Epilog

110 9 1
                                    

Ditulis oleh Kak Puingpahing

*****

Epilog

Setahun kemudian

Cherry duduk di ruang tunggu. Seseorang hendak menemuinya. Wajah Cherry surut oleh waktu. Pengadilan telah memvonis hukuman yang setimpal. Ia tak lagi bisa mencium wangi dedaunan segar yang menenangkan jiwa. Hidupnya terkunci di tempat dingin ini.

"Aku menyukai tempat dingin, tapi tempat ini selalu membuatku menggigil," gumamnya saat seseorang memasuki ruangannya dan duduk di seberang meja.

"Adrian," sapa Cherry.

Adrian menatap Cherry dengan tatapan iba. Ia sangat menyayangkan Cherry hanya mengakui semua ia lakukan sendiri tanpa alasan lain yang harusnya menyeret Aliman Yustanagara.

"Kamu masih mau menanggung semua ini sendiri?" Adrian mempertanyakan. Seharusnya Cherry mengaku kalau rencana semuanya ini bersumber dari sang ayah. Namun, Cherry memilih bungkam. Ia bahkan dengan sangat percaya diri mengakui semua adalah rencananya, urusannya, dan tidak ada sangkut pautnya dengan sang ayah.

"Jika semua terulang lagi pun, aku tetap akan menanggung ini sendiri." Suara Cherry terdengar lemah.

"Kenapa?"

"Karena mama." Jawaban Cherry menggetarkan hati Adrian. "Mama seharusnya memang bersama papa, aku memberi kesempatan pada papa untuk memperbaiki semuanya, semua rasa sakit mama. Papa lah yang harus menerima hukumannya. Ia harus menjaga mama sampai sembuh, jika tidak papa akan dihukum di neraka." Kalimat Cherry terdengar sangat berat.

Adrian tersenyum miris mendengarnya. Cherry bahkan mengorbankan hidupnya sendiri.

"Kamu tahu, apa yang paling aku syukuri dari semua ini?" tanya Cherry.

Adrian menggeleng.

"Mama dan papa kembali bersama, dan kesehatan mama membaik."

Cherry sangat naif. Tidak mungkin ia mensyukuri hal seperti itu sementara dirinya sendiri terkurung di balik jeruji besi.

"Tetap jaga kesehatan, kau juga harus sehat dan kuat. Bertobatlah karena apa yang kamu lakukan benar-benar mengerikan untuk seseorang seperti kamu." Adrian oelan berucap.

Cherry tersenyum, "aku kira kamu ke sini untuk memberikan aku undangan pernikahan, ternyata untuk menasihatiku," kali ini Cherry yang tersenyum miris.

"Undangan pernikahan? Aku tidak memikirkan ke sana, pekerjaanku masih banyak." Adrian mengelak.

Cherry tertawa. Terbesit rasa lama yang terpendam jauh, jauh bahkan sekedar untuk dibuka kembali. Sudah tidak lagi pantas.

Adrian pulang setelah bercakap dengan gadis itu. Ia yang memilihnya sendiri. Kehidupan tragis di balik jeruji besi.

***

Senja berwarna jingga. Adrian pulang ke rumah. Gelak tawa bayi kecil menghiasi ruangan. Alisha sedang menimang sang putra. Gusta tak lelah menggoda cucunya.

"Baru pulang?" Bimo menyapa seraya menepuk bahu Adrian.

Adrian mengangguk sembari tetap memandangi keceriaan mereka.

"Beristirahatlah, kamu sudah bekerja keras." Bimo menasihati Adrian dan kini ia duduk di sofa bersebelahan dengan Alisha.

"Sini, sama Daddy sayang!" seru Bimo seraya menggendong bayi mungil yang sudah bisa tertawa itu. "Lihat ada ucle tuh!" Mereka saling menujukkan kedatangan Adrian ke tengah-tengah mereka.

Begitulah seharusnya keluarga, berkumpul bersama tanpa sekat yang memisahkan. Meski tangis pedih atau tawa ceria, keluarga adalah pangkal utama dalam kehidupan. Juga tujuan, dan rumah untuk kita pulang.

Adrian memasuki kamarnya, foto sang Bunda tersenyum di meja. Adrian mengusapnya dengan lembut.

"Bunda, lihatlah ayah dan Alisha sudah menemukan kebahagiaan mereka, bahagialah bunda di surga." Adrian mengusap lembut foto wanita bersanggul dengan bibir manis tersenyum itu.

***

"Icha ... Icha ...." Bocah lelaki kecil berlarian mengejar kakaknya. "Icha ... " Seolah tak ingin tertinggal bocah lelaki kecil itu mengejar sang kakak tanpa lelah. Sang kakak berlarian ke sana kemari. Namun ia berhenti, menangkap sang adik dan memeluknya dengan hangat. Keduanya terjatuh dan berguling di rerumputan.

Orang tua mereka mendekat. Sang bunda mengangkat adik, dan ayahnya mengangkat sang kakak yang turut terhuyung.

"Anak-anakku, saling mengasihilah selamanya, kalian kakak beradik. Saudara satu sama lain," sang Bunda mencium dua anak kesayangannya bergantian.

Terik mentari tak membakar hati. Cinta mereka menyejukkan rasa. Cinta keluarga, selamanya.

***

Adrian tersenyum teringat masa kecilnya yang manis dan menyenangkan. Kehangatan di antara keluarga. Sangat terasa membekas begitu dalam. Meski seiring kedewasaannya hatinya menjadi dingin. Ah, melihat apa yang terjadi hari ini. Adrian mengerti, melihat mereka bahagia rasanya Adrian pun merasakan hal yang sama. Kebahagiaan.

Mungkin, itu alasan Cherry memilih tidak menyeret sang ayah masuk dalam lingkaran kasus yang menjerat dirinya. Karena ia ingin keluarganya tetap utuh. Tetap bisa melihat orang yang disayangi bahagia, meski dirinya harus berkorban.

Adrian mengembuskan napas lega. Jalannya memang seperti ini. Lingkaran cintanya pada keluarga bisa menyejukkan hatinya yang kering. Bak gerimis di ranting kering, menciptakan tunas-tunas baru yang tumbuh.

Cintanya memang belum terwujud, tapi cinta pada keluarganya mampu menopangnya bangkit demi menjalankan profesinya yang penuh tantangan.

***

Selamat jalan kekasih
Rinduku di tepi danau tak pernah habis
Ku jatuhkan ribuan kerikil demi menunjang rasa ini
Aku melepasmu untuk kembali
Melepas hatimu yang terbelenggu
Rindu mematahkan kalbu
Cinta berkalang nestapa
Berputar bak oase di padang gersang
Seperti putaran badai
Cintaku kandas oleh rindu yang menyayat

Selamat tinggal kekasih
***

"Cherry Yustanagara!" Seorang sipir perempuan menyebut namanya.

Gadis itu berjalan malas menuju si empunya suara.

"Ada bingkisan," ucap sang sipir sembari menyerahkan sekotak kado untuknya.

Cherry menerima dengan malas.

"Dari pacarmu sepertinya," goda sang sipir yang pasti sudah mengecek isi kado tersebut melalui alat detektor.

Cherry tak menanggapi. Ia membawa bingkisan itu ke kamar tahanannya. Melemparnya di atas tempat tidur. Dan duduk lagi di tepi jendela usang. Menatap pemandangan di luar yang juga tak membuatnya tersenyum lega. Ia sudah lupa caranya tersenyum. Meski ia lega lantaran papa dan mamanya membaik.

Ada banyak kado berbungkus kertas yang sama. Tergeletak begitu saja di atas tempat tidurnya. Ini adalah kado ke 12 tepat, satu tahun ia meringkik di tempat ini. Tidak ada satu pun kado yang ia buka. Karena semua itu hanya akan mengisi penyesalan yang dalam. Seseorang yang mengirimnya mungkin menduga Cherry akan baik-baik saja. Padahal, ia hanya akan menyesali waktu tiap mengingat pengirim kado itu.

"Andai saja ..." angan Cherry membayang. Menguar memenuhi udara. Terbang keluar dari jendela terbumbubg ke angkasa, terbungkus menjadi doa-doa yang ia panjatkan sepanjang malam.

"Andaikan aku terlahir kembali," lirih Cherry seraya memejamkan mata.

Sesal memang tiada guna

****tamat****

Akhirnya bisa menyematkan kata keramat ini 😍😍😍 "TAMAT"

Terima kasih kak @puingpah sudah sabar menulis bersama Ludith.

CIRCLE OF LOVE Where stories live. Discover now