat meski juga tidak terlalu jauh. Gina tak ingin merepotkan.

Akan tetapi, dwnita itu tak isa menampik betapa bahagia hatinya saat mengetahui kalau ad ayang peduli padanya. Ada yang bisa dia jadikn tempat berkisah. Bahkan orngtuanya sendiri mulai enggan mendengarkan keluhnya tentang laras. Mereka hanya ingin laras segera dibuang agar Gina bisa lekas kembali menjalanin hidupnya dengan normal.

Bagaimana gina mampu?

Seburuk-buruknya perlakuan larasati, sudah dua belas tahun dia berjuang mati-matian membimbing gadis itu hingga sekarang. Dialah yang begitu bejuang untuk mendidiknya banyak lofe skill meski masih jauh dari sempurna. Larasati adalah hasil perjuangannya. Meski cinta tak sepenuhnya nyata, tapi dia juga tak tega menelantarkankan gadis itu.

"Enggak usah repot-repot, Kang, aku udah masakin laras, kok."

"Memang masakan mamanya adalah yang terbaik. Kalau nbegitu, aku belikan buku detektif aja, ya."

Gina salah tingkah. "Aduh, kan baru mingu lalu dibeliin. Masa harus dibeliin lagi?"

Tawa renyah terdengar di telinga Gina. "Kan pasi laras udah habis membacanya. Kamu tahu dia anak cerdas. Dia bisa cepat seklai membaca satu novel detektif."

Gina tertawa mengingat bagaimana larasa bisa membaca satu novel setebal 300 halaman hanya dalam beberapa jam. Bahkan dirinya saja tidak mampu melakukannya. Dan apa tadi yang Bisma katakan? Larasati cerdas?

Ada haru meruak kala mendengar kata-kata positif tentang putri tunggalnya itu. Larasati selama ini hanya dihadiahi makian, hinaan, cibiran, juga semua tentang kekacauan yang bisa dia dapatkan. Namun, bersama Bisma, hanya aformasi positif dan dukungan-dukungan yang didapat.

"Makasih banyak Akang selalu mendukung Laras. Gina... sanat berterima kaish. Sungguh." ucapan tulis terdengar sendu seolah berusaha menutupi tabir duka yang merayap.

"Gina? Kamu nggak apa-apa?"

Ya Tuhan, Gina merasa lututnya begitu lemas. Bahkan saat hatinya terasa kembali tersayat, Bisma bisa mengenali hanya dengan mendengar suaranya. Sesal itu kembali hadir. Seandainya dia menikahi bisma,. Seandainya larastai tetap lahir ke dunia, mungkin semuanya tidak akan seburuk ini.

Larasati akan memiliki sosok ayah yang rajin membimbingnya. Bersama dengannya sebanyak yang ia mampu. Menemanini dan mendukungnya tanpa ragu.

Gina menarik napas menenangkan dirinya. Dia tak boleh merepotkan Bisma lebih banyak lagi. "Gina nggak apa-apa, kang., Hanya sangat terharu. Selama ini, larasati sellau dicaci. Bahkan oleh semua kakek dan neneknya. Hanya Kang bisma yang mau menerima laras."

Tak ada yang berbicara sesudahnya. Kesunyian menyergp ketika embus napas terdengar perlahan. "Gin, Allah nggak akan menciptakan manusia yang nggak sempurna di mata-Nya. Hanya di mayta manusia saja ketidaksempurnaan itu hadir. Kita yang menetapkan standar kesempurnaan itu sendiri. Padahal laras juga manusia yang diciptkana Allah dengan ujuan-Nya. Kita mungkin belum tahu tujuannya. Namun, aku percaya bahwa laras jadis ke dunia untuk dicintai, bukan untuk dibenci."

Gina menelan salivanya dengan berat. Satu bulir air mata mengalir di sudut matanya. Kalimat bisma menusuknya dalam-dalam. Dia mencari sebuah kesempurnaan pesta pernikahan dan bayarannya begini mahal. Sementara Bisma mencari ridho Tuhannya hingga semakin mendekat dan semakin dilimpahi rezeki dan kebahagiaan meski masih juga melajang. Mungkin inilah keadilan Tuhan juga hukuman yang harus diterimanya.

Jangan Ada Lara (Tamat)Where stories live. Discover now