Bab 6

100 9 0
                                    

Bisnis Hadi yang berkembang pesat, ikut meningkatkan taraf perekonomian keluarga. Setidaknya, setelah rutin mengantar jemput Larasati ke klinik tumbuh kembang sejak empat tahun lalu, saat ini Gina tak perlu lagi berhimpitan di dalam angkot yang panas dan pengap. Sebuah mobil kecil berwarna merah cabai dengan jok mobil warna senada sengaja Hadi belikan untuk aktivitas Gina setiap kali harus keluar rumah.

Setidaknya Gina tak perlu lagi merasa jengah menghadapi nyinyiran dan tatapan jijik orang-orang yang melihat wajah Larasati. Meski mobil merah itu tak sebesar dan senyaman milik Mamik, namun perhatian Hadi untuk sang istri ini cukup membuat berang hati Mamik.

"Kamu itu jangan suka memanjakan istri dengan membelikan mobil segala. Ntar kerjanya cuma kelayapan dan menghamburkan uang suami saja!" Bu Mamik mencebik kala Hadi bertandang ke rumahnya.

"Kasihan juga, Bu kalau setiap kali ke klinik tumbuh kembang, Gina harus naik turun angkot," bela Hadi. "Kalau ada apa-apa dengan Gina di jalan kita juga yang akan repot." Imbuhnya.

"Halah, Kamu itu ya selalu saja membela wanita gak bener itu! Coba dari awal nurut nikah dengan Marni, pasti sekarang sudah bahagia dengan anak yang lucu!" Bu Mamik yang tak senang mendengar putra kesayangannya selalu membela istrinya memilih untuk berlalu dan meninggalkan Hadi seorang diri di ruang makan.

Hadi sangat paham akan sifat ibunya, daripada memperuncing perdebatan yang tidak ada habisnya, dia memilih untuk bergegas pulang. Sampai kapan pun, Hadi akan terus berupaya untuk mengakurkan dua wanita yang sama-sama dicintai karena dia ingin rumah tangga yang dibina bersama Gina menjadi semakin berkah dan harmonis dengan restu dari kedua orang tuanya.

"Adek sudah siapkan empal gepuk kesukaan, Akang makan ya," ujar Gina begitu melihat sosok suaminya di ambang pintu.

"Ndak usah, Dek. Akang sudah makan di rumah ibu," jawab Hadi lembut sambil mencium puncak kepala sang istri.

Meski ada setangkup rasa kecewa kala usahanya berjibaku di dapur demi menyiapkan menu favorit suaminya tak berbuah, Gina berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikan perasaan itu dari suaminya. Langkahnya ringan menuju dapur, tangannya pun tampak begitu terampil meramu kopi dan gula dengan takaran yang pas.

Aroma kopi yang menguar tercium begitu wangi dan menggoda untuk segera disesap. Gina paham betul bahwa untuk menyajikan segelas kopi yang nikmat, selain air yang digunakan harus benar-benar mendidih, perbandingan antara jumlah kopi dan gula juga harus sesuai. Jika tidak, alih-alih dihabiskan, kopi itu akan dibiarkan dingin begitu saja oleh Hadi.

"Meski sudah kenyang, tapi perut Akang masih bisa kan untuk menghabiskan kopi ini?" Gina mengerling manja dan tersenyum penuh makna kea rah Hadi.

"Pastilah, tak mungkin Akang bisa menolak kopi spesial racikan Adek." Tak kalah sengit Hadi balik menggoda sambil memeluk tubuh sintal sang istri.

Rasa rindu yang menggelora setelah pergi ke luar kota untuk mengurus bisnis-bisnisnya, membuat Hadi tampak begitu semangat menghujani sang istri dengan pelukan dan ciuman nakal.

"Apaan sih, Kang! Kalau ada yang melihat kita gimana coba?" pekik Gina tertahan.

"Kalau ada yang melihat malah bagus lah, jadi mereka tahu bahwa Akang sangat mencintai Adek!" alih-alih menghentikan keusilannya, Hadi justru semakin menggebu membenamkan tubuh Gina ke dalam pelukannya.

Romantisme kecil dalam rumah tangga yang harus selalu terjaga, sehingga masing-masing pihak bisa saling memiliki dan menjaga. Dengan demikian peluang munculnya pihak ketiga yang akan menghancurkan biduk rumah tangga dapat disingkirkan.

"Pletak!" sebuah boneka beruang mengenai kepala Hadi.

Hadi dan Gina saling berpandangan ketika menyadari boneka beruang kesayangan Larasati yang telah mengenai kepalanya. Di pintu kamar tampak Larasati mematung dengan tatapan marah ke arah Hadi. Menyadari perubahan mimik wajah pada putri kecilnya, Gina bergegas menghampiri dan memeluk tubuh Laras.

Jangan Ada Lara (Tamat)Where stories live. Discover now