19.

24 6 0
                                    

Di tulis oleh Kak Puingpahing

***

Sesal tiada guna
Tangis haru membungkus waktu
Ia terpekik di lorong sunyi
Berteman sepi

***

"Berhentilah menangis," Bimo menepuk bahu gadis cantik yang masih duduk di ranjang pasien. Kondisinya masih belum stabil demikian pula dengan emosinya. Ia masih kerap menangis sendiri. Terkadang pula tampak ceria. Kata dokter, ia sedikit mengalami goncangan akibat stres. Padahal, kondisi itu tidaklah bagus untuk seorang wanita yang tengah berbadan dua.

"Gimana gue nggak nangis, nasib gue gini amat," rengeknya lagi. Alisha menyeka air matanya dengan punggung tangan. Wajahnya tampak pucat tak bersinar seperti sebelumnya.

Alisha Rose Pratama. Bimo pertama kali mengenalnya di agensi Allow Management milik Alan Pramoedya. Ya, betul. Alan lah yang membawa Alisha hingga menjadi artis terkenal. Di bawah naungan Alan, karir Alisha meroket. Bimo yang saat itu awalnya penata rias, akhirnya digandeng Alisha untuk menjadi manajernya. Keduanya sering bersama, sedikit banyak Bimo tahu tentang Alisha, begitu pula sebaliknya. Termasuk hubungan Alisha dengan Alan pun Bimo mengetahuinya.

"Cha, jangan sama Alan," ucap Bimo kala itu. Bimo sangat mengetahui bagaimana watak bosnya itu. Dia tidak akan setia pada satu wanita. Berani jamin, toh nyatanya berapa kali Alisha diselingkuhi. Ah, atau Alisha juga salah satu dari selingkuhannya. Entah mana yang benar-benar di hati Alan. Nyatanya sampai mati juga tidak ada yang tahu.

Alisha tidak bisa dikasih tahu. Ia tetap saja berhubungan dengan Alan. Satu hal, mungkin karena Alisha sudah mencintainya. Bagi Alisha, Alan adalah seseorang yang membantunya menggapai impian. Tentu saja, Alisha sangat mencintai Alan. Ibarat, saat ia diusir dan bimbang entah ke mana, Alan justru merangkulnya dan mengorbitkannya semakin menjulang. Mana bisa Alisha tidak cinta.

"Awalnya gue cuma ngerasa berterima kasih banyak dibantu Alan, gue jadi kagum, dan bergantung apa-apa ke dia. Lama-lama, gue cinta," terang Alisha polos di suatu malam. Bimo cuma menggeleng-gelengkan kepala. Jelas, Alisha sudah tahu kelakuan Alan, bagaimana ia masih cinta.  Apa benar cinta itu buta? Ah, sebuta apa sampai gadis cantik dan tenar ini tak melihat kejelekan cintanya.

Karena itulah Bimo yakin, Alisha tidak mungkin membunuh Alan. Bahkan, kalau Alan menikahi Cherry sesuai dengan perjodohan itu pun. Alisha mungkin tetap mau dijadikan kekasih gelapnya. Alisha sudah jatuh terlalu dalam di dunia yang disebut cinta.

"Masalah kontrak kerjasama gue gimana?" Alisha bertanya serius pada menejernya.

"Sudah aman semua, yang perlu lo lakuin adalah menjaga kesehatan supaya kalau diinterogasi lo bisa jawab dengan benar!" Bimo memberi tahu.

"Apa Ayah mengurusnya?" tanya Alisha.

Bimo mengangguk, "Pak Gusta juga sudah menyewa pengacara untukmu. Sekarang semua pasti baik-baik saja," tutur Bimo tenang. "Sudah, jangan menangis lagi dan makan yang banyak." Bimo mengambilkan bubur untuk Alisha.

Namun, gadis di hadapannya itu malah berlinang air mata. "Loh kok malah nangis," protes Bimo.

"Ayah masih peduli, padahal gue anak durhaka," lirih Alisha di antara isak tangisnya.

"Hei, lo nggak boleh bilang gitu." Bimo menepuk bahu Alisha. Mengusap rambut panjang gadis cantik itu.

"Gue nggak pernah patuh sama ayah, nggak pernah mau ngelakuin apa saja yang ayah perintahkan," kenang Alisha penuh sesal. "Andaikan gue nggak terjun ke dunia artis, andaikan gue memilih pekerjaan sesuai pinta Ayah," lanjutnya sembari mengusap air mata yang menetes di pipinya.

"Hei, elo punya pilihan hidup, nggak usah disesali. Semua ada hikmahnya." Bimo mencoba menghibur artisnya itu.

Alisha mengangguk meski rasa pedih masih terasa. Rasa bersalah pada sang ayah maupun bunda yang sudah lebih dulu meninggalkannya.

Siang itu langit membara, panas bukan kepalang. Sama seperti panasnya hati Alisha mengingat masa lalunya. "Maafkan Icha, Ayah," lirihnya pilu.
***
"Ada apa dengan kopi?" Suhendi bertanya pada Adrian yang masih memandangi buih expresso di gelasnya.

"Pesanan Aliman, jelas bukan untuk Cherry." Adrian mengulang kembali kesimpulannya saat menyelidiki kasus ini di restoran Apung Ancol.

"Lantas untuk siapa?" Suhendi mempertanyakan.

"Seseorang yang bersama Aliman dan harus disembunyikan Aliman dari publik." Adrian mengetukkan pena di kaca yang melapisi meja kerjanya.

"Siapa?" Suhendi terus mendesak.

Adrian mengerang kesal, "aaaarrgh! Lo pikir gue dukun!" seru Adrian.

Suhendi tertawa melihat kawannya kesal. "Yang harus kita pastikan, siapa orang yang dekat dengan Aliman, barang kali saja salah satu di antara mereka." Suhendi memberi saran.

"Good, seperti itu seharusnya partner!" Adrian menepuk bahu rekan kerjanya itu. "Dan wanita itu memiliki postur tubuh yang hampir sama dengan Cherry." Adrian melanjutkan.

"Postur mungil yang menggemaskan?" Suhendi meledek.

"Ish!" Adrian mendelik dibuatnya. Tapi, ia tetap tertawa.

"Katena postur itu, bukan kamu jatuh hati?" Suhendi menelisik hati Adrian. Siapa tahu, penyidik yang dingin itu membuka sedikit rahasia cintanya.

"Aku nggak tertarik," elak Adrian berbohong. Tapi, Suhendi tak bisa tertipu. Ia jelas melihat ada sesal di pandangan mata Adrian.

"Tidak mungkin ia tidak jatuh cinta," batin Suhendi menyayangkan perasaan Adrian pada Cherry.

"Baik, kita mulai penelusuran dari kantor Aliman, siapa tahu kita menemukan jawaban." Adrian memberi saran.

Suhendi mengangguk. Ia memang sudah merencanakannya. "Aku akan berpura-pura menerima tawaran Aliman untuk menutup kasus ini, jadi aku bisa bertemu Aliman di kantornya."

Adrian tersenyum mendengar niat Suhendi. "Aku lebih baik tidak ikut, Aliman mengenaliku dekat dengan Cherry, dan aku adalah adik Alisha."

Suhendi mengangguk.

"Aku akan mencoba mencari ada rahasia seperti apa antara Aliman dan Alan," ucap Adrian mantap.

Keduanya sama-sama menatap kaca besar yang terpampang di depannya. Kaca yang menampakkan pemandangan kota metropolitan dari ketinggian puluhan meter di atas tanah. Hanya tampak gedung-gedung menjulang yang menantang cakrawala.

Langit mulai berwarna jingga, senja menawan.

Sebuah dering telepon berbunyi.
Triiiing
Adrian menerimanya.
"Adrian, tolong aku," lirih suara Cherry dari seberang. Dan tuuuuuuut

Telepon terputus.

***



CIRCLE OF LOVE Where stories live. Discover now