Bab 9

77 10 0
                                    

Di dalam kamarnya, Gina termangu. Dia duduk di sudut kasur, bersandar dengan dinding dan memeluk bantalnya. Membiarkan dingin AC merengkuh hatinya yang masih terbakar. Kamar dibiarkan gelap supaya dia bisa berpikir lebih jernih. Berharap ketenangan akan mengaliri batin hingga dia tak perlu lagi menjerit frustrasi pada perlakuan suami dan mertuanya.

Sesungguhnya Gina sedikit merasa bersalah telah bersikap tidak sopan pada Bu Mamik. Namun, kenapa semua orang mendesaknya hingga lepas kendali? Kenapa bukan dukungan yang diterimanya selama dua belas tahun pernikahan? Memang ke mana mertua dan suami yang umumnya membantu atau setidaknya tidak menjatuhkan perjuangan seorang istri sekaligus ibu.

Bahkan Kang Hadi pun kini tidak lagi memihaknya. Gina merasa seperti seorang single mother. Tersaruk sendirian tanpa ada sandaran. Semua terasa menyesakkan. Seperti karat yang perlahan tumbuh, di kedua kakinya, pelan tapi pasti dia merobohkan semua pertahannya. Bahkan Bisma yang sekadar kebetulan bertemu pun menjadi sasaran kemarahan tidak masuk akal suami dan mertuanya.

Ternyata begini rasanya fitnah bertubi menyerang. Ternyata, sakitnya jauh lebih terasa dibanding kematian. Gina bahkan merasa bagaimana jika dirinya mati saja. Dengan begitu, mungkin dia akan bisa tenang di surga.

Benarkah?

Gina tertawa getir. Ada selangsa pahit menguar dari air mata yang kini justru kembali menggenang. Apa dirinya pernah salat? Kapan terakhir kali dia menunduk dan menghamba pada Tuhan yang menciptakannya.

Larasati menyita waktu.

Selalu itu yang dijadikan dalih untuk membela diri pada ketidaksempatan Gina untuk sekadar menunaikan ibadah wajib selama 10-15 menit. Nanti Larasati begini, Larasati begitu. Semua kesalahan selalu dilimpahkan pada bocah yang bahkan belum tampak mengerti banyak hal itu.

Mungkinkah ini justru hukuman dari Tuhan karena dia tidak pernah salat? Tidak pernah berdoa dan memohon kemudahan atas segala cobaan? Inikah bentuk kasih sayang Tuhan padanya? Agar Gina kembali bersujud dan berdoa?

Gina menyusupkan kepalanya ke bantal. Membiarkan semua duka yang seperti luka bernanah itu keluar dalam setiap air mata. Namun, tak bisa dipungkiri, dia sangat ingin Larasati lenyap dari dunia. Agar dia bisa hidup dalam damai. Hantaman itu terasa kembali di dada. Ternyata begini sakitnya. Anak itu benar-benar ujian, bukan anugerah seperti yang dialami banyak orang.

***

Setelah puas menangis selama hampir dua jam, Gina pun akhirnya memutuskan untuk melakukan gencatan senjata. Meski bukan wanita salihah, tapi dia tahu kalau salah satu kebahagiaan suami adalah kebahagiaan ibunya. Dia hendak bicara dulu dengan Kang Hadi sebelum pergi. Namun, mobil kang hadi tidak ada di mana pun.

"Kang?" Gina terlihat bingung dan memanggil suaminya lirih. Hadi benar-benar tidak ada di rumah.

Dikirimkan pesan untuk suaminya itu untuk menanyakan ada di mana dia sekarang. Namun, tidak ada balasan sama sekali. Dibaca pun tidak. Gina menarik napas.

Ke mana perginya dia? Batin Gina semakin heran. Bukannya membantu Gina untuk berdamai, tapi malah menghilang. Gina pun sempat mengintip rumah Bu Mamik dan mobil suaminya pun tidak ada di sana. Rasanya tidak mungkin jika Kang Hadi kembali kerja ke Cimahi. Bukankah rapat sudah usai siang tadi? Harusnya, memang malam ini jadwal dia sudah kembali ke rumah.

Gina tak punya waktu. Dia tak mungkin menunggu esok untuk meminta maaf pada Bu Mamik. Mertuanya bisa lebih marah besar kalau masalah keduanya tidak diselesaikan secepatnya.

Dengan memastikan kalau Larasati sudah tenang tidur lebih awal, Gina pergi membeli martabak telur spesial kesukaan Bu Mamik. Tak lupa acar yang dipesan lebih banyak. Gina sebenarnya cukup perhatian dengan semua kesukaan Bu Mamik. Berusaha sebaik mungkin menjadi menantu yang baik. Namun, sebesar apa pun usahanya, tidak pernah berarti di mata Bu Mamik.

Jangan Ada Lara (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora