22° - Rain bow 🌖

41 6 0
                                    

Lalu apa yang akan di lakukan ketika kesendirian itu kembali menyelimuti nya, paras menawan tertunduk kelu penuh akan goresan merah tertumpuk lumpur. Ntah menginjak hari keberapa, tubuh itu tertumpu di antara besi berkarat. Satu hal yang San sadari, para penjaga tak pernah terlihat lagi. Ntah apa yang terjadi, semua terasa lebih hening bahkan lebih hening dari sebelumnya.

Hanya dia yang terduduk di ujung lorong tergelap, hanya dia yang bernafas dengan suara berat di setiap malam di tanah itu. Hanya dia seseorang yang menahan tangis nya, berharap tak pernah ada yang mendengar tangis sendu dari seorang Choi yang selalu di takuti itu.

Terdengar bising besi yang di buka paksa, gembok besar itu terbuka dengan sekali pukulan dari palu besar yang seseorang bawa. Tak jelas, tentu saja. Kedua mata itu terbalut darah dan lumpur. Air mengalir dari atas kepalanya, sensasi paling menyegarkan yang pernah ia rasakan. Bahkan air terjun pun kalah sejuk dari air yang tak seberapa ini. Ketika wajah kusam nya di usap, sedikit terlihat siapa sosok baik hati yang membersihkan semua kerak darah dari wajahnya.

"Woo-"

Teman nya itu hanya menggerakkan telunjuknya, menyuruh San untuk tetap diam.

"Di atas sana sedang terjadi keributan, semua penjaga Telah pergi, ini adalah waktu yang tepat untuk pergi" ucap Wooyoung dengan suara se kecil mungkin.

Dengan tergesa-gesa Wooyoung membuka semua besi yang melilit sahabat yang paling ia benci namun sayangi, Choi San yang sering berjalan bersama di sampingnya, Choi San yang selalu menatap tajam dan bersikap layaknya manusia begis dengan tatapan congkaknya kini nampak seperti tikus got yang hilang harapan hidupnya.

Sedikit air mata yang Wooyoung tahan, mata merah berair nampak jelas di pencahayaan redup di penjara itu, namun San memilih untuk diam. Karena hanya dengan kalimat apakah kau baik-baik saja, Wooyoung akan menangis sangat kencang. Maklum Sahabat nya memang seperti itu.

Mereka berjalan di kepulan kabut yang memasuki penjara. tak seperti biasanya, Lorong-lorong yang gelap mengelabui penglihatan keduanya. gemericik air terjatuh dari atap batu yang berembun. Choi San merasa suhu disini lebih dingin, ntah karena sudah lama sekali ia terduduk di ruangan itu lalu lorong seperti ini menjadi lebih dingin dari biasanya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya Choi San berbisik.

"Wabah itu datang, banyak orang telah mati dan para penjaga berbondong-bondong membakar pesisir, wabah sudah masuk ke kota" jawab Wooyoung dengan sedikit nada yang goyah, tak mampu laki-laki itu mengucap kembali kejadian itu. Ketika para bedebah membakar habis hutan memusnahkan nya, menghancurkan tempat ia lahir dan bertumbuh.

Rahang San mengeras, gertakan kuat dari gigi nya mengahan emosi yang segera ingin ia adu dengan walikota sialan itu.

Mereka berada di lorong terakhir, tempat yang memuat banyak jendela di samping bangunan. Terasa seperti di kurung puluhan tahun, San tak pernah merasa se lega ini. Mereka berhenti sejenak, mengatur nafas satu sama lain. San sering memaki sang Surya karena menyambut nya lebih awal, tapi hari ini cahaya itu menusuk matanya, dan untuk pertama kalinya seorang Choi San bernafas lebih panjang dan tersenyum menunjukkan ke dua sisi cekungan manis dari pipi nya yang lebih kurus dari sebelumnya.

Choi San telah kembali, dengan senyuman yang lebih hangat, dengan sorot mata yang lebih hidup. San telah terlahir kembali.

~Th£ MiSt~

Yui terduduk memandang Aira tengah tidur di ranjang kayu. Dengan secangkir kopi dingin yang menggantung di jari-jari kurus nya. Sesekali masih ia hirup lalu meminumnya perlahan, kemudian menghela nafas. Tak ada satupun pemandangan yang setidaknya bisa membuat seorang Yui tidak bosan.

THE MISTOnde as histórias ganham vida. Descobre agora