15

29 6 0
                                    

Ditulis oleh Kak Puingpahing

Gemintang di langit pekat
Ia hadir bak pelita
Jiwa yang kelam akan kata
Terkuak sudah segala lara
Bak bunga mekar di taman
Kutunggu kau di senja yang indah

***

"Busuk!" Gusta mengumpat di ruang kerjanya. Ia melempar beberapa dokumen dari meja kerja. Sekretarisnya menunduk melihat atasannya memaki.

"Aliman benar-benar kurang ajar!" umpatnya lagi. "Tolak semua permintaan kerja sama, tidak sudi aku kerja sama dengan musang macam dia!"
Sekretaris itu mengangguk dan undur diri dari ruangan kantor sang CEO, meninggalkan sang bos berkeluh kesah sendiri.

Gusta lagi-lagi mengembuskan napas beratnya. Ia meneguk air mineral dan kembali mengembuskan napas. Ada yang salah soal kasus Alisha. Ada yang tidak beres dan ini berkaitan dengan Aliman. Gusta berpikir keras. Tiap kalimat yang diucapkan Aliman di telepon ia cerna baik-baik. Juga kalimat bernada ancaman persoal putri sulung Gusta, Alisha Rose yang kini nasibnya di ambang batas lantaran kasus pembunuhan Alan Pramoedya.

"Jangan banyak tingkah, aku meminta kita berbisnis baik-baik, kenapa menolak?" Aliman berkata di telepon sejam yang lalu.

"Tiga agenda pekerjaan bersama kita rusak bukan? Kau banyak diuntungkan dan aku hanya jadi arena seni pentas." Gusta menolak.
"Hei Pak, ini bukan masalah besar, ayolah kita kembali jalin kerja sama. Dulu karena film kalah debut, jadi harap maklum kalau tekor." Aliman berkelit.
"Aku bilang tidak!" Gusta berseru.
"Sungguh tidak butuh uang untuk pembebasan anakmu?" Aliman seakan mendapat kartu As dengan menyebut begitu.
"Hei!" Gusta naik pitam. Ia jelas menyembunyikan masalah Alisha di ranah publik, bagaimana dia tahu. "Aku tidak butuh uangmu!" lanjut Gusta seraya menutup telepon.

Gusta memegangi keningnya yang berdenyut. Obrolannya dengan Aliman membuat tekanan darahnya naik.

"Adrian, jadilah penyidik yang benar. Jangan menghukum orang yang tidak bersalah." Gusta mengirim pesan ke anak bungsunya.
Ia yakin, Alisha tidak bersalah.

***

"Icha, makanlah." Bimo berkali-kali berusaha menyuapkan bubur ke mulut Alisha. Gara-gara diinterogasi lagi, Alisha ambruk dan kembali di rawat di ruang khusus perawatan pasien. "Icha, please." Bimo terus mendesak Alisha untuk makan.

"Aku tidak mau makan sampai Adrian mempercayaiku, ia harusnya percaya aku bukan pembunuh." Alisha menangis lagi.

"Icha, jangan keras kepala!" Bimo tampak kesal.

"Kamu makan dulu, nanti aku cari adikmu yang bandel itu." Bimo mencari alasan seperti menyuruh seorang anak balita untuk makan.

"Kamu lihat sendiri kan? Gimana sikap Ian, dia malah dekat sama Cherry!" Alisha berseru.
"Ssstt ...." Bimo meminta Alisha menahan suaranya.

Dari arah pintu seseorang tampak datang. Adrian, ia tersenyum melihat kakaknya yang masih merajuk.

"Aku dengar apa yang kalian bicarakan," ucap Adrian sembari duduk di dekat ranjang Alisha.
Alisha tidak menjawab. Ia malah memasang muka masam. Bimo menahan tawa melihat kelakuan adik kakak itu.

"Merajuk dia," bisik Bimo.

Adrian menahan tawa. "Sini." Ia meraih mangkuk bubur di tangan Bimo. "Biar aku yang menyuapi princess Elsa," gurau Adrian.

Alisha menoleh kesal.
"Sini, gue makan sendiri." Alisha merebut mangkuk bubur di tangan Adrian dan memakannya. Bimo dan Adrian tersenyum lega melihat kelakuan Alisha.

"Gue khawatir sama keadaan Alisha," ucap Bimo saat ia dan Adrian tengah berjalan di koridor. Jadwal kunjungan telah usai. Bimo akan kembali ke kantor demikian pula dengan Adrian.

"Lo tenang aja, jaga Alisha baik-baik," pinta Adrian sembari memegang bahu menejer kakaknya itu.

"Gue minta tolong, temukan kebenaran dibalik semua ini." Bimo berucap dengan mata penuh harap. Seakan ia gantungkan separuh harapannya mengenai kasus ini pada Adrian. Adrian pun mengangguk pasti. Bimo lantas berjalan meninggalkan sang penyidik muda itu. Memasuki elevator dan hilang di balik pintu yang menutup.

Adrian menghela napas, lantas ia kembali berjalan menyusuri koridor. Jendela kaca besar memamerkan pemandangan gedung-gedung tinggi menjulang. Senja mulai tampak. Matahari telah turun ke barat. Adrian bertekad harus memperbaiki ini semua, mengupas tuntas kasus yang semakin lama melingkar di kepalanya. Adrian bertekad.

***

Dua hari lalu, di koridor tempat Adrian berdiri. Tampak seorang laki-laki baya berdiri dengan seorang penyidik.

"Siapa yang menangani kasus ini?" tanya Aliman pada penyidik di hadapannya.

"Tim 1, termasuk Lena dan saya." Penyidik itu memberi tahu.

"Jangan panggil Cherry lagi," pinta Aliman.

Penyidik yang tidak lain adalah Suhendi menggeleng. "Jika Cherry terbukti bertemu Alan, dia juga akan dipanggil lagi." Suhendi menjelaskan.

"Butuh berapa kalian?" Aliman bermaksud buruk.

"Maaf, kami tidak seperti itu." Suhendi menolak dengan tegas. Tepat saat seseorang keluat dari elevator.

"Siapa dia? Apa penyidik juga?" Aliman bertanya.

"Adrian, dia yang awalnya ketua tim kami," terang Suhendi.

"Kau benar-benar tidak bisa diharapkan." Aliman terlihat kesal.

"Maaf Paman, ini prosedur penyelidikan. Sudah menjadi aturan dalam sumpah jabatan kami." Suhendi menolak dan berjalan bersama Adrian menuju kantornya.

"Siapa dia?" Adrian sempat bertanya.

"Ayahnya Cherry," jawab Suhendi sembari menutupi kalau Aliman masih kerabat dengannya.

Adrian menoleh dan melihat pria baya itu berwajah kesal. Ia memasuki elevator tanpa menoleh ke dua penyidik yang berjalan di koridor.

Kenapa wajahnya gusar? Untuk apa menemui Suhendi? Tanya berkelebat di pikiran Adrian.
Hingga, saat ia berkunjung ke rumah Cherry, dan mendengarkan apa yang anak dan Bapak itu bicarakan.

"Apa aku katakan ke semua orang kalau di restoran itu bukan aku!" Suara Cherry terdengar jelas. Adrian berdiri di pintu ruang kerja Aliman. Mendengarkan dengan rasa terkejut yang membuncah. Apa yang Cherry katakan? Ada kebohongan kah di balik semua ini?

"Diam kamu!" Aliman berseru sembari mengangkat tangannya ke udara. Sedetik saja telapak tangan itu akan mendarat di wajah cantik Cherry. Sebelum Aliman menahannya karena melihat sekelebat gerakan di pintu.

"Siapa?" Aliman terkejut dan keluar ruang kerjanya. Cherry menyusul di belakang.
Keduanya melihat Adrian duduk di kursi tamu dengan tenang. Cherry dan Aliman saling pandang.
Pertengkaran mereka mereda seketika, kemarahan bak melebur jadi abu. Pemikiran keduanya kini sama, apakah Adrian mendengar ucapan mereka?

Cherry berusaha mencairkan suasana. Ia mengajak bicara Adrian persoalan lain. Tapi, Adrian tidak bisa berkonsentrasi. Ia tidak bisa menghentikan otaknya untuk mencari kebenaran. Ada yang disembunyikan Cherry dan Aliman. Sesuatu yang besar. Sesuatu yang seharusnya mereka ungkap. Sesuatu yang berkaitan dengan kasus pembunuhan sang CEO, Alan Pramoedya.

***

Rintik gerimis tampak di kaca besar puluhan meter di atas tanah. Adrian masih mematung di depan kaca. Bergeming memikirkan sesuatu.
"Bukan Cherry yang di restoran itu," gumam Adrian.

Ia berbalik arah. Menuju ruang bukti di kantornya. Ada yang harus ia periksa. Secepat ia bisa. Segera mungkin, karena kebenaran ini harus diungkap!

***

CIRCLE OF LOVE Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon