18° - The Truth Untold 🌒

44 15 2
                                    

sebagian dari diri Yui hanyalah sebuah kepalsuan. Sebuah senyum yang berdiri menutupi setetes genangan yang mengembun di kedua bola matanya. Sebuah lilin yang menjaga semuanya agar tetap bercahaya, tapi perlahan malah menghancurkan dirinya sendiri.

Semua nya tercampur, terkadang di penghujung hari ketika hatinya benar-benar lelah. Yui tak tau harus merasakan apa lagi, hanya merenung dengan ekspresi datar. Hanya gadis biasa yang akan tertawa girang hingga menangis akan gelak, lalu menangis sendu hingga ia lupa caranya berhenti berteriak. Hanya seorang insan yang tak pernah paham akan jati dirinya.

Sudah satu jam, setelah mendengar sebuah pengakuan spesial dari sang ayah. Yui berdiri di ujung ruangan seonghwa, menghadap ke tembok dengan ujung tudung menutupi hampir keseluruhan wajahnya.

Pintu ruangan terkunci, San menuntun nya hingga ke tempat ini. Lelaki itu bilang, ia akan kembali. Lalu menjelaskan segalanya. Atau mungkin jika ketua tidak keberatan
Menjelaskannya. Maka ia akan bersedia.

Udara ruangan ini terkontaminasi bau buku. Seperti lembaran berlumut, buku-buku tua yang tersusun rapi di laci kayu. Matanya terpejam sejenak, menetralisir tubuhnya agar bergerak tidak terlalu gelisah. Semuanya bergetar hebat, bahkan untuk berjalan selangkah, kedua kakinya terasa lebih kelu dari yang seharusnya. Goncangan hebat dari seseorang yang paling ia percaya, sebuah perkataan tanpa adanya kontak fisik ternyata lebih menyakitkan.

Tak seperti luka lebam, luka ini tak bisa sembuh. Membekas di ulu hati, berhenti di ujung otak lalu bertahan disana sebagai memori buruk yang akan membuat nya kembali menangis di hari-hari lain.

Yui tersenyum, gadis itu tertawa pelan. Cekikian dengan sebuah arti di ujung pelupuk mata nya. air tak cukup menahan genangan yang menumpuk. Tangis nya dibalik tawa. Seperti sebuah tawa kekecewaan. Sebuah kepalsuan yang di sembunyikan, dan ia tak pernah mengetahuinya.

Seharusnya ia bahagia karena ternyata selama ini seseorang yang selalu ia anggap sebagai ibu yang gagal ternyata memang bukan ibu nya. Seharusnya ia merasa bersyukur karena sang ayah benar-benar melepasnya dari belenggu keluarga Han yang selalu mempersulit kebebasannya. Seharusnya seperti itu. Tapi kekecewaan ini terasa begitu berat.

Terlalu lama berfikir, kakinya terasa melemah kembali. Yui terjajar rapi bersama tumpukan buku-buku tua, sebuah spot kosong yang muat untuk dirinya berselanjar. Kedua kaki yang masih bergetar perlahan ia ajak berisitirahat. Ia menghadap kesamping menumpuk beberapa buku, membuat bantal darurat. Lalu perlahan mencoba untuk tertidur.

Jika saja ketika ia bangun ini hanyalah mimpi, pikirnya saat itu. Atau ini hanyalah mimpi ketika ia masih bertahan di ovarium seorang ibu. Mimpi pertama dari seorang bayi yang tumbuh di dalam rahim. Ia berharap semua ini hanyalah mimpi.

Karena nyatanya dunia tak seindah itu. Mungkin aroma roti di pagi hari, aroma hujan yang merubuhkan diri, atau aroma kopi yang selalu ia hirup bisa mengubah prefektif dia tentang dunia. Tapi dunia memang sehancur itu. Yui selalu berfikir untuk mati lebih awal, sayangnya ia tak pernah memiliki keberanian.

Hidup memang melelahkan, tapi mati itu terlalu menakutkan.

Tak ada yang menarik dari langit-langit kayu yang bersentuhan langsung dengan udara lembab. Serbuk kayu turun dari atas terbang bersama debu nampak jelas berbaris dari balik cahaya. Belasan kali kelopak itu bergerak gelisah meminta untuk segera menutup mata. Nyatanya Yui tak pernah benar-benar tertidur. Ia hanya memejamkan lalu membuka di beberapa saat kemudian. Hela nafas nya panjang, Gadis itu memilih terduduk.

Menyeka air mata nya yang tiba-tiba turun. Dasar lemah, pinta nya kepada diri sendiri.
Ketika Yui menyisikan sebagian ruangan di dalam dirinya, untuk tetap bernafas lebih normal, untuk tetap bertingkah lebih normal, walau getaran itu masih terasa pelan. Yui masih saja rapuh. Sebuah kotak suara yang tersisihkan di antara pangkal tenggorokan, Yui terlalu kelu untuk dikata sebagai seorang pembicara yang lancar. Nafas nya seperti tertahan di balik sesenggukan. Kenapa ia harus selemah ini.

THE MISTWhere stories live. Discover now